"Itu kamarmu," tunjuk Dena.
"Dan itu, adalah kamar Nona Key. Aku sengaja mendekatkan kamar kalian berdua. Selain menjadi Guru—kau juga akan mengawasinya."
"Apa? Itu tak ada dalam kontrak!"
"Aku akan menaikkan gaji mu menjadi empat kali lipat untuk itu."
Aland pun tak dapat berkomentar, hanya mendesah kesal.
"Tiga puluh menit lagi kau akan mulai dengan pekerjaanmu. Sementara itu, kau lihat kamarmu," Dena menjelaskan.
Kamarnya tak jauh berbeda dari kamar Key. Dia meletakkan ranselnya di kursi dekat jendela, lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. Dia menarik nafas panjang dan menatap udara kosong diatasnya.
"Jika saja, aku tak membutuhkan uang, aku takkan menerima ini."
Key tidak pernah mau pergi ke sekolah. Dia lebih memilih Home Schooling. Dia benci saat semua orang menatap aneh padanya. Sebenarnya, dia ingin hidup seperti yang lain. Memiliki banyak teman, menghabiskan waktu dengan mereka. Namun, semua orang terlalu takut padanya. Key telah berusaha bersikap biasa—tapi, semua makhluk itu seolah tak mengizinkannya. Seperti, burung yang terjebak dalam sangkar emas. Mungkin itu ungkapan yang cocok untuk dia.
Hingga saat ini, Key masih tetap berdiri di depan jendela. Menatap langit biru yang cerah. Burung-burung menyanyikan melodi yang indah, membuat semua orang damai jika mendengarnya. Lantas di halaman rumahnya, Alder sejak tadi memperhatikan Key. Dari tempat ia berdiri, ia dapat melihat jelas jendela kamar Key. Sesekali dia tersenyum menatapnya. Keduanya, pertama kali bertemu dua tahun yang lalu.
**
Saat itu pukul 01.00 malam. Key menyelinap keluar dari rumahnya. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, semua karena ia tak tahan, karena para makhluk itu menganggu dirinya. Dia berlari dengan bertelanjang kaki, sesekali menoleh ke arah belakang dengan penuh ketakutan, nafasnya tersengal. Sesosok iblis mengejarnya. Rambutnya sangat panjang, lidahnya menjulur keluar, kedua matanya mengeluarkan darah. Dia berlari sangat cepat, terkadang mengubah dirinya menjadi segumpal asap hitam. Key terus dan terus berlari. Berharap iblis tersebut, berhenti mengejarnya. Sementara Alder yang akan pulang, mengendarai mobil sport berwarna merah, tak sengaja melihat Key yang melintas, melewati mobilnya. Rumah mereka memang berdampingan. Namun sedikit jauh. Di komplek tersebut, hanya beberapa kepala yang tinggal. Keluarga Addison serta keluarga Balder di antaranya. Alder menghentikan mobilnya dan mengernyit.
"Bukankah itu gadis dari keluarga Addison?" Gumamnya.
Sementara Key masih terus berlari, sampai di jalan raya. Dia berhenti di tengah-tengah jalan, yang saat itu sedang sepi. Lalu, memandang ke arah iblis itu. Iblis itu mengembangkan senyum yang mengerikan lalu berteriak,
"Oportet te mori! (Kau harus mati!)"
Klakson sebuah truk besar menggema dari arah kanan. Key segera membalik badan, menghadap truk yang melaju, mendekati dirinya. Tak hentinya truk tersebut membunyikan klakson serta mengedipkan lampu. Namun, Key bergeming. Terperangah menatap truk itu.
Truk semakin mendekat. Kali ini ia membunyikan klakson yang sangat panjang. Tiba-tiba, tubuh Key terdorong, hingga terpelanting di rerumputan, tepi jalan. Key tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Key perlahan membuka mata. Dia sedang berada di rumah sakit saat ini. Jarum infus menembus kulit di punggung tangan kanannya. Bola matanya berputar perlahan. Bibirnya pucat.
"Kau sadar?" tanya Alder yang berdiri di sampingnya.
Key melirik ke arah Alder dengan mata sayu.
"Di mana aku? Apa aku sudah mati?" Ucapnya, dengan suara parau
"Kau belum mati. Kau berada di rumah sakit. Aku menolong mu semalam!" Alder menjelaskan.
"Siapa kau?"
Alder membungkukkan badan, mendekati Key.
"Aku Akando Balder. Malaikat penolong mu," bisik nya, disusul dengan senyum ringan.
**
"Andai saja— aku bisa memilikimu," desah Alder, dengan terus menatap Key.
Key yang menyadari kehadiran Alder kemudian tersenyum. Dan membuat Alder melambaikan tangan kearahnya.
"Kemari," kata Key, tanpa suara.
Alder mengangguk.
"Nona," Dena memanggil.
Key memutar badannya. Dan, melihat Dena bersama seorang pemuda yang asing baginya.
"Ini adalah Aland Barnaby. Dia akan menjadi guru privat mu mulai hari ini."
"Sudah aku katakan berapa kali—aku tidak membutuhkannya."
"Tapi, Anda harus belajar, Nona. Anda harus mengejar semua pelajaran yang tertinggal."
Key hanya terdiam. Menengok pada halaman, untuk mencari Alder. Namun, Alder tidak nampak. Dahi Key berkerut. Lalu, dia berjalan menuju kursi yang ada di sebelah kanan pintu. Aland dan Dena menatapnya.
"Apa selama mengajar ku kau ingin berdiri?" celetuk Key, menatap Aland.
Aland dan Dena saling menatap satu sama lain. Dena menunjuk ke arah Key dengan kepalanya, seraya memicingkan matanya pada Aland.
"Kita akan belajar matematika hari ini," kata Aland, setelah Dena keluar dari kamar.
"Terserah."
Aland mendesah pasrah. Lalu, menuliskan sebuah rumus matematika di sebuah buku dan menyerahkannya pada Key.
"Kerjakan ini."
Key segera mengambil pena, dan mengerjakan soal tersebut. Tangannya dengan cepat menuliskan jawaban. dalam sepersekian menit, ia berhasil memecahkan rumus tersebut.
"Selesai," ucapnya.
Alanda melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.
"Kau yakin, jawabanmu akan benar?" Aland mendengus mengejek. Dan, mulai mengkoreksi jawaban Key.
Dalam sekejap dia melebarkan mata. Lantas, melihat ke arah Key.
"Kau cukup pintar. Dalam waktu 5 menit— kau berhasil memecahkan rumus ini. Darimana kau belajar?"
"Aku belajar dengan Alder."
"Alder? Siapa dia? Kekasihmu?"
Key menggeleng. "Teman baikku. Dia tampan.. sepertimu."
Aland menjadi gugup dan tersedak mendengar pernyataan yang secara terang-terangan keluar dari mulut Key.
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu dengan mudah?"
"Kenapa memang? Aku juga mengucapkan itu pada Alder."
"Iya. Tapi, jika kau berkata seperti itu pada semua laki-laki mereka akan berpikir jika kau menyukai mereka."
"Menyukai? Memang aku menyukai Alder. Aku senang menjadi temannya."
"Bukan suka yang seperti itu. Tapi, lebih dari suka. Rasa Cinta."
"Cinta? Apa rasanya manis? Atau asam?"
Aland mendesah pasrah. Mata abunya menatap seluruh tubuh Key.
"Cinta itu hangat. Jika saat berada di dekatnya, membuat perasaan dan hatimu menjadi hangat, sudah dipastikan kau jatuh cinta padanya," jelas Aland.
"Mengapa tubuhmu dipenuhi dengan plester?"
"Terkena pecahan kaca jendela," Kata Key, menunjuk ke arah jendela.
"Heh? Kenapa bisa hancur? Kau melemparkan sesuatu?"
"Tidak. Iblis yang mendorongku, hingga aku menghantam jendela itu."
Aland mencibir. "Di dunia ini, tak ada yang namanya iblis atau hantu! Hanya ada manusia. Jika kau melihat hal seperti itu, itu hanya ilusi yang diciptakan oleh alam bawah sadar mu."
"Tidak. Mereka ada," pungkas Key.
Ponsel Aland berdering, di detik selanjutnya. Sehingga, membuat perdebatan mereka berhenti. Ia segera mengambilnya dari dalam saku.
Key melebarkan mata. "Apa itu ponsel?"
Aland mengangguk.
"Bisakah aku memegangnya?" Pinta Key.
Aland menatap kikuk bercampur heran pada Key dan segera menyerahkan ponselnya. Key pun melihatnya kagum, membolak-balikkan ponsel. Senyum mengembang di wajahnya.
"Kau seperti baru pertama kali melihat ponsel." Aland mengejek, tersenyum miring.
"Iya. Ini pertama kalinya aku melihat benda ini. Aku sering melihatnya di TV. Tapi, ini baru pertama aku melihatnya langsung," terangnya seraya tersenyum.
Aland terhenyak, kemudian tersenyum. "Kau sangat kaya. Tapi tak memiliki ponsel. Ck, nasib yang buruk," gumam Aland.
"Bagaimana cara menggunakannya?" Key bertanya seraya menatap Aland.
Aland kemudian mendekat, menutup jarak antara mereka. Memberitahu cara menggunakan ponsel.
"Sudah mengerti?" Aland bertanya.
Key mengangguk.
"Kau pakai saja dulu. Aku ingin ke kamar kecil. Di mana tempatnya?"
Key menunjuk lurus ke depan, dengan tetap menatap layar ponsel. Kamar mandi Key, terletak di kamarnya yang hanya beberapa langkah dari tempat ia duduk. Aland bergegas masuk ke kamar mandi.
"Iblis? Hantu? Lucu!" Aland menyeringai, sambil membuka resleting celana.
KREK! KREK!
Suara dari belakang Aland, mengejutkannya.
Aland terdiam, melebarkan matanya. Perlahan dia menoleh ke arah belakang. Sekejap ia terbelalak, menelan ludah. Kemudian kembali ke posisi semua. Memejamkan mata.
"Tidak, Aland. Itu tidak nyata! Itu hanya ilusi. Ini semua karena aku lelah. Saat aku membuka mata, dia pasti telah hilang," Dia meyakinkan diri.
Aland kembali menoleh ke arah belakang. Bola matanya berputar. Dan mendesah kesal.
"Oh, s**t!
Sesosok nenek tua, berambut putih yang menutupi wajahnya serta mengenakan pakaian khas Kerajaan Inggris jaman dahulu, berdiri di belakang Aland. Hal itu tentu saja membuatnya berubah gugup, bergegas menaikkan resleting dan keluar dari kamar mandi. Dia menutup dengan kencang pintu kamar mandi. Memegang daun pintu seraya mengatur nafas.
"Apa itu tadi," Gumamnya.
"Ah, aku belum memberitahumu. Di kamar mandi, ada seorang nenek tua yang selalu muncul, jika ada pria tampan. Kau melihatnya?" kata Key, sambil bermain ponsel.
Mulut Aland terbuka serta mendengus kesal. "Mengapa kau-" ucapnya dengan gigi bergemeretak. Lalu, mendesah panjang.
Key menatap Aland. Lantas, mengerutkan dahi ke atas.
"Kau pasti melihatnya?"
"Ti-tidak! Sudah aku katakan, aku tak percaya dengan hal-hal seperti itu!" Aland menjawab, kesal.
"Tapi-"
"Nona, saya akan pergi beberapa jam. Stok makanan telah habis, jadi saya akan pergi ke pasar tradisional. Jika Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil Aila atau meminta bantuan Aland."
Kedatangan Dena membuat Key tak melanjutkan kata-katanya. Dan, beralih memandang Dena yang berdiri di dekat pintu.
"Dena.." panggil Key.
"Iya?"
"Tidak bisakah aku ikut? Aku ingin sekali pergi ke sana," pinta Key, dengan ekspresi jenaka. Namun, lebih terlihat menyedihkan.
"Maafkan saya Nona, saya ti-"
"Aku janji! Tidak akan membuat masalah," potong Key.
"Aku mohon."
Dena memutar dua bola matanya seraya berpikir. Sementara, Aland yang melihatnya merasa kasihan.
"Tidak bisakah dia ikut? Biarkan aku yang menjaganya," cetus Aland.
Dena menatap mereka berdua secara bergantian.
"Baiklah. Nona Key boleh ikut. Saya tunggu di bawah."
Seketika itu senyum mengembang di wajah Key, Aland tersenyum miring melihatnya.
"Tapi, kenapa kau sangat berkeringat? Cuaca sedang tidak panas." Dena bertanya, menatap Aland.
"Ah, ini? karena aku gugup," dalihnya, mengusap keringat, disusul tawa kikuk.
"Dia melihat hantu di kamar mandi," cetus Key.
"Sudah aku katakan! Aku tidak melihatnya," sekali lagi giginya bergemeretak.
"Lalu kenapa kau kencing di celana?" pungkas Key, menunjuk celana Aland yang sebagian basah.
Dena terbelalak menatap celana Aland sebelum akhirnya menahan tawa untuk itu. Bola mata Aland berputar, pipinya memerah karena malu. Kemudian dia berdeham.
"Aku akan bersiap-siap dulu. Tunggu."
Aland berjalan cepat keluar dari kamar Key. Yang akhirnya membuat Dena tertawa terpingkal-pingkal. Namun Key hanya menggidikkan bahu.
***
Mereka bertiga telah berada di dalam mobil. Aland mengemudi. Dena duduk di sampingnya. Sementara Key, duduk di belakang. Dia tampak gembira. Senyumnya sejak tadi terus merekah. Ini memang pertama kalinya, ia kembali keluar dari rumahnya. Seperti seorang tahanan yang keluar dari jeruji besi. Dia merasa bebas. Meskipun hanya sekejap. Key meletakkan telapak tangannya di kaca. Matanya bergerak ke kanan lalu kembali ke kiri, mengikuti gerak pepohonan yang ia lihat. Dari bola matanya yang berbinar, terlihat pemandangan yang tak pernah di lihatnya selama beberapa tahun.
Orang-orang berlalu lalang, jalan raya yang tak begitu padat, pertokoan yang saling berdampingan. Meskipun, Key setiap hari melihat pepohonan di halaman rumahnya, tapi dia cukup senang melihat pepohonan sepanjang jalan, karena di tempat yang berbeda. Dia pun menurunkan kaca, memejamkan mata dan menghirup udara segar.
"Wah! Segarnya!" katanya, tersenyum renyah.
Aland yang melihat Key dari spion, menggelengkan kepala dan mendengus gembira.
"Seperti anak anjing. Menggemaskan," gumamnya.
"Nona, tutup kembali kacanya. Berbahaya," pungkas Dena, sedikit menengok ke arah Key.
Senyum sedikit menghilang dari Key. Dia pun menutup kembali kaca mobil. Aland yang mendengarnya pun mendesah lirih, merasa kasihan pada Key.
Setibanya di tempat parkir pasar tradisional, Key semakin bersemangat. Dia tak sabar ingin berjalan-jalan di dalamnya. Dena memutar badan, menghadap Key. Lalu memakaikan selendang berwarna biru pada kepala Key, serta memberinya kacamata hitam.
"Anda harus mengenakan ini, agar mereka tidak mengenali Anda."
Key hanya mengangguk, tak berkomentar sedikitpun.
"Dia bahkan bukan seorang artis," pungkas Aland, mendecakkan lidahnya.
"Ini untuk keselamatan Nona Key!" jawab Dena.
Aland menyunggingkan senyum.
"Dan, kau! Harus berada di samping Nona Key, selama aku berbelanja. Mengerti?" katanya, menunjuk Aland.
Aland hanya mengangguk kikuk.
***
Key berjalan riang, mengitari pasar. Sesekali dia berhenti di satu toko, saat ia menemukan barang yang menurutnya asing.
"Wah, ini indah," katanya, memegang sebuah gelang berwarna coklat.
Aland berdiri di belakangnya, terus menatap Key.
"Gelang itu terbuat dari pohon mahogany Nona, kau cocok menggunakannya," Ucap Bibi— pemilik toko.
"Benarkah? Ini hampir sama dengan milik nenekku."
"Nenekmu membuatnya sendiri?"
"Iya. Dia mengambil pohon dari hutan kematian," Cetus Key.
Seketika suasana menjadi hening. Bibi itu pun terhenyak, menatap Key. Sementara Aland, mendesah kesal seraya mendekati Key.
"Di-dia hanya bercanda," Aland menjelaskan, disusul tawa kikuk.
Bibi itu pun ikut tertawa kikuk. Untuk menghindari ia kembali berbicara yang tak masuk akal, Aland pun segera mengajak Key keluar dari toko.
"Kenapa kau menarik ku? Aku masih ingin melihat-lihat," Kata Key.
Aland menghentikan langkah, memutar badan, sehingga saling berhadapan dengan murid barunya tersebut.
"Nona Key.. aku akan menjelaskan beberapa hal padamu. Pertama, kau jangan berbicara aneh seperti itu pada semua orang."
"Berbicara aneh? Kapan?"
"Saat kau katakan, jika nenekmu mengambil pohon dari hutan kematian. Apakah itu tidak aneh?"
"Tidak. Memang nenekku-"
"Iya, aku tahu. Tapi, tidak semua orang mempercayai hal-hal seperti itu Nona. Kau bisa dianggap orang gila. Mengerti?"
Key menjawab dengan anggukan.
"Dan juga, kau jangan terlalu menurut pada Dena. Ini hidupmu, bukan hidup Dena atau orang lain. Usiamu 21 tahun. Kau berhak melakukan apapun yang kau inginkan. Lalu-"
Key mengernyit, menatap Aland yang berdiri di depannya. Dia melihat bibir Aland terus berbicara, namun dia hanya mendengar dengungan dan satu suara laki-laki yang memanggil namanya.
"Key.. Key.."
Suara itu terdengar seperti bisikan yang sangat lembut, namun menggema di telinganya.
Key terdiam, matanya melebar. Dia tertegun, mendengar suara itu.
"Key.. Key." Suara itu tetap terdengar di telinganya.
Di pandangan matanya, sekejap ia melihat seorang pria dengan mengenakan jubah berwarna hitam, berjalan dari arah belakang Aland. Namun, wajahnya terlihat samar. Perlahan Key menutup matanya.
Sementara Aland yang menyadari Key tidak bergerak dan tidak merespon kata-katanya, mulai mengerutkan kening.
"Nona Key?"
Berulang kali Aland memanggilnya, namun Key tetap terpejam, bahkan berhenti bernafas. Aland menjadi gugup dan tetap berusaha menyadarkannya. Dia menggoyangkan bahu Key berulang kali.
"Nona Key? Nona! Nona! Nona!" panggil Aland.
"Key Addison! Sadarlah!" Aland berteriak, menampar Key.
Hingga Key berpaling ke arah kanan. Dia kembali membuka mata dan menarik nafas dengan cepat. Tiba-tiba, nafasnya tersengal. Beberapa orang yang berada di sekitar memperhatikan Aland karena tindakannya.
"Kau baik-baik saja? Ada apa denganmu?" kata Aland, memegang bahu Key.
"Ada apa denganku? Kau.. menamparku?"
"Ma-maaf. Aku sudah memanggilmu berulang kali. Tapi, kau tak menjawab. Bahkan detak jantungmu sempat berhenti. Aku takut, sesuatu terjadi padamu. Jadi, aku melakukan itu. Apa.. sakit?"
"Tidak, hanya sedikit panas," jawabnya, tersenyum kecil.
***
Mereka kembali berjalan, menuju tempat parkir. Key melangkahkan kaki, dengan gundah. Dia masih memikirkan kejadian tadi.
"Siapa pria itu? Sepertinya, aku pernah melihat sebelumnya?"
"Apa.. kau sering mengalami seperti itu?" Aland bertanya, memecah keheningan diantara mereka.
"Tidak. Itu pertama kalinya. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi."
"Mungkin aku terdengar aneh jika mengatakan ini, tapi.. jangan biarkan mereka mengambil alih alam bawah sadar mu. Kau jangan lemah. Jika mereka mengganggu mu, kau harus berpikir positif. Dan, yakinkan dalam dirimu—kaulah yang terkuat. Mereka hanya makhluk lemah. Panggil nama Tuhanmu. Panggil nama ayah dan ibumu. Aku yakin kekuatanmu akan bertambah,"
"Terima kasih, Aland. Kau tidak hanya tampan, tapi kau juga baik."
Kata-kata Key membuat Aland menyunggingkan senyum.
"Tunggu disini sebentar. Aku akan membeli minuman," pungkas Aland.
Key mengangguk. Berdiri seorang diri, mengedarkan pandangan. Sebelum akhirnya, perhatiannya terpusat pada satu titik di depannya. Seorang pria di seberang jalan, mengenakan jubah hitam, menatap Key dan tersenyum penuh misteri. Key mengernyit, memandangnya.
"Bukankah itu pria yang ada dalam bayanganku tadi?"
Pria tersebut mengangguk pada Key, seakan dapat mendengar ucapan Key. Kemudian membalik badan dan berjalan pergi.
"Kemana dia?"gumamnya.
Key yang merasa penasaran, berjalan mengikuti pria tersebut, dengan tetap memandang kearah di depannya. Tanpa menengok kearah kiri serta kanannya. Sebuah mobil membunyikan klakson berulang kali, saat Key berada tepat di tengah jalan. Sehingga mengundang perhatian semua orang, termasuk Aland. Aland menoleh ke arah mobil yang melaju kencang. Kemudian, melihat ke tempat Key berdiri. Keterkejutannya tak dapat terelakkan, Aland membelalakkan mata.
"KEY!" dia berteriak, melemparkan minuman yang ia bawa, kemudian bergegas berlari untuk menolongnya.
Key menoleh ke arah Aland yang berada di kanannya, jauh beberapa meter darinya. Menghentikan langkah, lalu berpaling melihat mobil yang jaraknya telah sangat dekat dengan dirinya. Key terkesiap dan!
BRAAK!
Tubuh Key terpental. Dia merasakan tubuhnya melayang, seperti terhempas. Jika gerakannya diperlambat, dia hampir dapat melihat jelas burung yang terbang tepat di atasnya. Sepersekian detik kemudian, ia jatuh menerjang tanah. Matanya terbuka, melihat darah mengalir dari tubuhnya.
"Apakah kali ini aku akan mati? Mengapa tubuhku terasa ringan?"
Nafasnya tak teratur. Bola matanya berputar, sebelum akhirnya perlahan matanya tertutup.
***
Saat ini Key berada di ambulan. Alat bantu pernapasan terpasang. Dena dan Aland duduk di sampingnya. Alat Elektrocardiogram ( tes untuk mengukur aktivitas elektrik atau kelistrikan jantung. Dalam setiap detak, impuls atau gelombang elektrik bergerak melalui jantung) terdengar, menambah ketegangan di antara mereka. Dena menangis melihat keadaan Key.
"Seharusnya aku tidak membiarkannya ikut," kata Dena, terisak.
Sejak tadi, ia terus menyalahkan dirinya sendiri. Sama halnya dengan Aland, ia mendesah sesal sejak tadi. Pakaiannya ternoda dengan darah milik Key, yang telah mengering. Ia menatap tangannya yang juga berlumuran darah. Lalu mengepalkan tangan, menunjukkan rasa penyesalan yang amat dalam.
Ini adalah hampir ke sekian kalinya, Key masuk rumah sakit. Setiap Key keluar rumah, hal buruk selalu menimpanya. Setelah kejadian 19 tahun yang lalu, nenek Key memberikan mantra kepada rumahnya, agar iblis tak dapat mengganggunya. Meskipun terkadang, iblis masih sering bisa menembus mantra tersebut.
Karena seiring berjalannya waktu, mereka menjadi lebih kuat. Oleh karena itu, Key dilarang untuk keluar dari rumah. Iblis selalu mengincar dirinya. Ingin mengambil jiwanya. Mereka menginginkan Key mati, alasannya hanya kaum iblis yang mengetahui hal itu.
Key memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Namun, dia belum dapat mengendalikan kekuatan itu. Sebenarnya, ia tak ingin mempelajari hal tersebut. Karena, tak ingin berurusan dengan para makhluk tersebut. Selama dunia mereka tidak berseberangan. Key tidak akan terganggu dengan adanya Iblis. Namun pemikiran itu salah, para iblis justru ingin membunuhnya. Agar mereka dapat melenggang bebas ke dunia manusia.
***
Beberapa jam telah berlalu, namun Key masih di ruang operasi. Sementara Dena sejak tadi berjalan kesana-kemari, mencoba menghubungi seseorang.
"Halo."
Suara wanita paruh baya terdengar di seberang telepon.
"Nenek! Aku sejak tadi menghubungimu."
"Key.. apakah dia baik-baik saja?"
"N-nona tertabrak mobil," Jawab Dena, menangis.
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Aku mengajaknya pergi ke pasar tradisional. Dan meninggalkannya bersama Aland. Saat aku kembali, semua itu telah terjadi."
"Kau gila? Kau tak ingat perkataan ku? Jangan pernah bawa dia keluar rumah. Terutama ke tempat itu."
"M-maafkan aku. M-maafkan aku." Ucap Dena, terus menangis.
"Aku akan pergi ke sana. Berikan aku alamatnya."
Dena adalah murid dari Meida— Nenek Key. Sejak kecil, Dena tertarik dengan hal-hal mistis dan semacamnya. Dia pun selama bertahun-tahun mengekor pada Meida. Apapun yang dilakukan Meida, ia selalu memperhatikan dengan seksama, lalu mempraktekkannya.
Awalnya, Meida selalu mengusir Dena, terlebih saat ia memohon untuk menjadi muridnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Meida melihat kecerdasan pada Dena, yang akhirnya ia membuat keputusan untuk membagi ilmunya dengan Dena. Hingga akhirnya, Dena memiliki mantra yang kuat untuk pertahanan diri terhadap iblis serta melawannya. Itulah satu dari alasan, mengapa Dena selalu lolos dari gangguan iblis.
Dokter keluar dari ruang operasi, saat mereka berdua sedang duduk di antara kegugupannya. Mereka segera berdiri dan menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Kami memberikan beberapa jahitan pada kepala bagian belakang. Dia kehilangan banyak darah. Beruntungnya, dia telah melewati masa kritis."
"Oh, thanks god!" kata Aland.
"Tapi.. dia dalam keadaan koma saat ini. Mungkin, karena benturan yang sangat keras terhadap kepalanya, sehingga mempengaruhi kinerja pada otaknya. Untuk selanjutnya kami akan memberikan beberapa tes kepada pasien."
"A-apa?" pungkas Dena, gugup.
"Berapa persen kemungkinan dia terbangun dari koma?" Aland bertanya.
"45 persen," jawab dokter, dengan nafas berat.
Mereka kompak terhenyak, mendengar jawaban dari dokter.
"Tapi, kami akan berusaha semampunya. Untuk malam ini. Biarkan pasien di ruang ICU. Besok pagi, baru boleh dipindahkan ke ruang perawatan."
Dokter meninggalkan mereka berdua, setelah memberikan penjelasan. Dengan tubuh gemetar, Aland mencoba duduk. Dia memejamkan matanya. Penyesalannya semakin bertambah.
"Harusnya aku tak meninggalkannya tadi," sesalnya.
Aland menundukkan kepala dan meremas rambutnya. Sedangkan di dalam bus umum, Meida tampak khawatir. Memikirkan keadaan cucu semata wayangnya itu. Dia menatap langit, tangannya saling bertautan.
"Semoga tak terjadi lagi," gumamnya sejak tadi.
Sebagai seorang nenek berusia 70 tahun, Meida masih tampak muda. Tubuhnya masih bugar dan sehat. Karena, ia tinggal di pedesaan, dimana udara tak terkontaminasi oleh asap kendaraan. Setiap hari, ia keluar masuk hutan, untuk mencari makanan. Itulah yang membuat kesehatannya tetap terjaga. Dan, yang menjadi tanda jika ia tak lagi muda adalah, rambutnya telah berubah menjadi putih.
Meida membawa tas yang terbuat dari kain goni, telah lusuh berwarna coklat. Di dalam tas tersebut, ia membawa beberapa buku mantra dan segala peralatan yang ia gunakan untuk melawan iblis. Meida berpikir, jika kecelakaan yang di alami Key, adalah karena iblis. Karena saat Key mengalami kecelakaan, Meida merasakan sebuah energi hitam yang sangat kuat, menghampiri dirinya.
Dari rumah Meida, untuk menuju ke kota menempuh jarak 15 km. Begitu tiba di depan rumah sakit, ia bergegas berlari masuk ke dalam. Dan menuju ke ruang ICU.
"Bagaimana keadaan Key?" Meida bertanya pada Dena, begitu tiba di depan ruang ICU.
"Dia sudah melewati masa kritis. Nenek jangan khawatir."
Meida merasakan kedua kakinya menjadi lemas, sehingga ia tak dapat menopang tubuhnya. dan akhirnya bersimpuh di lantai.
"Nenek! Kau baik-baik saja?" Dena bertanya, memegang tangan Meida.
Meida hanya menjawab dengan anggukan. Sesungguhnya, Meida sangat mengkhawatirkan keadaan Key. Dia tak bisa membayangkan, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Key. Dia akan merasa bersalah kepada mendiang anak serta menantunya. Mereka membantu Meida berdiri dan mengajaknya duduk di kursi.
"Tapi, kenapa dia masih berada di ruang ICU?" Meida bertanya.
Dena dan Aland saling memandang untuk sesaat.
"Key, masih tak sadarkan diri. Keadaannya belum stabil. Jadi, untuk sementara waktu dia berada di ruang ICU," Aland menjelaskan.
"Apa?" Meida terkejut. Dia memejamkan mata, air matanya mengalir begitu saja.
"Nenek, dia pasti akan segera sadar," Dena meyakinkan.
"Aku sudah mengatakan padamu.. jangan pernah bawa dia keluar rumah. Terutama ke tempat itu," ucap Meida, lemas.
Aland dan Dena kompak mengernyit.
"Apa alasannya?" Aland bertanya.
"Karena tempat itu adalah—salah satu penghubung antara dunia manusia dan dunia iblis."
Sekali lagi Aland dan Dena kompak melebarkan mata. Dan, membuat Aland teringat saat Key berhenti bernafas dan tatapannya berubah kosong.
"Saat di tempat itu.. Key sempat tak bernafas. Detak jantungnya juga berhenti," cetus Aland, dengan tatapan kosong.
Meida mengerutkan kening. Kedua tangannya saling bertautan.
"Tak mungkin—hal itu terjadi lagi."