Korea Selatan, Agustus 2063
Bocah laki-laki berumur 5 tahun bernama Haechan tengah berlari kecil menghampiri wanita tua yang sedang duduk di kursi kayu di beranda rumah. Alina nama wanita itu, berusia 70 tahun dan masih tampak sangat sehat. Gurat-gurat kecantikan masa muda tergambar jelas di wajahnya.
“Selamat sore, Nenek!” Sapa Haechan.
“Selamat sore cucuku yang tampan.” Alina tersenyum sambil mengusap kepala bocah itu.
“Nenek memandang foto kakek setiap hari. Apa nenek tidak bosan?” Dengan suara khasnya anak itu berbicara sambil menunjuk sebingkai foto yang sedari tadi Alina pegang.
Alina menggeleng, “Tentu saja tidak. Nenek tidak akan pernah bosan. Nenek bahkan selalu merindukan kakekmu setiap hari.”
“Benarkah? Kalau begitu, ayo pergi ke rumah kakek besok. Haechan akan mengajak papa dan mama. Ayo piknik seperti saat tahun baru kemarin.” Alina tergelak. Cucu laki-lakinya itu begitu perhatian.
“Papa dan mama bekerja sayang. Besok bukanlah hari libur.”
“Ah benar. Kalau begitu....” Anak laki-laki itu lalu sibuk menghitung dengan jari kecilnya “rabu, kamis, Jumat, Sabtu”, gumamnya. “Empat hari lagi. Empat hari lagi kita akan pergi berpiknik. Haechan sudah menghitungnya. Lihat nek!” Haechan menunjukkan jari-jarinya. Lagi-lagi Alina tidak dapat menahan tawanya, cucunya begitu menggemaskan.
“Baiklah. Ayo berpiknik ke rumah kakek seperti waktu itu.”
“YEEEEYYY! Haechan senang sekali. Haechan juga rindu kakek.” Soraknya riang gembira. Alina mengusap pelan foto di pangkuannya. “Cucumu sudah besar Jae. Sayang dia tidak sempat mengenalmu.”
Enam tahun sudah sejak kepergian Jaehyun, suaminya tercinta, kakek Haechan. Tidak pernah sehari pun Alina tidak merindukannya. Kenangan-kenangan manis selama hidup bersama puluhan tahun selalu hadir dalam mimpinya. Alina merindukan usapan tangan Jaehyun yang membelai lembut rambutnya. Rindu dengan candaan ringan yang selalu Jaehyun lontarkan saat minum teh bersama sambil memandang hamparan bintang. Alina bahkan merindukan cerita konyol Jaehyun tentang masa mudanya yang itu-itu saja dan selalu dia ulang-ulang. Alina tidak pernah bosan dengannya. Mereka pernah berjanji untuk selalu bersama, berjanji untuk sehidup semati. Jadi saat hari itu tiba, hari di mana Jaehyun pergi lebih dulu meninggalkannya, meninggalkan dunia, langit seakan runtuh menimpanya. Waktu berlalu, Alina bangkit karena kasih sayang anak dan cucunya. Tapi dalam hati, dia selalu bertanya-tanya kapan tiba waktunya? Kapan Jaehyun akan menjemputnya? Memikul rindu sangat berat. Alina tidak mampu.
Terlalu larut dalam rindu, Alina sampai tidak sadar cucunya memanggil berulang kali. Tangannya digoyang-goyangkan di depan wajah Alina. “Lihat! Nenek melamun lagi.” Haechan mengerucutkan bibirnya. “Haechan memanggil nenek tapi nenek tidak menjawabnya.” Serunya dengan sedikit kesal.
“Maafkan nenek sayang. Tadi nenek sedang memikirkan, makanan apa yang harus dibawa saat piknik nanti.” Alina mengacak pelan rambut Haechan. “Ada apa heum? Haechan memanggil nenek.”
“Haechan ingin tahu, bagaimana nenek dan kakek bertemu? Bisakah nenek menceritakannya padaku?” Tanya Haechan dengan mata berbinar.
“Mengapa tiba-tiba cucu nenek ingin tahu? Bukankah Haechan selalu bilang bosan saat nenek bercerita.”
“Kali ini tidak akan bosan.” Haechan menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan lucu. “Hari ini di sekolah ibu guru bercerita tentang nenek moyang. Seru sekali. Bu guru bilang nenek moyangnya adalah orang India. Jadi aku ingin tahu nenek moyangku juga.” Haechan bercerita dengan antusias, membuat senyum merekah dari bibir Alina. Kalau dipikir-pikir, cucunya itu memang tidak tahu apa pun tentang asal usulnya. Melihat mata Haechan yang menatapnya dengan penuh rasa penasaran, Alina akhirnya bercerita.
“Baiklah. Akan nenek ceritakan. Pertemuan itu terjadi berpuluh tahun yang lalu, saat nenek masih sangat muda.” Pikiran Alina menerawang jauh kepada berbagai peristiwa masa lalu yang masih lekat dalam ingatannya. Haechan merangkak menaiki pangkuan neneknya lalu menyandarkan punggung kecilnya pada wanita itu.
“Haechan tahu kan nenek berasal dari Indonesia. Saat itu tahun 1997, usia nenek baru 18 tahun. Keluarga nenek sangat miskin. Kami hidup di pinggiran kota. Ayahku, kakek buyutmu seorang petani. Ayah menanam apa saja di ladang. Ada sayuran, ada padi. Apa saja yang bisa di makan ayah coba tanam di sana. Tapi dari tahun ke tahun keadaan menjadi semakin sulit. Kadang hujan hanya turun beberapa kali dalam setahun, semua menjadi kering kerontang. Semua tanaman yang ayah tanam dengan susah payah menjadi layu lalu mati di bawah terik matahari. Lalu ada tahun di mana hujan turun tiada henti. Sungai kecil di pinggir ladang akan meluap dan airnya menenggelamkan ladang. Di saat-saat seperti itu nenek harus menahan lapar karena stok makanan yang tersisa sedikit. Kami semua harus berhemat.
Suatu hari, seorang wanita tua berjalan di jalanan dekat rumah kami dan berhenti tidak jauh dari ladang Ayah. Bibi Arini yang melihatnya pertama kali.”
“Siapa Bibi Arini, nek?” Tanya Haechan memotong cerita Alina.
“Ah, nenek lupa. Haechan belum pernah bertemu dengan Bibi Arini ya?” Haechan mengangguk. Arini meraih sebingkai foto lain di atas meja di sampingnya. Lalu menunjukkannya pada cucunya.
“Lihat ini! Ini adalah bibi Arini. Adik nenek. Tapi bibi Arini sudah pergi seperti kakek.”
“Bibi Arini cantik. Seperti nenek dan mama.” Seru Haechan. Haechan ikut menunjuk foto di tangan neneknya.
“Benarkah? Bibi Arini juga baik sekali. Sayang sekali dia tidak berumur panjang.” Nadanya terdengar sendu di akhir kalimatnya.
“Apa bibi Arini sudah pergi bersama kakek?” Tanya Haechan dengan polosnya.
“Benar sekali. Cucu nenek sangat pintar. Kakek buyut, nenek buyut, Bibi Arini dan kakek Jae sudah berkumpul di langit.” Arini mengecup pucuk kepala Haechan.
“Kalau begitu kita juga harus berpiknik di rumah mereka nek. Kita akan mengunjungi mereka, lalu makan makanan yang enak di sana. Haechan harus berkenalan dengan Bibi Arini dan juga buyut. Nanti Haechan akan bilang papa mama. OK!” Haechan yang selalu bersemangat selalu mengingatkan Alina pada Jaehyun, hatinya kembali menghangat.
“Baiklah. Nanti kita ke sana ya!” “Kalau umur nenek masih ada.” Haechan mengangguk.
“Jadi, nenek lanjutkan ceritanya atau tidak, heum?” Tanya Arini sambil mencubit gemas pipi Haechan.
“Tentu saja. Sampai di mana ya tadi? Ah iya, si wanita tua. Siapa wanita itu nek? Apa dia si penyihir jahat?” Tawa Alina pecah mendengar pertanyaan cucunya.
“Tidak ada penyihir sayang. Dia wanita yang baik. Saat itu bibi Arini yang melihatnya langsung berlari ke dalam rumah. Sambil tertawa dia bercerita tentang wanita pendek bertongkat yang berjalan membungkuk. Ibuku menyuruhnya diam, takut-takut wanita itu akan mendengar suara Bibi Arini yang menertawakannya.
Nenek, bibi Arini, dan ibu mengintip wanita itu dari belakang tirai merah jambu di dekat meja dapur. Bibimu benar. Wanita tua itu memang tampak aneh jika dilihat. Pantas saja dia tertawa terbahak-bahak. Rambutnya keriting sebahu, memakai baju renda berwarna biru cerah dengan rok lebar selutut bermotif polkadot hitam putih. Tangan kirinya menjinjing tas besar berwarna merah menyala sedang tangan kanannya menggenggam tongkat kayu untuk membantunya berjalan. Kepalanya berulang kali menoleh ke kanan dan ke kiri, tampak sedang kebingungan mencari sesuatu.
Ibu membuka pintu dan melangkah keluar menghampiri wanita itu untuk bertanya barangkali dia butuh bantuan. Nenek dan Bibi Arini mengikuti dari di belakang ibu. Saat wanita itu melihat ibu datang menghampirinya, dia tersenyum lalu meletakkan tasnya di tanah. Ibu bertanya apa dia membutuhkan bantuan atau petunjuk arah. Tapi wanita itu justru berkata, “Tidak, nak. Aku di sini untuk membantumu. Membantumu untuk keluar dari kesengsaraan.” Ibuku bingung tentu saja, apa maksud wanita tua itu. Dengan sopan ibu lalu bertanya apakah dia ingin mampir sebentar untuk segelas es jeruk karena hari itu cuaca cukup panas. Bulir keringat mengalir membasahi wajahnya.
Ibu menuntun wanita tua itu untuk masuk ke dalam rumah dan menarik kursi di ruang tamu untuknya duduk. Aku membantu membawakan tas besar miliknya, berat sekali. Entah apa isinya. Ibu menyuruhku dan bibi Arini menyiapkan segelas es jeruk dan juga sedikit kue kering sisa perjamuan di gereja beberapa hari lalu.
Nenek meletakkan nampan berisi segelas es jeruk dan juga sepiring kecil kue di depan wanita tua itu. Dari dekat, nenek bisa melihat lipstik pink yang tebal menghiasi bibirnya. “Wah. Tampaknya lezat sekali. Terima kasih untuk jamuannya.” Dia berseru, lalu meneguk minuman itu hingga menyisakan setengah. Dan juga menggigit kue kering itu sambil tersenyum senang.
Ibuku menjelaskan bahwa kami membuat kue-kue itu untuk perjamuan di gereja. “Putriku cukup berbakat dalam membuat kue.” Kata ibuku dengan bangga. Mendengar itu aku merasakan pipiku sedikit merona malu. Jarang sekali ibu memuji kami. Wanita itu hanya mengangguk-angguk lalu kembali memakan kue kering itu hingga habis. Dia tampak berpikir sejenak lalu berkata, “Aku tidak heran kalau ini memang kue terenak yang pernah kumakan. Sudah kuduga aku tidak akan kecewa saat aku memutuskan untuk mendatangimu.”
Ibuku sedikit terkejut dengan ucapannya. Bibi Arini menoleh padaku dengan tatapan penuh tanya, aku hanya mengedikkan bahu. Aku pun tidak mengerti apa maksud ucapannya. Aku ikut duduk di kursi berseberangan dengan wanita itu, menunggu apa yang akan dikatakannya lagi.
Wanita itu diam sejenak asyik mengunyah kue di mulutnya lalu meneguk habis minumannya sebelum mulai berbicara kembali sedangkan kami semua hanya diam menunggunya.
“Aku tidak akan memberi tahu siapa diriku. Tapi aku datang dari tempat yang jauh hanya untuk bertemu dengan putri tertuamu.” Ibu dan Bibi Arini sontak menoleh ke arahku. Aku sendiri menatap mereka bergantian dengan bingung, bahkan tidak sadar menahan napasku karena gugup. “Siapa sebenarnya wanita ini?” Pikirku saat itu.”
“Apa dia jahat, nek? Dia mungkin ingin melukai nenek?” Haechan kembali memotong cerita Alina. Bocah itu lalu membuat gestur berpikir dengan jari di keningnya. “Mungkin saja dia penculik? Apa nenek diculik setelah itu?” Tanya Haechan dengan hebohnya sambil menatap neneknya dengan mata membulat. Alina hanya bisa tertawa melihat tingkah polos cucunya itu.
“Tentu saja tidak sayang. Nenek bilang dia adalah wanita yang baik kan tadi.”
“Lalu siapa dia? Apa yang dia katakan setelah itu, nek?”
“Ibu tidak bertanya lagi siapa wanita itu, dia hanya meminta dijelaskan apa maksud ucapannya saat itu. Lalu wanita itu bercerita, “Aku bermimpi berbulan-bulan yang lalu, dan putrimu ada di sana dengan gaun pengantin yang cantik berwarna putih. Ada hiasan bunga yang indah di kepalanya dan dia juga menggenggam buket bunga yang sama indahnya. Dia akan menikah. Dia cantik dan sangat bahagia.”
Ibuku ingin bicara tapi wanita itu mengabaikan ibu dan melanjutkan ceritanya. “Putrimu akan menikah dengan pria yang baik. Dia datang dari negara yang jauh. Akan ada proyek besar di sana dan dia adalah bosnya. Mereka akan bertemu, dan putrimu akan mengenalinya dari kebaikan hatinya. Mereka akan menikah tidak lama dari itu.” Wanita itu bercerita sambil menunjuk sebuah jembatan tua di dekat ladang Ayah. Beberapa minggu terakhir aku telah mendengar desas-desus kabar itu. Bahwa akan ada proyek pembangunan besar-besaran di wilayah tempat kami tinggal.
“Bu, putriku baru berusia 18 tahun. Dia masih kecil. Aku tidak berpikir dia akan siap menikah.” Ibuku protes, meskipun kedengarannya tidak yakin dengan yang diucapkannya. Ibu menatapku untuk melihat reaksiku. Sebenarnya saat itu aku tahu, jika aku menikah maka keadaan akan menjadi lebih baik untuk keluargaku. Beban nafkah akan berkurang. Tapi memikirkan pernikahan di usiaku saat itu dengan laki-laki yang tidak pernah ku kenal tidak ada dalam bayanganku sama sekali. Keadaan yang sulit banyak membuat teman-temanku saat itu putus sekolah dan memutuskan untuk menikah. Bahkan ada adik kelasku yang sebentar lagi akan menjadi ibu. Tapi tetap saja aku tidak siap. Aku merasa takut dan ucapan wanita tua itu membuatku khawatir dan sedikit sedih.”
“Jangan sedih nenek!” Kata Haechan sambil mengusap pipi neneknya. Pipi Alina sedikit basah, sepertinya cucunya itu tanpa sadar mengemut jari telunjuknya karena terlalu fokus mendengarkan. Kebiasaannya sejak bayi yang susah sekali dihilangkan.
“Tidak sayang. Nenek bahagia sekarang. Apa Haechan mengantuk? Ingin pergi ke kamar? Masih ada waktu untuk tidur siang.” Alina tersenyum sembari menyisir rambut halus cucunya di pangkuannya. Matanya sedikit sayu pertanda dia mulai mengantuk.
Haechan menggeleng, “Haechan masih ingin mendengarnya lagi.” Dia menyamankan duduk bersandarnya di pangkuan Alina lalu kembali memasukkan telunjuknya ke mulutnya. Alina menggeleng gemas.
Alina mengingat kembali ceritanya, “Ah iya, wanita itu mengatakan akan ada laki-laki muda yang bekerja di proyek. Dia akan di sana dalam beberapa hari ke depan. Dia akan menikahiku katanya. Setelah bercerita banyak hal tentang proyek dan juga laki-laki itu, si wanita tua akhirnya berpamitan. Dia mengucapkan terima kasih atas jamuannya lalu bergegas pergi meninggalkan rumah kami. Tapi sebelum itu, dia sempat menggenggam tanganku sambil berbisik “Kau akan mengenalinya. Hatimu akan menuntunnya nak.” Aku dan ibu hanya bisa diam mematung melihatnya melangkah pergi. Bibi Arini bertanya apa yang baru saja terjadi dengan tatapan tidak mengerti. Ibu menoleh sebentar untuk menjawabnya. Tapi begitu dia melihat kembali, wanita tua itu sudah tidak ada di sana dan di mana pun. Dia seperti menghilang begitu saja. Aku dan ibu saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. Pertemuan tadi terasa tidak nyata, tapi kami semua mengalaminya. Bahkan gelas dan piring di meja masih belum dibereskan. Tapi rasa-rasanya ada hal yang aneh baru saja terjadi.
Tahun itu musim kemarau panjang kembali datang. Sungai mengering. Begitu pun dengan ladang Ayah. Semua tanamannya mati. Sedikit sisa bahan makanan untuk tahun baru tidak akan cukup hari-hari berikutnya. Ibu terpaksa harus membantu mencari uang dengan bekerja sebagai buruh cuci di sebuah rumah makan di pinggir jalan utama.
Aku dan Bibi Arini pergi ke sekolah dengan perut kosong. Menahan lapar di perut membuatku tidak bisa belajar dengan tenang. Beruntung saat Januari hampir berakhir, hujan mulai turun. Ayah mulai menanam sayuran di ladang. Kami semua berdoa semoga hujan tidak mendatangkan banjir lagi seperti tahun lalu.
Aku sudah lupa tentang cerita wanita tua saat kemarau tahun lalu. Hingga suatu hari di bulan April aku tidak sengaja mendengar obrolan pemilik rumah makan tempat ibuku bekerja dengan anaknya yang datang dari kota. Dia menceritakan tentang proyek besar pembangunan jembatan dan juga rel kereta api. “Kamu tahu apa artinya itu untuk rumah makan kita kan?” Si pemilik bertanya kepada laki-laki itu dengan mata berbinar. Aku mengerti dengan jelas apa artinya itu. Akan ada banyak pekerja yang datang nanti, mereka pasti butuh makan dan tempat menginap. Itu akan mendatangkan banyak uang untuk rumah makan dan juga tempat penginapan. Selain itu, saat nanti rel kereta api itu sudah selesai di bangun akan ada harapan kota kecil dan tertinggal mulai di lihat oleh dunia luar. Mungkin juga akan disusul dengan pembangunan-pembangunan yang lain.
Aku menguping untuk waktu yang lama sambil membereskan piring di rak pinggir dapur. Katanya bos proyek itu berasal dari Korea Selatan. Untuk sejenak aku terkejut, teringat cerita wanita tua saat itu. Apakah benar wanita itu telah memprediksi masa depanku? Aku mulai ketakutan. Dan saat pekerjaanku sudah selesai, aku berpamitan pulang dan berlari menemui ibuku yang sedang sakit sehingga tidak bisa bekerja dan berakhir aku yang menggantikannya.
Aku bergegas menemui ibuku dan menceritakan apa yang kudengar kepadanya. Tapi alih-alih tertarik dengan ceritaku, ibu malah memarahiku karena aku tidak sopan menguping pembicaraan orang lain dan menyuruhku untuk mengirimkan surat kepada saudara di luar pulau.
Dalam perjalanan ke kantor pos, sebuah mobil bak melewatiku menerbangkan debu-debu jalanan yang lama tidak tersiram hujan. Debu-debu itu terhirup olehku, membuatku bersin dengan keras. Aku mengusap hidungku dengan sapu tangan yang ku genggam, hingga aku mendengar suara seorang laki-laki, “God Bless You!”.
Aku menoleh mendapati seorang laki-laki berkulit putih, mungkin berumur 25 tahunan turun dari mobil itu dan menghampiriku. “Terima kasih” Kataku saat itu. Aku merasakan pipiku memanas. Aku bahkan tidak berani melihat wajahnya karena malu. Aku melanjutkan perjalananku ke kantor pos tanpa menoleh. Dari suara langkah kaki di belakangku, sepertinya laki-laki itu mengikutiku. Aku bergegas menyeberang dan masuk ke kantor pos. Tidak butuh waktu lama untukku selesai mengirim surat itu. Saat aku keluar dari sana, aku melihat laki-laki itu masih berdiri di persimpangan jalan di mana mobilnya terparkir. Aku takut sekali. Laki-laki itu menungguku. Aku melangkah pelan dengan sedikit gemetar. Saat aku tiba di dekatnya, dia kembali menyapaku dan berjalan beriringan denganku.
“Namaku Jaehyun. Aku datang untuk bekerja di pembangunan jembatan di sana mulai minggu depan. Bisakah kamu membantuku mencari rumah makan enak di sini dan juga penginapan yang nyaman?” Laki-laki bernama Jaehyun itu berbicara bahasa Indonesia dengan logatnya yang lucu. Dia pasti benar dari negara yang jauh. Tapi bicaranya tidak buruk, dia juga sopan, pikir Alina sambil diam-diam tersenyum kecil.
“Halo, Nona! Apa kamu mendengarku?” Seru Jaehyun sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depanku. Aku tersentak dari lamunanku.
“Maafkan aku, Tuan. Ah, di lingkungan ini hanya ada satu rumah makan. Itu di sebelah sana, tepat di seberang kantor pos.” Aku menunjukkan rumah makan tempat ibuku bekerja dengan gugup. “Lalu, untuk penginapan Anda bisa menginap di penginapan kecil dekat rumahku.” Aku bisa mendengar suaraku bergetar karena gugup. Tapi laki-laki bernama Jaehyun itu malah menatapku dengan matanya yang jernih berwarna hitam kecokelatan, lalu tersenyum hingga matanya tinggal segaris. Tangannya terulur mengacak rambutku dengan gemas. Wajahku pasti sudah memerah hingga ke telinga saat itu karena malu.”
Alina mengusap lembut rambut cucunya saat terdengar dengkuran halus dari pangkuannya. Dia tersenyum. Cucunya tertidur pulas rupanya. Telinga Alina memerah, kembali mengingat pertemuan itu. Mengingat bagaimana takdir yang lucu mempersatukan mereka di kemudian hari.
Terdengar suara pintu terbuka dari depan, disusul langkah-langkah kaki yang berjalan ke arahnya. Anak dan menantunya sudah pulang dari kantor. Sudah jam tiga sore. Arsadewa dan Hyuna, mereka adalah orang tua Haechan. Semenjak kepergian Kakek Jaehyun Ayah mereka, merekalah yang mengurus semua pekerjaan kantor. Meski begitu, mereka selalu menyempatkan waktu untuk bersenang-senang mengajak Ibu dan anak laki-lakinya menikmati libur di akhir pekan. Mereka memastikan Ibunya tidak kekurangan kasih sayang dan juga kesepian setelah kepergian Ayah mereka.
“Kalian sudah pulang, nak? Bagaimana pekerjaan hari ini?” Arsa dan Hyuna bergantian mencium tangan Alina. “Baik bu. Tidak ada masalah serius di kantor.” Jawab Arsa lalu tesenyum.
“Aku akan pindahkan Haechan ke kamar bu. Kaki ibu pasti sakit memangkunya sejak tadi. Dia makan banyak akhir-akhir ini, badannya bertambah berat.” Hyuna meraih putranya dari pangkuan Alina dan menggendongnya ke kamar. Alina mengatakan dia baik-baik saja dan menyuruh anak-anaknya untuk beristirahat.