Hari ini, Ronald memang bertekad untuk mencari Igun sampai ketemu, dan menginterogasinya sampai puas. Ia penjelasan lengkap Igun, terutama mengenai hilangnya tiba- tiba Igun, baik di grup obrolan maupun di kampus. Ronald berjalan di sepanjang lorong, melihat sekilas ke arah kelas- kelas yang masih kuliah. Bagaimana caranya Ronald bisa mengenali anak- anak Ekonomi Pembangunan?
Gampang. Ronald sebenarnya hanya perlu mencari kelas- kelas yang diisi oleh mahasiswa- mahasiswa baru. Hal ini dapat dipreteli dari rambut para lelakinya, yang kemungkinan besar nyaris botak hingga plontos licin, demi menaati peraturan Ospek. Setelah menemukan target operasi, Ronald hanya perlu mengintip seisi kelas dari sisi pintu, agar dosen yang mengajar tidak menyadarinya meski mahasiswa baru yang tengah belajar itu jelas akan memelototi si bocah keriting yang terlihat memata- matai kelas mereka.
Setelah dua puluh menit menjadi mata- mata (plus disertai pindah gedung, karena dia mengawali pencarian dari gedung B), akhirnya Ronald menemukan keberadaan Igun. Dia berada di gedung B, tengah belajar Pengantar Akuntansi. Memang, di semester satu ini, selain anak Akuntansi sendiri, anak Ekonomi Pembangunan juga mempelajari Pengantar Akuntasi, yang berlanjut dengan edisi 2 di semester 2. Sementara anak Manajemen hanya mempelajari Pengantar itu di semester 1, itupun hanya Pengantar 1.
Dengan tenang Ronald menunggu kelas Igun selesai. Kelas Pengantar memang dilangsungkan sebanyak tiga SKS, dan Ronald sudah lebih dulu keluar kelas karena kelasnya yang terakhir hanya 2 SKS. Ia menghabiskan lima puluh menit di luar kelas Igun dengan bermenung, melihat papan pengumuman, dan bermenung.
Tak lama kemudian, ia mendengar kasak- kusuk dari kelas, dan Ronald segera berdiri. Dosen yang mengajar telah keluar, yang disapa Ronald dengan sopan dan penuh senyuman.
“Anda nunggu kelas, ya? Maaf, saya agak lama keluarnya.”
Ronald ternganga. “Eh... bukan, Pak. Saya cuma nunggu temen, kok.”
Dosen itu mengangguk, lalu pergi. Tepat ketika bapak dosen menghilang di tikungan lorong, mahasiswa kelas itu pun keluar.
“Guna!” panggil Ronald saat ia melihat kepala yang ia kenal di tengah kerumunan.
Igun segera menemukan Ronald. Ia tersenyum miring, lalu mengangkat tangan, melambai, seraya mendekati kawannya itu.
“Guna! Udah lama gue nggak ketemu lo! Apa kabar?”
Igun tertawa. “Basi lo, Krit, pake nanyain kabar segala! Biasanya juga enggak.”
Ronald ikut tertawa. “Makan, yuk?”
“Boleh. Makan dimana?”
“Kantin anak D3, yuk! Kemarin gue nyobain bakso di sana. Enak.”
“Lo udah pernah ke sana?”
“Udah, dong! Misi gue salah satunya mencari tahu makan paling enak sekampus ini.”
Igun mengangguk, lalu mereka berdua melangkah di sepanjang lorong. “Lo udah makan di mana aja, berarti?”
Ronald mengerutkan kening seraya menghitung- hitung. “Kantin di Teknik udah gue coba bareng Vito, kantin anak IPA bareng Vito dan Deni, kantin Statistik udah, terus...”
“Wah, banyak juga,” seru Igun terpesona.
Ronald tersenyum. Hitungan jarinya ia hentikan. “Makanya, Guna, lo sering- serig ngumpul bareng gue, Vito, dan Deni, dong. Kita ‘kan sekampus.”
Igun mengangguk sambil tersenyum tipis. Mereka terus berjalan melewati Lorek, karena posisi kantin D3 tak jauh dari sana.
“Gimana kelas lo barusan?” celetuk Ronald ringan. Ia segera menanyai Igun tanpa memandangi temannya itu, namun memandang jalan di depannya dengan berpura- pura riang.
“Biasa,” jawab Igun pelan.
Ronald hanya mengangguk. “Yah, namanya juga kuliah. Agak beda, ya, sama sekolah? Gue aja kagok.”
Igun mengangguk, tanpa komentar.
“Lo masih kepikiran masuk Hukum, ya?” tanya Ronald lagi.
“Iya, Ron,” sahut Igun. “Rasanya otak gue bebal banget pas belajar di Ekonomi Pembangunan sekarang. Mungkin karena gue nggak ada niat. Padahal perkuliahannya masih awal, tapi rasanya nggak ada satupun yang nyangkut di otak gue.”
Ronald terdiam. Mereka sudah sampai di kantin D3, lalu bergerak menuju spot bakso favorit Ronald. Setelah keduanya memesan seporsi bakso untuk masing- masing, Ronald melanjutkan, “Lo juga akhir- akhir ini jarang keliatan di kampus. Lo... nggak bolos, kan?”
Igun hanya tersenyum pahit.
Melihat itu, Ronald menghela napas panjang. “Gue nggak bisa nasihatin lo banyak, Guna, karena gue nggak pernah berada di posisi lo. Tapi apa lo nggak nyoba untuk ngejalanin dulu aja, kayak saran kita- kita dulu?”
Igun menggeleng putus asa. “Gue udah nyoba, Krit. Tapi gue nggak bisa.”
Ronald termenung mendengar itu. “Lo tetep belajar untuk ujian perguruan tinggi tahun depan?”
“Iya. Masih.”
“Bagus. Setidaknya lo harus bisa ngeyakinin bokap lo kalau lo memang bakal bisa masuk Hukum nanti. Tapi Guna, bokap lo nggak bakal ngizinin lo buat ikut ujian juga, ‘kan, kalau nilai lo yang sekarang jeblok?”
Igun mengangguk. “Ya, lo bener, Krit. Tapi gue aja nggak bisa nyemangatin diri gue sendiri untuk masuk kelas.”
“Gimana kalau gini,” kata Ronald sambil meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. “Tiap kali lo berhasil nyemangatin diri lo untuk belajar di Ekonomi Pembangunan dua semester ini, lo menghadiahkan diri lo dengan belajar untuk ujian masuk tahun depan. Gimana?”
Igun menatap Ronald datar. “Maksudnya, gue berusaha disiplin belajar dengan memberi hadiah belajar pada diri sendiri? Gitu?”
Ronald memamerkan gigi- giginya pada Igun. “Kedengarannya agak stressing, ya, belajar terus?”
“Nah, itu lo tau.”
“Atau gini deh,” kata Ronald sambil mengelus kumis tipisnya yang mulai bermunculan, “Tiap kali lo ada tugas kuliah, gue akan ngebantuin lo sebisa mungkin. Gitu juga dengan pas UTS dan UAS. Tapi lo emang harus ngasih secuil niat untuk ngejalaninnya, asal lo bisa ngejalanin satu tahun ini sampai selesai. Ngerti?”
Igun mengerutkan dahi. “Gimana caranya lo ngebantuin gue belajar? Mata kuliah kita ‘kan beda semua?”
Ronald pun meniru perangai Ares –ia menekek Igun penuh semangat. “Lo emang nggak niat parah, ya? Mata kuliah anak Akuntansi sama Ekonomi Pembangunan banyak yang sama tahu, semester awal!”
Mata Igun membulat. “Eh bener?”
Ronald geleng- geleng kepala, “Coba sekarang lo list mata kuliah lo semester ini ada apa aja?”
Igun tampak berpikir lalu bergumam sendiri, tepat saat dua mangkuk bakso diantarkan ke meja mereka. Begitu mbak yang mengantar itu pergi, Igun melanjutkan, “Beneran loh, mata kuliah kita banyak yang sama! Wah, makasih banget lo udah mau ngebantuin gue buat belajar!”
“Sama- sama,” sahut Ronald sambil membubuhkan saos pada baksonya. “Yang penting, lo harus sabar- sabar dan tahan untuk satu tahun ini agar nilai lo nggak jeblok. Kalo lo berhasil, gue yakin bokap lo bakal percaya sama tekad lo.”
Igun tersenyum sambil menarik mangkuk baksonya lebih dekat. “Makasih, Krit.”
“Oke. Dan jangan bolos lagi.”
***
Di tempat yang lumayan jauh dari kantin D3, Vinny tampak berjalan menjauhi kampus. Ia berbelok menuju gang sempit, melewati sederetan kos- kosan mahasiswa. Tak lama kemudian, ia berhenti di salah satu kos putri, dan membuka pagar besinya.
Vinny sudah hafal dia ingin kemana, sebab ia langsung mencari kamar kos bernomor sepuluh. Ia mengetuk- ngetuk pintu kamar itu. “Nes! Ines! Lo di dalem?”
Vinny mengetuk dan memanggil beberapa kali, sampai akhirnya terdengar erangan dari arah dalam. Pintu kamar itu pun membuka sedikit, menampakkan setengah bola mata Ines yang mengintip dari dalam. “Eh, lo, Vin. Yuk, masuk. Udah beres kuliah?”
“Nah, lo sendiri nggak kuliah?” tuntut Vinny balik, sembari masuk ke kamar Ines, lalu duduk berhadap- hadapan dengan gadis yang baru bangun tidur itu.
“Astaga!” seru Vinny terkesiap. Wajahnya jelas begitu khawatir. “Nes, lo kok pucat banget?”