Banyak sekali yang membuat Ronald kaget akhir- akhir ini. Ia kaget saat mengetahui bahwa bila ia sudah mendaftar untuk mengambil magang di HIMA, dia tidak boleh lagi mendaftar magang di BEM. Ini membuat Ronald kecewa berat sekaligus bernapas lega, karena bisa memiliki alasan untuk melawan rasa egonya yang tinggi yang menginginkan keglamoran dan prestisius magang di BEM. Hampir saja Ronald tergelincir menjadi orang- orang yang sombong.
Saat mendaftar di organisasi Kakak Asuh, ternyata para calon permagangan langsung dites wawancara. Ronald yang saat itu ditemani Vito mau tak mau harus siap mental untuk diwawancarai saat itu juga. Ia sudah mengantri menunggu giliran diwawancarai sembari menengok rupa- rupa makhluk yang akan menanyainya. Dan yang ia tak sangka adalah, panitia rekrutmen sudah menyiapkan seorang bocah kecil berwajah tertekan yang mesti para pemagang bujuk rayu agar mau tertawa dan mau bermain bersama mereka. Pertama kali Ronald melihat bocah lelaki itu, ia membelalak, sungguh tidak menyangka. Ia penasaran : darimana para panitia rekrutmen Kakak Asuh mendapatkan bocah itu di jam- jam sekolah seperti sekarang?
Otak Ronald mulai membayangkan berbagai tindak kriminal seperti penipuan dan penculikan. Ia juga menggeleng- geleng sembari menggumamkan kata ‘penindasan’. Kenapa membuat anak tak berdosa itu mesti terlibat dengan penyelesaian masalah orang dewasa? Sungguh sangat tidak rasional sekali, ujar Ronald dalam hati. Dan bahkan jika sekalipun anak itu sudah cukup dewasa dan bisa berpikiran maju sehingga ia hanya dibawa alih- alih diculik, tetap saja tidak pantas. Sebab, ini memunculkan potensi korupsi yang cukup besar. Bagaimana jika ada peserta wawancara yang menyogok anak kecil itu sebelumnya sehingga bocah itu mau tertawa dan bermain dengannya?
Ketika Ronald masih asyik merenungkan berbagai tindakan kriminal yang dimunculkan otak idealisnya, tiba- tiba senior di depannya memanggil, “Ronald Aditya!”
“Ya, Kak!” sahut Ronald sembari maju ke depan. Tentu saja dengan ditemani Vito.
Pertanyaan selama wawancara itu –sebagaimana dugaan Ronald yang tidak pernah menduga- duga sebelumnya –tidaklah sesulit memikirkan tugas rumah logaritma trigonometri Angel. Ronald pun akhirnya memasuki sesi perayuan. Seperti peserta- peserta calon magang sebelumnya, ia diinstruksikan untuk melakukan hal yang sama : membuat wajah bocah itu tak tertekan lagi dan mau bermain bersama Ronald. Sayang, kemampuan Ronald melebihi batas. Wajahnya bahkan terlihat seperti badut- badut di film horor yang malah membuat bocah itu mundur ketakutan dan bersembunyi di belakang Vito. Dan begitulah, usaha keras Ronald hanya membuahkan hasil kemagangannya yang hanya di Pelatihan Kepemimpinan dan HIMA. Ya, itupun kalau lulus.
Hal- hal lain yang membuat Ronald terkejut adalah berkaitan dengan akademiknya. Pertama, kebiasaan menyingkat. Anak- anak di fakultas ekonomi terbiasa menyingkat nama kelasnya yang sebenarnya tidak terlalu panjang dan tidak akan mengeringkan kerongkongan. Misalnya seperti Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro menjadi PIE Mikro, Pengantar Ekonomi Makro menjadi PIE Makro, Pengantar Akuntansi jadi Pengakun, dan Pengantar Bisnis menjadi Pengabis. Yang cukup asyik disebut dan diulang- ulang adalah : Pengamen, singkatan dari Pengantar Manajemen. Untuk anak- anak yang ingin disebut the elite of the class, mereka cenderung menyebut Pengakun sebagai Finacc, singkatan dari Financial Accounting (menurut tingkatannya, setelah ini mereka akan memasuki Intermediate Accounting dan Advanced Accounting di tahun kedua dan ketiga).
Hal kedua, yaitu tentang praktikum. Ronald si pujangga tak pernah menyangka bahwa ekonomi akan memiliki semacam praktikum yang memerlukan jas laboratorium dan meja- meja berisi preparat menjijikkan. Tentu saja, prasangkanya salah. Praktikum berupa latihan- latihan soal dan penerapan materi kuliah mereka dalam masalah- masalah kehidupan nyata, yang disajikan dalam soal. Asisten praktikum akan menjelaskan ulang poin- poin penting sebelum memulai praktikum, dan mereka juga dengan senang hati memandu mahasiswa jika ada kesulitan. Terkhusus praktikum mata kuliah pokok akuntansi, selama praktikum mereka akan disodori laporan keuangan dan transaksi riil perusahaan- perusahaan di Indonesia, serta membuat perhitungan sesuai yang ditanyakan di soal. Inilah yang sering mereka sebut sebagai : ‘nghitungin duit miliaran tapi duitnya nggak pernah sampai ke tangan’.
Nah, hal ketiga yang membuat Ronald terkejoet adalah : Ratchel, si gadis sebahu berkacamata yang terlihat ambisius namun ternyata tidak itu, telah mengangkat Ronald Aditya sebagai ketua kelompok dengan semena- mena. Jadilah Ronald bertanggung jawab atas kelompok. Dan saat hari presentasi Pengabis mereka tiba, Ronald mesti mengawasi anak- anak kelompoknya yang nakal, memoderatori presentasi, dan bertanggung jawab untuk hampir semua bagian slide. Pembagian yang sangat adil.
Untung otak gue cemerlang, batin Ronald sambil menaikkan dagunya sedikit. Memang, ia mempresentasikan laporan mereka dengan lancar walafiat, hingga membuat Pak Gofur dan teman sekelasnya terkagum- kagum. Pertanyaan anak- anak lain juga umumnya diambil alih oleh Ronald, sehingga hampir semua poin diambil Ronald. Mungkin Ratchel agak menyesal dengan keputusannya mengangkat Ronald sebagai ketua tadi. Dan bagusnya, semua keterkejutan ini berbuah manis.
“Bagus sekali, kelompok tujuh,” puji Pak Gofur sembari memperlihatkan senyum yang dihiasi keriput wajahnya. “Sangat mendetail dan jelas. Saya harap, di presentasi selanjutnya, kelompok lain bisa mencontoh kecakapan kelompok ini dalam presentasi,” kata Pak Gofur.
Seketika aura penuh kekaguman itu berubah. Ronald langsung mencium aroma- aroma hasad dan cemburu di antara kawan- kawan sekelasnya.
“Karena presentasi kita sudah selesai,” kata Pak Gofur, “Saya akan memberikan tugas tambahan : Setiap kelompok harus menuliskan semua pertanyaan yang telah mereka terima tadi beserta jawabannya, diketik, dan dilampirkan dalam laporan. Jika ada kritik dan saran dari teman- teman kalian tadi, kalian bisa perbaiki dan tambahkan. Laporannya dikumpulkan minggu depan.”
“Baik, Paaak,” sahut para mahasiswa dengan senada seirama. Terdengar kasak- kusuk buku disimpan dan celoteh ingin makan di antara para maba itu.
“Kelompok tujuh ngumpul dulu,” sorak Ronald dengan tegas. Teman sekelompoknya, yang berhutang nilai pada si bocah keriting itu segera manut dan patuh berkumpul.
“Jadi,” kata Ronald, “Kayak yang Pak Gofur bilang, kita mesti melampirkan pertanyaan teman- teman lain sama jawabannya nih, di laporan. Kira- kira gimana pembagiannya?”
“Ron, pertanyaan temen- temen ‘kan umumnya lo yang jawab. Gimana kalau bagian nambahin itu lo yang handle aja? ‘Kan cuma dikit,” kata Ratchel dengan tampang polos.
“Masa gitu?” protes Ronald.
“Ya, terus mau gimana dong? Lo tadi ‘kan emang ngambil banyak pertanyaan. Dari delapan pertanyaan lo ngambil... berapa sih, lima, ya? Nah, karena kelimanya lo yang jawab, ya pasti lo lebih inget dong daripada kita. Gue juga nggak nyatet tadi lo ngejawab apaan untuk kelimanya,” jelas Ratchel sambil menyilangkan lengan, seakan- akan ini hal mudah yang tak bisa diatasi Ronald.
Kini, jauh di dalam lubuk hati, Ronald sangat ingin mengeritingkan rambut Ratchel agar sama dengan rambutnya saat ini.
Namun, ia hanya menghembuskan napas panjang. Ia tak ingin berargumen lebih panjang. Lagipula, memang ia sejenis perfeksionis. Ia tidak yakin teman- teman lain mencatat jawaban pertanyaan cukup sempurna, sesempurna penjelasannya tadi. “Oke, deh,” kata Ronald. “Yang tadi juga ikutan jawab, kasih nomornya ke gue,” perintah Ronald.
Terdengar lagi gumaman patuh beberapa dari mereka : Vinny, Rara, dan Prita. Ronald tidak menyangka sebenarnya, bahwa Pak Gofur akan memberikan tugas tambahan seperti ini. Dia mendistribusikan pertanyaan pada ketiga teman ceweknya itu agar mereka lebih aktif dan juga mendapat nilai tambah, karena ketiga- tiganya sama- sama pendiam. Dia sama sekali tidak menyangka juga, kalau dia sendiri yang akan mengurusi penambahan lampiran laporan itu.
Tiga tangan mengulurkan kertas berisi nomor ponsel pada Ronald, yang langsung diterimanya dengan wajah datar. “Oke, nanti kalian kirimin ke gue pertanyaan yang tadi kalian terima beserta jawabannya. Kalau sekarang nggak sempet, karena kita masih ada kelas lanjutan.”
“Oke,” kata Prita, sementara itu Rara mengangguk setuju. Vinny? Seperti biasa –diam.
Ketiganya, beserta anggota kelompok lain berjalan melangkah keluar kelas, mengikuti anak- anak lain yang sudah terlebih dulu keluar. Namun di dalam kelas, Ronald masih berdiri tanpa mengemasi barang- barangnya. Wajahnya menyunggingkan senyum
Dia akhirnya berhasil mendapatkan nomor Vinny.