4 tahun kemudian
"Ganteng banget sih"
Anna menghentikan aktivitasnya. Sesendok sup ayam buatan Bu Kantin yang baru akan mendarat mulus di mulutnya terhenti saat mendengar suara di sampingnya. Anna melengah ke arah samping dan melihat Joy sedang mengamati sesuatu jauh di depan mereka.
Tak tahan dengan rasa penasaran yang membelenggunya, Anna melirik ke arah depan mereka dan mendapati seseorang yang tengah memainkan laptop dengan earphone menyelip di kedua telinganya. Aktivitasnya itu membuat dia mati rasa akan segala hal di sekelilingnya, termasuk tak menyadari bahwa Joy tengah mengamatinya sedari tadi.
Anna mendengus tak bersuara, lebih memilih untuk menikmati sup ayam di depannya daripada seseorang itu. sup ayam ini jauh lebih nikmat daripada sekedar memandangi seseorang. Tak membuat kenyang sama sekali.
"Aku mau jadi pacarnya ini mah," itu suara Kinan.
Anna menghentikan lagi suapannya. Kali ini bukan lagi melakukan hal yang sama seperti tadi. Gadis itu memutuskan untuk menyeruput es teh manis yang terhidang di samping sup ayamnya. Nah yang ini bisa membuat tenggorokannya tak kering lagi.
"Cool banget kalau pake earphone gitu."
Lebay banget. Cibir Anna di dalam hati. Dari semua kalimat pujian yang terlontar dari teman-temannya, kalimat terakhirlah yang tak masuk akal.
Bagian mana yang cool? Tanyanya pada diri sendiri. Sebanyak itu para lelaki di kampusnya ini, kenapa malah dia yang terus-terusan di sanjung teman-temannya? membuat Anna semakin jengah saja berada disini.
Selesai menyeruput es teh manisnya, Anna melempar lagi pandangannya pada pemuda yang disanjung teman-temannya -dari belakang- itu. Karena Anna berani jamin, jika mereka benar-benar dihadapkan di depan pemuda itu, mereka pasti tak akan bisa mengatakan apa-apa.
Prama Raditya Jendra, ketua BEM fakultasnya yang katanya akan mengajukan diri menjadi Presiden Universitas. Si gila organisasi itu selalu mendapatkan tempat istimewa disetiap organisasi yang dia masuki. Sebut saja BEM, Peduli Sosial, Debat dan pernah beberapa kali menjadi delegasi dalam konferensi antar universitas di indonesia maupun di negara tetangga.
Kurang sempurna apa?
"Untungnya dia belum punya pacar."
Anna tertawa miris di dalam hati. Satu hal yang dia tak punya adalah gadis yang mau repot-repot mengurusi hidupnya. Satu hal yang entah kenapa tak pernah dilihat Anna sejak mereka SMA.
Yah kecuali sikap resenya yang selalu mendekati Anna saat itu, namun mendapat ucapan pedas terus-terusan juga akhirnya membuat pemuda itu berhenti.
Dan semua orang masih percaya bahwa Prama menyukainya.
Hal yang paling pasti adalah Anna tak mau repot-repot mengurusi cerita hidup pemuda itu. Tak sempat dia mengalihkan pandangan, yang dipandangi malah berbalik memandanginya. Mereka bertahan dengan mata yang fokus satu sama lain beberapa detik.
Barulah saat Anna tersadar, gadis itu langsung memalingkan wajah.
Bisa gawat kalau Prama kegeeran. Mau ditaruh dimana mukanya di depan pemuda itu?
Hih.
"Prama lihat ke arah sini. Dia liatin kamu, An"
Anna menoleh ke arah Joy lagi dan mengangkat bahunya, lebih baik dia melanjutkan aktivitasnya untuk menyantap sup ayamnya. Kuliahnya akan dimulai 20 menit lagi.
"Anna!"
Anna tersentak dan menoleh ke arah Kinan. "Apa sih, Ki?" tanyanya jengah, entah kenapa tiba-tiba kantin ini berubah menjadi sangat panas.
"Bukannya kamu satu sekolah sama Prama?"
Prama lagi, Prama lagi.
Anna hanya mengerinyitkan dahi tidak mengerti. Dia menyempatkan lagi melirik pemuda yang ada didepannya itu dengan cepat.
"Kok kamu kayak nggak kenal gitu sama dia?"
Apa lagi ini?
Anna menggeleng dan berdiri dari duduknya, dadanya terasa sangat sesak. Dia tidak bisa terus membiarkan kedua temannya ini menahannya disini karena mereka pasti akan menanyakan perihal pemuda itu lagi.
Tanya saja sendiri kepada orangnya!
Anna bukan sahabatnya, apalagi asistennya! Mana dia tau segala hal tentang orang yang jarang disapanya itu.
Gadis itu menyambar tasnya dengan cepat kemudian meninggalkan kedua temannya dengan cepat. Tanpa peduli Joy dan Kinan memperhatikannya dengan tampang tak mengerti.
Dia sudah lelah.
Dia sudah bosan mendengar nama Prama.
*
Dadanya masih terasa sesak. Ada dentuman keras yang tak pernah diundang masih bersemayam dihatinya. Matanya menatap jelaga itu sekali lagi dan lagi, dia memilih untuk memalingkan muka.
Dia terlalu malas untuk berhubungan dengan pemuda itu. Selalu satu sekolah selama enam tahun berturut-turut dan menjadi tetangga enam tahun yang lalu membuat Anna benar-benar sudah bosan dengan kehadiran pemuda itu.
Dia muak dengan kehadiran pemuda itu.
Anna menatap lagi kedepan dengan serius. Kali ini bukan lagi pada sepasang jelaga yang ada didepannya, dia lebih memfokuskan diri untuk membaca bahan presentasi. Tangannya lincah memainkan pulpen hingga tertulis huruf huruf kecil yang berisi materi di depan itu.
"Ada pertanyaan?"
Anna menutup matanya cepat. Suara itu lagi, lagi-lagi membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak merasakan sakit. Setengah hatinya merutuki keputusannya untuk mengambil mata kuliah umum terakhir ini dengan lama-lama. Membuatnya harus rela mendapati pemuda itu akan ada di satu kelasnya satu kali dalam seminggu.
Dia dan Prama memang berbeda jurusan. Namun mereka ada di fakultas yang sama. Tak jarang mereka bertemu di kantin ataupun perpustakaan. Sebenarnya, Anna tak pernah terganggu dengan hal itu.
Yang mengganggunya adalah pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang seringkali di ajukan kepadanya saat seseorang mengetahui bahwa dia dan Prama berasal dari SMA yang sama. Itu sangat mengganggunya.
Bagaimana Prama saat SMA?
Kenapa dia bisa begitu membanggakan?
Kenapa dia gila organisasi?
Anna tersenyum sinis saat mengingat pertanyaan terakhir itu. menurut Anna, pemuda itu tak hanya gila organisasi tapi juga gila jabatan!
Anna meletakkan pulpennya dan menutup buku catatannya. Materi tersebut mencapai slide terakhir dan tibalah akhir kuliah ini selesai. Prama menundukkan badannya karena selesai memberikan presentasi.
Saat gadis itu akan memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Sebuah suara menghentikan aktivitasnya.
Demi apapun, dia sudah bosan mendengar suara ini. Namun lebih muak lagi dengan isi pembicaraan pemuda itu.
"Bunda nelpon gue lagi, katanya lo nggak angkat telepon dari dua hari yang lalu," Prama mengucapkannya tanpa peduli orang-orang disekitar mereka.
Mata Anna langsung mengawasi, bukan hanya karena percakapan mereka yang sudah mencapai terlalu privasi tapi juga karena teman-teman yang berasal dari jurusan yang sama sudha memandang ke arahnya dengan rasa ingin tahu yang jelas.
Anna melirik pemuda itu cepat kemudian mengangguk. "Ya, nanti gue akan telepon bunda," balasnya singkat. Gadis itu segera berdiri dari duduknya.
Ketika Anna akan beranjak dari kelas yang mulai kosong itu. Langkahnya terhenti karena Prama menghalangi langkahnya keluar.
Anna menghela nafas dalam. Ada apa lagi pemuda ini?
"Ada apa lagi?" ujarnya lemas, karena sesuatu terasa menyerang badannya tiba-tiba.
Prama menatap Anna dengan dahi berkerut, memperhatikan setiap inci wajah temannya itu dengan seksama.
"Lo sakit?" ujarnya kemudian, nadanya terdengar khawatir.
Anna menggeleng pelan. "Nggak."
"Wajah lo pucat"
Menyerah. Anna menumpukan badannya dengan menekan kepala kursi dengan keras. Gadis itu memutar bola matanya dengan cepat dan berakhir pada mata pemuda itu. mereka bertatapan tajam beberapa saat.
"Bukan urusan lo," jawab gadis itu datar.
"Tapi ini urusan Bunda!"
Bunda? Anna berteriak di dalam hati. Sejak kapan bundanya menjadi bunda pemuda ini juga?
Mengepal tangannya dengan kuat, Anna mencoba menatap ke arah Prama lagi. "Udah deh lo jangan bawel. Kalau lo nggak ngomong macam-macam, bunda juga nggak akan tahu apa-apa!" sesak di dalam dadanya terasa begitu luar biasa kali ini.
Prama hanya diam membuat gadis di depannya sudah tidak bisa menahan dorongan untuk mencecar. "Sampai kapan lo mau jadi mata-mata bunda, hah?" kalah sudah. Gadis itu sudah kalah oleh pertahanannya yang terus dia jaga selama ini.
"Pram.... proposal.."
Suara seseorang menyadarkan mereka dari ketegangan. Prama menoleh ke arah gadis yang baru datang itu dan mengangguk. Mereka berjalan menjauh dari depan Anna dan membuat gadis itu bisa pergi secepatnya dari hadapan mereka.
Anna mengerjapkan matanya beberapa kali. Merasakan pandangannya sudah semakin buram. Tubuhnya juga sudah terasa begitu melayang. Dia menumpukan dirinya di dinding luar kelas dan menghela nafas beberapa kali.
Panik. Saat keringat dingin sudah mulai bercucuran dari pelipisnya. Gadis itu mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya dan meneguknya lama.
Anna memejamkan mata sekali lagi. menahan rintihan dari dalam dirinya untuk tak segera muncul ke permukaan. Disini bukan waktu yang tepat.
Gadis itu menggeram pelan, hanya berdoa agar pemuda bermulut besar itu tak menceritakan apa-apa pada Bunda dan Ayah yang akan membuat mereka datang ke kota ini gara-gara mencemaskan anak pertamanya.
Itu sudah pernah terjadi satu tahun yang lalu.
Merasa sudah baikan, dia melirik pelan jam tangannya. Anna menepuk kepalanya cepat saat tau ada aktivitas lain yang harus dia lakukan saat ini. Dengan cepat dia melangkahkan kaki dan berusaha mengabaikan rasa sakit yang tadi membelenggu.
Walaupun dia tidak membanggakan, Anna tidak akan membuat orang lain kerepotan.
Dan itulah prinsip hidupnya
Anna berhenti saat melihat Prama melewatinya dengan gadis tadi. Mungkin gadis itu adalah teman disalah satu organisasinya. Dan Anna tidak mau tahu. Matanya menatap datar punggung yang melewatinya itu dan beberapa saat kemudian menghilang dari pandangannya.
Meskipun mereka sudah berteman sejak lama, tapi tak pernah sedetikpun Anna membiarkan dirinya berlama-lama di samping Prama. Hal itulah yang membuat mereka tak pernah menjadi dekat meskipun pemuda itu selalu berusaha menyapanya.
Tidak akan. Meskipun hanya berteman, Anna tak akan berteman dengan Prama.
*
"Ya, Fay?"
Anna mengangkat telepon dari Fay. Adiknya itu sudah berada di tingkat atas sekolah menengah sehingga Fay juga terlihat sibuk akhir-akhir ini karena kegiatan sekolah yang tak bisa ditinggalkannya.
"Kakak, kenapa nggak angkat teleponku sih?"
Anna menghela nafas. "Aku sibuk."
Sepulang dari kuliah tadi, dia harus cepat-cepat ke salah satu Radio kota karena sudah dua bulan ini bekerja paruh waktu disana. Anna kebagian shift sore dan malam selama empat hari dalam seminggu. Dan itulah yang membuatnya menjadi sangat sibuk dua bulan ini.
"Sebegitu sibuknya? Kak Pram aja yang aktivis kampus masih sempat nerima teleponku"
Anna menutup matanya pelan. tidak bisakah sehari saja dia tak mendengar nama pemuda itu? Dia sudah benar-benar bosan. Lagipula, tak ada hubungannya dia dan Prama selama ini sehingga apa-apa harus disangkutpautkan dengan pemuda itu.
Dan Anna memang butuh istirahat kali ini.
"Kalau gitu, jadiin saja dia kakakmu dan jangan telepon aku lagi."
Fay tertawa singkat di seberang sana. "Kak, kenapa sih kalau ngomongin Kak Pram kakak selalu terlalu sensitif?"
Anna mengerinyitkan dahi. "Siapa yang sensitif?"
Fay hanya tertawa pelan. "Padahal Kak Pram kan mau jadi adik iparmu."
Rasa kantuknya hilang begitu saja, mata gadis itu langsung terbelalak. "Maksud kamu?!"
Anna sebenarnya tak terlalu kaget mengetahui kenyataan itu. Karena memang benar dari dulu Fay menunjukkan rasa simpati yang begitu besar terhadap Prama bahkan saat Fay masih SMP. Yang membuat Anna kaget adalah saat Fay begitu terang-terangan mengatakan perasaannya. Hal yang selalu Fay hindari saat dulu Anna menanyakan perasaannya.
Adiknya yang cantik, yang berpretasi, ketua PMR dan juga kapten cheers kini telah mengaku menyukai saingannya dari dulu. Baiklah dari segi fisik dan materi mereka memang cocok.
"Jangan-jangan kamu udah jadian sama dia?" tembak Anna langsung
Fay tertawa. "Mana mungkin! Kak Pram suka cewek lain kok."
Anna menggelengkan kepalanya, meski tak akan terlihat oleh Fay. "Fay, kalau kamu cuman mau bahas ini, lebih baik kamu bahas sama Bunda dan bukan aku. Aku benar-benar capek dan ingin tidur."
Fay terdengar mendengus. "Iyadeh, kakak yang sibuk."
Anna kembali memutar bola mata dan memutuskan sambungan telepon. Ditatapnya langit-langit kamarnya dengan nanar. Selintas ucapan Fay tadi terdengar kembali di telinganya.
Bagaimana jika mereka benar-benar jadian?
Anna tak pernah tau apa yang terjadi jika memang itu adalah kenyataannya.
Bukan urusan gue. Tekannya di dalam hati. Satu helaan nafas terdengar di detik selanjutnya.
Sebelum mematikan ponselnya. Gadis itu melirik kembali kalender di nakas samping tempat tidurnya. Besok, dia harus konsultasi kembali dengan dokter yang sudah menanganinya beberapa bulan yang lalu. Anna kembali memejamkan mata, baru beberapa detik, ponselnya kembali berbunyi.
Prama
Besok gue mau ketemu elo, jangan nolak.
Anna malas berdebat, dia memutuskan untuk hanya membaca pesan dari Prama itu tanpa mau membalasnya. Dia benar-benar butuh istirahat sekarang.
***