4. Mobil Mencurigakan

1212 Kata
Vania yang bercermin di depan kaca sedang mengikat rambutnya sambil bersenandung riang. Hari itu, adalah hari dimana dia masuk ke kafe tempat Alice bekerja. Makanya gadis itu terlihat begitu senang. Raul yang mendengar suara khas vania menggelengkan kepala berulang kali, bahkan sampai menghela nafas dengan kasar. “Berhentikah menyanyi kalau kau tak ingin terlambat!” teriak Raul cukup keras. Seketika nyanyian Vania berhenti. Gadis itu langsung membuka pintu dengan penuh semangat. “Hari ini, kemana kau akan pergi kerja?” Vania tahu kalau Paul kerja serabutan. “Aku akan mengurus semua surat untuk kita pindah.” Kegiatan Vania langsung berhenti saat itu juga. Dia baru saja diterima lerja, dan Raul seenaknya membuat keputusan untuk pindah. “Apa kau sudah gila! Pasti otakmu kemasukan air.” Vania menganggap perkataan Raul hanya candaan saja. “Dengar..., aku tak bercanda, Van,” jawab pria itu sambil menggeser kursi. Wajah serius Raul membuat Vania kesal setengah mati. “Apa alasan kau mengajakku pindah?” “Bahas saja nanti. Kau makan dulu karena sudah terlambat.” Inilah yang tidak disukai oleh Vania dari Raul. Dia selalu menunda masalah dan membuat keputusan sendiri. “Kalau kau ingin pindah, pindah saja. Aku akan mengurus hidupku,” ucap Vania dengan sewot. “Vania!” bentak Raul tanpa sadar. Gadis itu langsung terkejut karena tak percaya bahwa Raul membentaknya, baru kali ini dia berperilaku kasar. “Maafkan aku,” sesal Raul sambil mengusap seluruh wajahnya dnegan kasar. “Lakukan apa yang aku minta.” Pria itu pergi meninggalkan Vania begitu saja. “Apa yang salah dengannya?” Vania tersebut meneguh s**u segelas, dan membiarkan roti yang ada di depannya begitu saja. “Selera makanku jadi hilang.” Vania menatap pintu kamar Raul cukup lama. “Pasti kau menyembunyikan sesuatu.” Ia melirik ke arah jam dinding. “Aku tahu kau akan pergi kemana saja. Nanti sepulang dari kampus aku akan mencarimu.” Gadis itu bergegas keluar rumah. Dahinya berkerut kala melihat sebuah mobil sangat bagus terparkir di depan rumah kosong sebelahnya. “Benar kata Raul, ada penghuni baru disamping rumahku. Dan penghuni itu terlihat kaya,” gumamnya sambil menggaruk kepalanya dengan asal hingga kusut. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Alice yang sudah berada dibelakang Vania sambil berkacak pinggang. “Aku punya tetangga baru. Tapi dia tak memberiku makanan sebagai ucapan selamat datang,” keluh Vania dengan wajah ditekuk. “Isi otakmu hanya makanan saja.” Alice langsung merangkul Vania untuk mengajaknya berjalan kaki. “Malam ini kau mulai bekerja di kafeku, bukan?” “Aku tak mau membahas itu. Ada yang aneh dengan Raul.” Vania menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah langit. “Raul mengajakku pindah dari tempat ini. Itu artinya kuliahku juga pindah.” Alice terkejut sambil mengeplakan tangannya dengan kuat, tapi ia berusaha tersenyum. “Mungkin demi kebaikanmu.” “Aku yakin ada yang disembunyikan Raul dariku. Bukankah aneh, setelah aku bercerita tentang mantan kekasih aunty dia langsung berubah total.” Raut wajah Alice mendadak pucat pasi. Bisa jadi orang yang ditemuinya semalam adalah orang yang sama. Itu artinya Vania dan Raul dalam bahaya. Apa yang harus aku lakukan? Alice langsung mematikan ponsel yang ada di sakunya. Ternyata sedari tadi gadis itu menghubungi Leo, agar pembicaraan mereka di dengar oleh pria itu. “Dia mematikan ponselnya sepihak, Ben.” Leo tersenyum semirik, menatap ke arah jendela. Tampak rumah Vania yang begitu nyaman dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran. Jendela yang ditatap pria itu adalah jendela kamar milik Vania. “Apa perintah anda, Tuan?” Ben siap melakukan apapun demi Leo. “Sepertinya Raul hendak memisahkanku dengan Vania. Hanya ada satu cara, blokir semua identitas mereka berdua. Dengan begitu, mereka tak akan pergi dari kota ini.” “Baik..., saya akan melakukannya.” Ben undur diri, meninggalkan Leo sendirian di dalam ruangan. Pria itu menatap sebuah pigura yang terdapat foto Vanya. “Kalian berdua begitu mirip, meski kepribadian dia berbeda itu tak masalah buatku.” Leo bangkit dari kuris sambil menyambar kunci mobil. “Tunggulah aku..., kau pasti terkejut, Vaniaku Sayang.” Cintanya terhadap Vanya begitu besar hingga tak bisa lepas dari bayang-bayang kekasihnya itu. Untuk mengembalikan hatinya yang hilang, Leo mengambil keputusan sepihak, mengusik kehidupan seseorang. Sampai di tempat belajar Vania, mobil mewah itu parkir di area khusus. Banyak para mahasiswi menatapnya tiada henti. Mereka bertanya-tanya, siapa gerangan yang berada di dalam mobil itu. Namun Leo tidak keluar mobil karena yang dilakukan hanya mengamati saja, tentu mengamati Vania dari jauh. Tidak lama setelahnya, Vania dan Alice berjalan masuk ke dalam gedung universitas. Mata elang Leo terus menatap gadis itu tanpa henti. Sementara yang ditatap merasa tidak asing dengan mobil itu, lantas ia memilih berhenti tepat di depan benda besi tersebut. “Ada apa?” tanya Alice karena melihat Vania berhenti begitu saja. “Aku kenal mobil ini,” ujar Vania mengamati, masih belum menyadari bahwa ada seseorang dibalik kemudi, sebab kaca mobil berwarna hitam pekat dan tidak terlihat sama sekali dari luar. “Banyak mobil seperti ini di luar sana.” Alice melirik sekilas, mendesah ringan. “… ayolah…, kita sudah terlambat.” Vania masih berdiri karena plat mobil milik tetangga barunya sama dengan plat mobil tersebut. “Apakah hanya kebetulan. Mobil mencurigakan. Pasti orangnya juga mencurigakan.” “Cepatlah…!” Alice menarik paksa lengan Vania untuk segera meninggalkan tempat itu. Sedangkan Leo menyeringai sambil mengusap dagu berulang kali. Vania begitu pintar, memiliki daya ingat cukup kuat. Mungkin di masa depan nanti, ia akan berganti-ganti mobil agar dia tidak curiga. “Kau semakin memikat, Vania.” Ah, rasanya Leo tidak sabar ingin memiliki gadis itu seutuhnya, merengkuh, memeluk, mencium, bahkan melakukan hubungan. Gila, dia tidak waras karena berpikir hal menjijikan bersama gadis yang jelas lebih muda darinya. Apakah Leo peduli? Jelas tidak! Karena bagi pria itu memiliki Vania adalah mengembalikan Vanya. Namun satu hal yang sangat salah dalam hidupnya, yaitu Vania bukanlah pengganti Vanya. “Aku harus melakukan sesuatu untuk mengambil hati gadis itu. Harus, sebelum ada orang lain yang merebutnya.” Mobil itu pun berjalan perlahan meninggalkan tempat tersebut. Para mahasiswi tampak kecewa karena tidak bisa melihat sosok dibalik kemudi. Kemungkinan besar, dia merupakan konglomerat atau seorang taipan. Sementara itu, bayangan mobil mencurigakan masih terlihat jelas di otak Vania. Gadis itu merasa bahwa kehidupan nyaman dan tenang tidak akan lama lagi terusik. “Apa iya itu mobil milik tetanggaku. Aku harus memastikannya.” Gadis itu mengangguk berulang kali membuat Alice tertawa. “Kau seperti orang-orang sawah,” ejek Alice terang-terangan. “Aku masih memikirkan mobil itu.” Namun tiba-tiba ekspresi wajah Vania berubah total. Alice tahu siapa yang mengakhibatkan perubahan wajah yang begitu mendadak itu. “Aku mencarimu dari tadi, ternyata kau sudah masuk ke dalam kelas. Ngomong-ngomong, kenapa kau lari saat bertemu di makam?” Vania mendesah kesal, tak tahu lagi harus bicara apa dengan pria yang berstatus sebagai kapten basket itu. Apakah dia selalu percaya diri, memikat gadis sana-sini, seperti seorang playboy? Biarpun dia berubah menjadi orang terkenal atau sangat tampan, gadis itu tak peduli sama sekali. “Vania…, jawab pertanyaanku?” Pria itu masih kukuh dengan pendiriannya, bahkan dengan lancang dia menggeser kursi disamping Vania. Si Jerapah tidak tahu diri! Karena dia hidupku menjadi tidak tenang. Kenapa demikian? Karena para gadis kampus menargetkan Vania, bahkan membenci dengan terang-terangan. Padahal dia tidak salah sama sekali. Yang harus disalahkan ada si jerapah tak tahu malu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN