Bab 2. Kecewa

1254 Kata
Nadin membatu. Dia tidak bisa mengatakan apapun setelah mendengar pernyataan dokter terkait beberapa gejala yang ia hadapi akhir-akhir ini. Ia tidak menyangka akan mengalami hal yang sama dengan ibunya. Sebuah penyakit mematikan yang menggerogoti tubuh ibunya sampai meninggal dunia. Memperhatikan hasil analisis dokter dengan mata yang berlinang. Ia masih tidak percaya dengan yang dia alami. Sekarang, dia tidak punya tenaga sedikitpun. "Beberapa gejala yang Anda keluhkan itu mengarah pada Leukimia. Cepat lelah, sakit kepala hingga pusing yang berlebihan, kulit pucat kekuningan, tangan dan kaki yang dingin, bahkan sampai detak jantung yang tidak teratur. Terlebih hasil laboratorium memperjelas analisis saya. Ini jelas-jelas anemia dan Anda tidak menyadarinya." Ujar dokter itu pada Nadin. Nadin mengambil dompetnya, melihat foto keluarga yang dia miliki. Hanya benda itu saja setelah kedua orangtuanya meninggal. Ia hanya tinggal berdua dengan adiknya yang masih kuliah, sedangkan dia menjadi tulang punggung keluarga. Gajinya saja tidak cukup untuk membiayai gaya hidup adiknya, apalagi sekarang dia sudah di diagnosa mengalami anemia. Setidaknya dia bisa membeli obat untuk mengobati sakitnya ini. "Ibu, doakan Nadin bisa banyak rezeki supaya bisa tetap sehat, mencarikan Gina rezeki yang banyak untuk kuliahnya. Ayah juga jangan lupa doakan Nadin, ya?" Tanya Nadin pada figur yang tak bersuara itu. Tangisnya membasahi kertas penuh kenangan tersebut. *** Setelah menyelesaikan administrasi dan segalanya, Nadin memutuskan untuk pulang. Tapi saat dia hendak naik angkutan umum, ia dipanggil oleh anak kecil. "Ibu guru Nadin!" Teriak anak kecil. Siapa lagi kalau bukan Zavon. Nadin membalikkan badannya dan tersenyum melihat anak kecil itu, namun tidak sampai membuatnya berani untuk menghampiri Zavon. Terlebih, tatapan Reno padanya sangat menusuk, lebih dari sebelumnya seakan-akan dia sudah menyakiti anak itu. Nadin hanya melambaikan tangannya, dan hendak masuk lagi. Akan tetapi ia kembali di panggil. Kali ini Zavon berlari menghampirinya sampai jatuh. "Aww!" Nadin berlari membantu Zavon untuk bangun. Ia bahkan juga sampai mengabaikan kertas diagnosa dokter yang sempat melayang dari tasnya. "Zavon tidak apa-apa, kan?" Tanya Nadin. Zavon menatapnya sendu. Air mata Zavon berlinang, membuat Nadin segera memeluknya. Ia mengangkat tubuh Zavon bak masih bayi. "Zavon harus tahu kalau orang yang suka jatuh saat kecilnya, nanti kalau sudah besar akan jadi anak yang pintar, akan jadi pemimpin seperti yang ibu guru bilang sebelumnya. Jadi Zavon jangan nangis. Zavon harus kuat, bila perlu ketawa supaya tidak terasa sakit lukanya." Gumam Nadin, sambil menenangkan Zavon yang ada di gendongannya. Semula Zavon yang menangis, kini terdiam. Ia meminta turun dari Nadin. Tahu dan paham dengan maksud anak kecil ini, Nadin mensejajarkan dirinya. "Berarti kalau Zavon terluka itu artinya Zavon kuat?" Tanya Zavon polos. Nadin menatap Zavon agak lama, terlebih ketika melihat iris mata Zavon yang berwarna biru membuatnya hanyut. Agak lama, Nadin mengangguk begitu semangat. "Tentu saja. Itu artinya Zavon adalah seorang pemimpin yang kuat. Makanya besok-besok kalau Zavon jatuh, jangan langsung nangis. Bangun aja seperti biasa, oke?" Nadin membentuk tanda oke dengan jemarinya, yang kemudian di ikuti oleh Zavon. Keduanya tertawa, dan hal ini diperhatikan penuh oleh Reno dari kejauhan. Tak sengaja, Nadin melihat Reno yang menatapnya, membuatnya salah tingkah. Kemudian, ia membantu Zavon untuk kembali ke Reno. Sedikit canggung, apalagi sebelumnya tidak ada hal yang baik diantara keduanya. "Zavon anak yang baik. Saya hanya mengenalnya hari ini, saya tidak punya hubungan apapun dengannya. Maaf kalau saya lancang." Ucap Nadin, menunduk. Ia sedikit takut dengan tatapan Reno yang selalu dingin padanya. Nadin kembali mensejajarkan dirinya dengan Zavon, mengelus surai anak itu. "Lain kali kita ketemu lagi, ya?. Ibu guru mau pulang dulu." Ujarnya. Ia mencium pipi Zavon singkat kemudian meninggalkan Reno dan Zavon di parkiran mobil. Nadin hendak memungut kertas diagnosa dokter yang tadi sempat jatuh, namun tidak semudah itu baginya. Setiap kali dia menunduk untuk mengambilnya, terbang. Seakan-akan dia tidak diberikan kesempatan. Nadin seketika terdiam ketika Reno mengambil kertas itu untuknya. Ia berjalan mendekati Nadin, namun ekspresinya hampir sama. Sebelumnya, Nadin tak pernah bertemu dengan pria sedingin ini. Membuatnya merasakan hal yang beda. "Ini. Lain kali masukan dengan benar ke dalam tas Anda. Ini berharga, bukan hanya sekedar kertas." Ujar Reno saat memberikan kertas itu. Ketika Nadin hendak meraihnya, Reno mencoba membukanya namun langsung di cerobot oleh Nadin. Ia tidak mau pria itu mengetahui penyakit mematikan yang ia alami. "Di gerogiti penyakit baru tahu rasa!" Gumam pelan Reno, akan tetapi masih terdengar oleh Nadin. Itu seperti menohok telak hati Nadin. Seakan-akan dia di sindir secara halus oleh pria itu. "Pria ini sangat tidak berperasaan. Aku sumpahi, suatu hari nanti dia akan ditinggal oleh kekasihnya. Ia akan tahu bagaimana rasanya sakit ditinggal orang terkasih." Batin Nadin. "Apakah Anda punya urusan lain lagi dengan saya? Kalau tidak, saya akan pulang." Ujar Nadin, masih berusaha sopan di samping kecewa yang dirasa akibat ucapan Reno. "Zavon ingin Anda naik mobil kami." Ujar Reno singkat dan padat. "Maaf, tapi saya lebih nyaman naik angkutan umum. Saya tidak berani mengotori mobil bapak." Tolak Nadin, telak. Reno dan Nadin saling tatap. "Kamu memang pria yang terlihat baik di luar, tampan dan tampak bertanggung jawab. Tapi seperti biasa, tidak ada yang akan menjamin hal itu. Nyatanya, mulut pria ini lebih berbisa dibandingkan ular." Batin Nadin, memperhatikan Reno yang juga melakukan hal yang sama. "Dia cantik, baik, tapi aku takut menyakiti orang lain lagi. Berusaha dingin, juga akan tetap menyakitinya. Kalau aku peduli, aku takut dia berharap padaku. Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Reno pada hatinya. "Uncle!. Ayo ajak ibu guru Nadin pulang bareng!" Teriak Zavon, memecahkan pemikiran satu sama lain diantara keduanya. Keduanya salah tingkah. "Anda yakin pakai kendaraan umum dibandingkan ikut dengan kami?" Tanya Reno sekali lagi. "Hanya saat ini saja, pak. Saya berharap untuk hari berikutnya kita tidak bertemu dan tidak saling merepotkan satu sama lain." Jawab Nadin, lebih awal menghampiri mobil pria itu. "Aku ingin bertemu lagi denganmu, tapi tidak mau ada rasa yang lebih diantara kita berdua." Batin Reno, memperhatikan Nadin dari belakang. "Ibu guru sama aku ya di belakang?" Tanya Zavon semangat. Nadin juga begitu semangat saat menyetujui usul anak kecil itu. *** "Terimakasih sudah mau mengantar saya. Jika berkenan, kalian bisa mampir dulu sekedar minum kopi atau teh?" Tawar Nadin. Reno menggelengkan kepalanya, sedangkan Zavon mengangguk semangat. Pasrah, Reno akhirnya menuruti kemauan keponakannya. Meski bagaimana pun tak elok kalau menolak permintaan tuan rumah. Nadin sedikit senang karena Reno mau mampir ke rumahnya. Saat mereka hendak masuk, keluar seorang perempuan yang hampir mirip dengan Nadin. "Kak, siapa mereka?" Tanya perempuan itu. "Gina, kenalin ini pak Reno." Nadin memperkenalkan Reno pada adiknya Nadin. Baik Reno maupun Gina sama-sama memperkenalkan diri. "Oh iya? Kakak ini seorang dokter?" Tanya Gina tak percaya. Dia bahkan sampai membungkam dirinya. "Iya. Saya dokter. Memangnya kenapa?" Tanya Reno. "Tidak apa-apa. Saya mahasiswa kedokteran. Boleh dong nanti saya tanya-tanya masalah kesehatan, terlebih kakak ini temannya kakak saya." Ujar Gina. Dia seperti tertarik dengan Reno. Dengan ragu, Reno mengangguk. "Tidak masalah. Selagi saya bisa, kenapa tidak?" "Ayo masuk!" Ajak Nadin. Ketika Nadin lebih dulu masuk, Zavon langsung berlari menghampiri Nadin. Ia terlihat begitu ceria, mengikuti kemanapun Nadin pergi. Ketika Nadin di dapur untuk menyiapkan minuman pun, anak kecil itu bersamanya, bukan bersama pamannya. "Nanti kalau Zavon kebingungan sama pelajaran sekolah, Zavon juga mau tanya ibu guru. Boleh kan, ibu guru Nadin?" Tanya Zavon polos. Nadin tertawa. "Tentu saja. Memangnya Zavon mau tanya apa sama ibu guru?" "Ada aja!" Jawab Zavon polos, namun terdengar lucu. Nadin membawa nampan berisi teh untuk Gina dan Reno, sedangkan Zavon tetap mengekorinya dari belakang. Langkah Nadin seketika membatu ketika melihat Reno dan Gina yang terlihat begitu akrab, padahal Nadin sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada pria itu. "Mereka terlihat serasi, tapi kenapa aku kecewa?" Tanya Nadin dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN