“Berhenti bersikap seperti ini di depan semua orang, Laura!” bentak Julian, penuh rasa muak.
Ia membuka pintu mobil dengan kasar dan masuk ke kursi pengemudi tanpa menunggu Laura.
Laura menunduk sejenak, menenangkan dirinya sebelum masuk ke kursi di sebelah Julian. Begitu pintu tertutup, suasana dalam mobil terasa sunyi. Julian menyalakan mesin tanpa melihat ke arahnya, lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
“Kenapa kamu datang ke rumah sakit tanpa memberi tahu sebelumnya!?”
“Aku hanya ingin menjemputmu,” jawab Laura dengan suara lembut. “Bukankah sudah lama kita tidak makan bersama? Aku pikir kamu akan senang.”
Julian mendengus, memalingkan wajah keluar jendela. “Aku sudah bilang, jangan datang ke rumah sakit. Aku tidak suka kalau kita harus pura-pura romantis seperti tadi.”
Laura menunduk, suaranya mulai bergetar, “Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan suamiku. Apa itu salah?”
“Salah, Laura. Salah besar ..! Kamu tidak pernah mengerti, ya? Semua ini hanya formalitas! Kita dijodohkan, dan aku nggak akan pernah menganggapmu istri sampai kapanpun, bahkan untuk mencintaimu pun tidak pernah terlintas sedetikpun di pikiranku!”
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggumu,” katanya lirih. “Aku tahu kamu tidak mencintaiku, tapi bisakah kamu setidaknya mencoba untuk tidak membenciku?”
Julian mengerem mendadak, menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia menoleh ke arah Laura dengan tatapan nyalang. “Aku tidak pernah meminta pernikahan ini, semuanya hanya kesepakatan bisnis antara keluargamu dan keluargaku. Jadi, jangan pernah meminta sesuatu yang tidak akan pernah bisa kulakukan.”
Laura menggigit bibirnya, menunduk dalam. Ia mengusap matanya dengan cepat sebelum air mata itu jatuh. Meskipun hatinya terluka, ia tetap mencoba tersenyum kecil. “Baik. Aku mengerti.”
Julian hanya mendengus, menyalakan mesin mobil lagi dan melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa.
***
Keesokan paginya, Julian berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat pandangannya jatuh pada sosok yang baru saja masuk dari pintu utama.
Di sana, Keira berdiri dengan seragam kerjanya, tetapi bukan itu yang membuat jantung Julian berdegup kencang. Di samping Keira, ada seorang anak kecil dengan rambut hitam legam dan wajah yang sangat mirip dengannya.
Julian merasa seluruh tubuhnya mendadak kaku. Napasnya tercekat, dan tangannya yang memegang clipboard gemetar halus. Matanya tak lepas dari anak kecil itu. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
"Siapa anak itu? Kenapa wajahnya mirip denganku? Apa mungkin ... ah, sepertinya tidak mungkin!" batinnya.
Julian berdiri mematung, tak bergerak sedikit pun hingga Keira menyadari keberadaannya. Dengan langkah cepat, wanita itu mendekatinya sambil menggandeng tangan anak kecil itu.
“Dokter Julian,” sapa Keira dengan suara yang terdengar sedikit gugup.
Julian hanya mampu mengangguk pelan, menahan semua perasaan yang berkecamuk di dadanya. Matanya tetap terpaku pada anak kecil di samping Keira.
Anak itu sedang menatapnya dengan mata cokelat cerah yang sangat identik dengannya. Anak itu tersenyum manis, memperlihatkan gigi-giginya yang kecil dan rapi.
“Ini … Revan,” Keira memulai dengan hati-hati, suaranya terdengar pelan. “Dia anak saya.”
Julian menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. “A-apa?” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutnya.
Keira mengangguk, menarik napas dalam-dalam. “Saya minta maaf, Dok. Hari ini saya terpaksa membawa Revan ke rumah sakit. Tetangga yang biasanya menjaga dia mendadak harus keluar kota. Saya nggak punya pilihan lain. Saya janji dia nggak akan mengganggu.”
Anak kecil itu mengangguk dengan senyum manis. “Aku nggak akan nakal, Om Dokter. Aku janji,” katanya polos.
Julian merasa seolah-olah dunianya berhenti berputar. Dadanya terasa sesak, ia ingin bicara, ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahnya terasa kelu.
Keira yang menyadari keanehan itu mencoba tersenyum tipis, setengah menyeringai. Ia segera membawa Revan ke ruang administrasi, meninggalkan Julian yang masih berdiri mematung di lorong.
“Revan, kamu di sini ya. Kalau Mommy sibuk, kamu jangan keluar ruangan, oke?” Keira memberikan krayon dan buku gambar, mengelus lembut pucuk kepala putranya sambil terus memberikan peringatan lembut.
“Iya, Mommy. Aku nggak nakal,” jawab Revan sambil mulai menggambar sesuatu.
Keira keluar dari ruang administrasi dengan langkah tergesa, baru saja membuka pintu, Julian langsung menghadangnya dengan raut dingin.
“Keira, aku butuh penjelasan.”
Keira menghela napas panjang. “Penjelasan apa, Dokter?”
“Langsung saja, Revan itu benar putramu, kan? Umurnya berapa? Dan di mana suamimu?”
Keira menatap Julian dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Anakku umur lima tahun, Dok,” jawab Keira pelan. “Dan dia tidak punya ayah.”
Julian tertegun. Ia menatap Keira dengan mata yang mulai memerah, seolah kata-kata itu baru saja menghujam hatinya. “Apa maksudmu? Apa ayahnya sudah meninggal?”
Keira menggeleng. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tegar. “Dia pergi. Pergi bahkan sebelum tahu saya mengandung. Saya ditinggalkan, Dok. Saya membesarkan Revan sendirian. Dia hanya punya saya.”
Julian merasakan kepalanya berputar. Napasnya terasa berat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tubuhnya terasa kaku, sementara pikirannya mulai merangkai potongan-potongan fakta yang ia dapati hari ini.
“Maaf, saya harus ke ruang poli sekarang,” kata Keira terburu-buru, ia berlalu meninggalkan Julian yang tetap berdiri di sana, membatu.
Pikiran pria itu kacau, hatinya seperti diremas-remas. Senyuman, sorot mata, bahkan semua yang ada pada diri Revan seperti cerminan darinya. Tak ada lagi keraguan di hatinya, Revan adalah darah dagingnya. Namun, ia tak bisa mengakui itu.
Ia duduk di kursi tunggu, mengusap wajahnya dengan kasar. Di dalam pikirannya, wajah Keira terus muncul. Gadis yang pernah ia cintai, yang pernah ia lukai.
Dan kini, perempuan itu datang kembali ke kehidupannya sebagai ibu dari seorang anak yang ia tinggalkan tanpa pernah tahu.
“Apa yang sudah aku lakukan …?” gumamnya, suara itu nyaris tak terdengar.
Hatinya terasa seperti dipukul berkali-kali. Kenangan masa lalu mereka kembali terulang dalam benaknya.
Dulu mereka saling mencintai, hingga suatu hari segalanya berubah. Ancaman datang dari seseorang yang tak ingin mereka bersama.
Demi melindungi Keira, Julian terpaksa melepaskannya dengan cara yang paling kejam, yaitu meninggalkannya tanpa penjelasan. Parahnya, ia harus pura-pura tak mengenal wanita yang masih sangat dicintainya hingga detik ini, tak ada yang lebih menyakitkan dari itu.
Kini, ia tahu keputusannya telah menghancurkan Keira. Lebih dari itu, keputusannya juga menghancurkan dirinya sendiri.
"Aku sangat merindukanmu, Kei. Enam tahun aku meninggalkanmu, tanpa tahu kau telah melahirkan putra kita. Enam tahun juga aku mengkhianatimu dengan wanita lain. Mungkin ... wajar jika hanya kebencian yang pantas kudapatkan darimu," batinnya.
Di dalam hatinya, ia ingin sekali memeluk putranya. Namun, ia juga tahu bahwa mendekati Keira lagi hanya akan membawa bahaya. Demi keselamatan Keira dan Revan, ia harus tetap menjaga jarak, meski hatinya hancur berkeping-keping.
“Aku mencintaimu, Keira … aku mencintaimu. Aku akan melindungimu dengan caraku sendiri, dan memastikan putra kita aman dari bahaya yang akan merenggutnya.”