Bab 2

2032 Kata
Karena menemani Andre berbicara di ruangan pria itu tadi, membuat Tara terlambat makan siang. Ralat, bukan menemani sebenarnya, tetapi lebih tepatnya Andre yang berbagi dan akhirnya mereka sedikit bersitegang. Beruntungnya mereka segera berdamai kembali setelah itu. Karena Andre tidak memiliki jadwal lagi, mereka keluar kantor untuk makan siang sekalian pulang. Tara tidak peduli walaupun dia dikatakan tidak tahu diri atau memanfaatkan persahabatannya dengan Andre, dia perlu makan dan istirahat. "Kok kalian lama baru datang?" tanya Farrel. Wajah tampan pria itu menekuk. Dia sudah hampir jadi patung berlumut menunggu kedua orang ini. "Andre nih nyebelin!" sungut Tara sambil duduk di sebelah Farrel. Mulutnya meruncing menunjuk Andre yang duduk dengan wajah datar dan tak acuhnya. "Kok Andre?" Farrel mengerutkan kening, menatap ke arah Andre yang duduk di seberangnya. "Kenapa gue?" Andre balik bertanya. Wajah tampannya terlihat datar seperti biasa. "Gue cuman bilang ke Tara kalo tadi malam gue mimpiin Vian lagi." Farrel menghela napas mendengar perkataan Andre. Dia yakin kalau kedua sahabat itu berdebat lagi tadi. Tara pasti menangis lagi, kedua matanya tampak sembap. Andre sepertinya juga demikian. Napas lelah terembus dari mulut Farrel. Kedua sahabat itu pasti saling menyalahkan diri sendiri dan menangis bila menyinggung masalah Vian. Dia pun demikian, dadanya masih saja terasa sesak kala mengingat sahabatnya yang meninggal karena kanker darah sepuluh tahun yang lalu. "Tara bilang gue harus nyari pasangan." Andre memutar bola mata kesal. "Tapi gue nggak mau. Pasangan gue cuma Vian." Farrel mengusap wajahnya. Andre memang sangat keras kepala. Selama sepuluh tahun ini Andre bertahan dalam kesendiriannya karena masih dan akan selalu mencintai Vian. Farrel salut dengan itu. Tidak banyak pria yang memiliki cinta sekuat cinta Andre pada Vian. "Padahal banyak yang mau sama ku, Ndre," ucap Farrel setelah menyesap kopi susunya. "Gue nggak tertarik!" sahut Andre cepat dan singiat. "Udah gue bilang kalo gue cuma mau Vian." Tara menatap Andre iba. Andre tak pernah tertarik lagi kepada perempuan sejak Vian meninggal. Vian adalah perempuan pertama dan terakhir bagi Andre. Untuk saat ini. Tidak ada lagi perempuan yang bisa menyentuh hati Andre. Meski banyak yang mencoba. Salah satunya adalah perempuan berusia dua puluh enam tahun yang sekarang memasuki kafe dan melangkah ke arah meja mereka. "Maaf, aku telat." Perempuan itu tersenyum ramah. Menarik kursi di samping Andre untuk didudukinya. "Tadi ada pasien yang konsultasi." Perempuan itu adalah dokter Cahaya Andini, dokter perempuan yang menerima donor kornea mata dan jantung dari almarhumah tunangan Andre. Dini adalah dokter umum di salah satu rumah sakit di ibukota. Sejak menerima kornea dan jantung Vian, Dini jatuh cinta pada Andre. Sampai sekarang. Meskipun Andre sudah menolak dan tidak menghiraukan, Dini tetap pada perasaannya. Walau tidak semenggebu dulu. Dini yang kini sudah menjelma menjadi perempuan dewasa yang cantik bisa mengendalikan dirinya. "Nggak apa-apa kok, Din, kita juga baru nyampe," sahut Tara. "Iya, kalian baru nyampe. Gue yang lumutan nunggu!" sungut Farrel dengan mulut meruncing. "Masa sih?" tanya Dini. Tangan kanannya terangkat memanggil pelayan. Dia ingin memesan. Seorang pelayan perempuan berusia sekitar awal dua puluhan menghampiri meja mereka. "Selamat siang," sapa si pelayan sopan. "Ada yang bisa saya bantu?" Pelayan perempuan itu memang terlihat sopan dan ramah, dia juga bertanya dengan lembut. Namun Tara dan Dini dapat menangkap gelagat sukanya pada Andre. Pelayan itu menanyakan pesanan mereka semua, tetapi tatapannya fokus pada Andre. Dini menyebutkan pesanannya dengan jengkel. Baginya kesopanan pelayan perempuan ini hanya kedok. "Lu pesan apa, Ndre?" tanya Farrel menatap pria itu. "Samain aja kayak punya lu," sahut Andre tanpa menatap Farrel. Tatapan pria itu fokus pada layar ponselnya yang menampilkan pesan seseorang. "Beneran?" Farrel menaikkan alisnya. Andre mengangguk, masih tanpa menatap Farrel yang duduk di depannya. Fokusnya masih pada layar ponselnya. Beberapa pesan masih menghiasi. Andre berdecak kemudian mengembalikan ponsel ke saku bagian dalam jasnya. "Lu serius mau makan pedas?" tanya Farrel heran. "Iya," jawab Andre datar. "Kenapa?" tanyanya. "Gue pesan ayam geprek lho tadi," ucap Farrel mengerjap. Andre mengangkat sebelah alisnya menatap Farrel. "Gue tau. Terus kenapa?" tanyanya. "Nggak takut sakit perut?" Dini bertanya pada Andre. Sebagai salah satu dokter pribadi keluarga Rush, Dini tahu kalau Andre tidak bisa memakan makanan pedas. Perut pria itu sedikit bermasalah dengan sesuatu yang berbau cabai. "Sekali-kali nyoba nggak masalah kan?" Andre balik bertanya tanpa menatap Dini. Bukan apa-apa, dia hanya tak ingin melihat mata biru Vian yang ada pada Dini. Sampai sekarang dia masih belum dapat merelakan mata itu dimiliki Dini. Dini ingin bersuara lagi tetapi terhenti melihat tatapan mata Tara yang mengisyaratkannya untuk menurut saja. Andre sedang dalam mood yang kurang bagus. "Gimana pekerjaan lu?" Meskipun Andre tidak menatapnya saat bertanya tetapi Dini tahu kalau pertanyaan Andre ditujukan padanya. "Baik-baik aja," jawab Dini. "Nggak ada masalah sih." Dini tersenyum manis. Sementara pelayan perempuan yang tadi mencatat pesanan mereka kembali lagi. Kali ini bersama temannya, seorang pelayan perempuan tetapi lebih tua. Sepertinya pelayan senior. Kedua pelayan itu meletakkan pesanan mereka di atas meja dengan cekatan. Tara sampai kagum dibuatnya. "Selamat menikmati," ucap pelayan perempuan yang lebih tua sebelum mereka meninggalkan meja Andre dan teman-temannya. Andre mengambil sepotong kecil ayam goreng yang dipenuhi sambal itu. Menyuapkan potongan ayam ke mulutnya kemudian mengangguk-angguk kecil. Rasanya memang seperti terbakar saat sambal menyentuh lidahnya. Namun juga ada rasa ingin terus memakannya. Andre meneruskan makannya, tak peduli keringat mulai membasahi pelipisnya. Ternyata tubuhnya memang benar-benar tidak bersahabat dengan cabai. Usai makan siang yang terlambat itu, mereka pulang untuk pergi ke rumah mereka masing-masing, kecuali Tara dan Dini. Kedua perempuan itu pergi berdua ke apartemen Tara. "Andre tadi bilang kalo dia mimpi Vian lagi tadi malam," lapor Tara begitu mereka tiba di apartemennya. Dini menghempaskan tubuhnya di salah satu sofa yang berada di ruang tamu apartemen Tara. Dini menengadah, matanya terpejam rapat. Terbayang bagaimana wajah cantik Vian yang tak pernah sempat dilihatnya selagi gadis itu masih hidup. Bahkan saat pemakaman Vian juga dia tidak hadir, dokter melarangnya kemana-mana waktu itu. Dia bisa melihat wajah malaikat penolongnya hanya melalui foto. Dua bulir bening mengaliri sudut mata Dini mengingat hal itu. Wajar baginya kalau Andre tidak bisa melupakan Vian. Gadis itu bukan hanya cantik wajahnya saja tetapi juga hatinya. Terkadang memang terbit rasa cemburu pada mendiang Vian di hati Dini. Vian memiliki segalanya yang tidak dia punyai, dan dari semua yang membuatnya iri, Vian memiliki cinta Andre yang dibawa gadis itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dini menghela napas. Mata birunya yang merupakan donor dari mata Vian perlahan terbuka. "Aku juga mimpi Vian tadi malam," ucapnya setelah diam beberapa saat. Dini tidak berbohong. Almarhumah Vian masih sering mendatangi dan berbicara padanya melalui mimpi. "Dia ngasih aku semangat buat operasi yang aku lakuin tadi pagi." Tara menatap Dini cepat dengan mata yang melebar. "Lo ikutan operasi?" tanyanya kaget. Dini mengangguk. "Aku cuma dokter pendamping, Ta." Dini menegakkan punggung, menatap Tara dengan tatspan lelah. "Asisten." Tara mengangguk paham. Tadi dia mengira kalau Dini menangani operasi. Sungguh hal yang tidak mungkin kan? Dini itu seorang dokter umum, bukan dokter spesialis. "Tumben lo jadi asisten." Tara terkekeh kecil. "Nggak mau jadi dokter bedah lo?" tanyanya. Dini menggeleng cepat. "Nggak," jawabnya. Wajah cantik itu perlahan berubah pias. Tawa Tara pecah fengan keras. Dia tahu betul kalau Dini takut dengan pisau bedah. Dini lebih senang memasak di dapur dan membedah perut ikan daripada membedah perut atau organ lain manusia. "Astaga tu muka!" Tara semakin tertawa melihat Dini yang memucat. "Lo harus liat muka Lo di cermin sekarang deh, Din. Pucat gitu." Dini memutar bola mata. Tara memang menyebalkan. Bukannya membantunya agar dia tidak ketakutan lagi malah menertawakan ketakutannya. Memiliki sahabat seperti Tara memang ajaib. Tara tidak akan membantu tetapi memotivasi untuk menjadi lebih baik. Namun, sepertinya sampai kapan pun Dini tetap tidak akan bisa mengatasi ketakutannya itu. Dia akan tetap takut pada pisau bedah. "Daripada lo gitu, mending bantu gue masak yuk!" pinta Tara. Mendengar kata memasak, Dini kembali bersemangat. Wajahnya kembali normal seperti semula. Memasak adalah salah satu hobinya. Di rumah, dia yang sering membuatkan makan malam untuk mama dan papa. Dini memang masih tinggal bersama kedua orang tua angkatnya di kediaman keluarga Santoso. Dia sudah memiliki sebuah rumah mungil, tetapi orang tuanya tidak mengizinkan Dini untuk menetap di rumahnya itu. Kalau menginap sekali-sekali baru boleh. "Ayo!" Dini segera berdiri, menarik tangan Tara menuju dapur perempuan itu. Untuk apartemen Tara, Dini juga sudah hafal. Dia juga sering menginap di sini menemani Tara atau sekedar berkunjung seperti sekarang. Terkadang sekedar hanya untuk makan malam saja bersama Andre dan Farrel. Berbicara mengenai Andre, pria itu sekarang sudah tidak terlalu dingin lagi padanya. Namun Andre tetap menghindar pembicaraan yang lebih serius dan intim. Andre juga menolak setiap ajakan makan darinya kalau mereka hanya pergi berdua, tetapi tidak masalah kalau mereka pergi berempat bersama Tara dan Farrel. Dini sadar, sampai sekarang cintanya masih bertepuk sebekah tangan. Andre tetap tidak menaruh perhatian sedikit pun kepadanya. Hati pria itu tidak tersentuh, Andre tetap mencintai Vian. "Apa nggak kepagian buat masak makan makam, Ta?" tanya Dini begitu mereka tiba di dapur. "Ntar makanannya dingin lagi." "Yang mau bikin makan malam siapa?" Tara balik bertanya. "Kan gue tadi bilang bantuin gue masak. Gue nggak ada dong bilang kalo gue mau bikin makan malam." Mata Dini menyipit menatap Tara. Dia merasa ditipu oleh sahabatnya itu. "Gue mau bikin camilan," sambung Tara. "Bantuin gue ya?" pintanya. Dini menghela napas. "Oke," sahutnya bersama dengan embusan napas yang dikeluarkannya melalui mulut. "Kamu mau bikin apa?" "Kita bikin cake aja ya?" Tara bersemangat. Dia sangat menyukai setiap cake buatan Dini. Setiap cake yang dibuat Dini selalu pas di lidahnya. Tidak terlalu manis, juga tidak tawar. Rasanya juga enak, tidak kalah dengan cake yang dijual di toko-toko kue. "Ya udah, kamu diapin bahan-bahannya ya?" Tata mengangguk. Ceritanya saja dia meminta Dini untuk mbantunua membuat kue. Padahal memang dia ingin Dini membuatkannya cake. Kalau masalah masak-memasak sampai sekarang Tara masih belum bisa. Dia bisa memasak sebenarnya, hanya saja tidak semahir Dini. Bagi Tara, Dini benar-benar tipe perempuan idaman. Setengah jam kemudian, sebuah cake sudah terhidang di atas meja di ruang tengah Tara. Kedua perempuan beda profesi itu menikmatinya sambil menonton film yang diputar Tara melalui mesin DVD. "Cake lo enak seperti biasanya, Din," puji Tara tanpa menatap Dini. Tatapannya fokus pada layar televisi yang menampilkan adegan kejar-kejaran. Mereka menonton film horor. "Makasih," sahut Dini sekenanya. Mata Dini juga tertuju pada layar di depan mereka. Hanya saja, Dini yang tidak seberani Tara sering menutup wajahnya menggunakan bantal saat ada adegan yang menurutnya menyeramkan. "Lo bener-bener calon istri idaman deh. Segalanya lo bisa ngerjain. Apa sih yang lo nggak bisa?" tanya Tara, kali ini mata cokelat terangnya menatap Dini yang sedang menutup wajahnya dengan bantal. Tara tertawa keras, dan tawanya menghilang mendengar jawaban Dini. "Ngambil hati Andre," jawab Dini jujur. "Aku masih belum bisa merebut hati Andre atau membuat Andre cinta sama aku." Dini mendongak, matanya menatap langit-langit apartemen Tara yang dihias seperti langit, lengkap dengan awan-awan kecilnya. Tara memang menyukai warna biru langit. Karena itu dia selalu mengagumi mata Vian. Mata sahabatnya itu berwarna biru langit. "Andre masih belum ngelirik aku, Ta," adu Dini. "Andre kayaknya masih benci sama aku." Masalah kebencian Andre pada Dini sudah bukan merupakan rahasia lagi. Dulu Andre sering bahkan secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Dini. Andre menganggap Dini telah mengambil mata dan jantung Vian, tunangannya. Tanpa peduli kalau Vian sendiri yang mendonorkan mata dan jantungnya. Andre juga menolak keras permintaan terakhir Vian, agar Dini menggantikan posisi Vian untuk bertunangan dengannya. Namun itu dulu, sekarang Andre sudah berubah. Dia sudah mulai dapat menerima keputusan Vian, tetapi tidak soal pertunangan. Andre sudah memutuskan pertunangan sepihaknua dengan Dini. Dia tidak ingin vian digantikan oleh siapa pun. Bagi Andre, Vian-nya hanya satu, tidak ada yang lain. Dini sadar, sekuat apa pun dia berusaha tetap tidak akan berhasil. Namun Dini tidak menyerah. Dia memang tidak lagi menunjukkan perasaannya kepada Andre. Sekarang dia hanya memberikan perhatian-perhatian saja kepada pria itu. Dini sekarang sudah dewasa, sudah mengerti kalau memaksakan kehendak tidak akan berguna. Dia juga sudah tidak lagi menggunakan nama Vian untuk mendekati Andre. Lagipula perasaannya pada Andre murni karena dia yang tertarik dan mencintai pria itu, bukan karena dipengaruhi mata dan jantung Vian lagi. Dia sudah dewasa dan sudah mampu mengartikan semuanya. Dan Dini yakin seyakin-yakinnya, dia mencintai Andre.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN