BAGIAN 02

1140 Kata
"Rumah gue masih jauh nggak?" tanya Inez tiba-tiba, membuat Cakra langsung menoleh dengan kedua alis tebalnya yang nyaris menyatu. Cowok yang memakai kemeja flanel kotak-kotak yang digulung sampai siku tersebut, memperhatikan cewek sinting disampingnya ini. "Kok kamu malah tanya aku?" Cakra lama-lama bisa kena darah tinggi jika terus berdekatan dengan cewek tidak jelas ini, bagaimana bisa dia tidak tahu rumahnya di mana? Kenapa juga tanya Cakra yang jelas-jelas lebih tidak tahu? Cakra merasa kepalanya yang mulai panas, emosi sudah bergumul di sana. Tapi ia mencoba untuk bersikap sabar. Karena Cakra sadar, bahwa marah-marah kepada orang mabuk tidak ada gunanya. Yang ada ia sendiri yang bakal kelelahan. "Gue juga nggak tau rumah gue di mana," jawab Inez sembari mendongak ke atas, memperhatikan wajah tampan Cakra yang juga sedang menatapnya. Menghela napas panjang, Cakra berhenti sebentar. Ia pusing sendiri, hari juga semakin pagi. Dari jam tangan hitam yang melekat di pergelangan tangannya, sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Cakra menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri, lalu sorot matanya berhenti ke arah supermarket yang buka 24 jam. Senyuman manisnya mengembang, lalu ia pun memutuskan untuk ke sana dan mendudukkan cewek mabuk itu di kursi. "Jangan ke mana-mana, tunggu aku di sini. Awas aja bikin aku tambah repot." Cakra berucap tegas dan menyorot tajam kepada cewek itu. Tapi, Inez malah mengendikkan bahu tak acuh, sebelum akhirnya meletakkan kepalanya di atas meja bunda. Cakra tersenyum, lebih baik seperti ini. Kurang dari sepuluh menit, cowok itu sudah keluar dari dalam supermarket. Lalu ia menepuk pipi Inez. "Bangun!" ujarnya dingin. Tapi tidak ada tanda-tanda Inez membuka matanya. Cakra mencobanya sekali lagi sambil menekan suaranya agar keluar lebih keras. "Woy bangun!" Diguncangnya pundak cewek itu. Dan berhasil, Inez mengerang beberapa detik, sebelum akhirnya mendongakkan kepalanya. "Kenapa? Sekarang udah mau per— "Nih minum," potong Cakra seraya menyodorkan air mineral ke hadapan Inez. Dengan setengah malas, Inez mengambil pemberian cowok itu. Lantas, ia meminumnya sedikit. Cakra melotot melihat itu. Ia langsung berkomentar sebelum Inez menutup botol air mineral tersebut. "Minum lagi," ucap Cakra tegas. "Seenggaknya biar habis setengah botol. Selain aku nggak rugi-rugi amat, mabuk kamu juga agak berkurang." "Gue pusing, pengin tidur." "Makanya diminum," protes Cakra sambil menggertakkan giginya karena gemas. Tidak ada cara lain, Inez pun akhirnya menuruti apa yang dikatakan oleh Cakra. Ia melihat sorot kemarahan dari mata cowok itu, membuat Inez merinding. "Udah." "Ayo aku anterin kamu pulang. Sekarang inget rumah kamu di mana?" Inez tersenyum manis kepada Cakra, membuat cowok itu menatap Inez dengan bahagia. "Kamu ingat?" tanya Cakra semangat. "Enggak." Inez menjawab lirih sambil menggeleng. Cakra membelalakkan matanya, rahangnya seketika mengeras. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ia harus bersabar menghadapi cewek ini. Cowok itu berkacak pinggang, menatap dalam tampilan Inez. Lalu tatapannya berhenti ke arah paha mulus Inez. Beberapa detik kemudian Cakra melotot dan bergidik. Ia langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain. "Mana ponsel kamu?" tanya Cakra kemudian. "Mau apa?" "Udah, sini kasih aku dulu." Bola mata Inez nampak berbinar. "Mau booking hotel, ya?" "Nggak, mau booking kuburan biar kamu aku kubur sekalian," balas Cakra sinis. "Mana?" "Ada di tas." Cakra segera mengambil tas Inez, membukanya, lalu mencari benda pipih milik cewek itu. Setelah ketemu, cowok itu segera membuka ponsel ditangannya. Cakra merasa beruntung karena ia tidak harus bertanya kepada Inez soal pola kunci. Ponsel Inez tidak memakai kata sandi. Hal pertama kali yang tercetus diotak Cakra adalah aplikasi berbelanja online. Dengan itu, ia akan tahu alamat Inez ada di mana. Setelah sudah tahu informasi itu, Cakra tersenyum. Ia mengucapkan kalimat syukur dalam hati karena alamat cewek mabuk ini tidak jauh dari sini. "Ayo bangun," perintah Cakra setelah mengembalikan ponsel Inez ke tempat semula. Inez menurut, ia hampir terjatuh lagi, tapi Cakra berhasil menahannya. Cowok itu mengambil alih tas Inez dan mengalungkannya ke lehernya. Lalu ia menunduk, memperhatikan high heels Inez. Merasa bakal lama berjalan, Cakra memutuskan untuk menyuruh Inez duduk kembali ke kursi. Setengah malas, Cakra berjongkok dan melepas semua high heels Inez, lalu ia melihat luka lecet dan lebam kebiruan di kaki cewek itu. Dititik-titik tertentu, bahkan ada yang mengeluarkan darah. Cakra meringis kecil. Cowok itu memutuskan untuk masuk kembali ke dalam supermarket, kemudian keluar membawa plester dan menempelkannya ke arah luka kaki itu. "Kalo nggak bahagia, seenggaknya kamu jangan nyiksa diri sendiri," gumam Cakra. Setelah selesai berkutat dengan luka dikaki Inez. Sekarang Cakra melepaskan sepatu Converse miliknya. Entah dapat dorongan dari mana ia melakukan itu. Padahal sepatu Converse yang ia pakai ini adalah sepatu kesayangannya. Sekarang Cakra tidak beralas kaki apapun. Ia tidak masalah. Yang penting kaki cewek itu tidak akan terluka lebih parah karena sekarang kaki kecilnya itu sudah terbungkus oleh sepatu milik Cakra. "Jangan protes, pake punya aku aja biar kaki kamu nggak tambah parah." "Gue nggak mau, lepasin lagi!" Inez protes sambil menggoyang-goyangkan kakinya. "Ayo buruan lepasin." "Nggak." "Gue nggak mau ngerusak penampilan gue dengan sepatu jelek lo." Cakra rasanya ingin mengumpat. Tatapan matanya kembali menajam. "Diem, masih untung aku baik. Biar jelek tapi nyaman, daripada punya kamu yang itu. Mahal tapi bikin sakit. Udah nurut aja, kamu nggak bakal rugi. Ayo sekarang pulang." Inez berdiri, ia tidak lagi mendebat. Cakra kesal, tapi ia tidak mau marah. Kasihan juga kalau cewek ini dibiarkan menjadi pelampiasan marahnya. Walaupun sebenarnya sah-sah saja jika Cakra kesal dan berakhir murka. "Eh tunggu dulu." Cakra menahan lengan Inez. "Pakaian kamu bikin mataku sakit." Inez diam, sejujurnya apa yang dikatakan cowok tidak dikenalnya ini tidak masuk ke dalam telinga Inez. Cewek itu tidak mendengar, ia lebih fokus ke arah kepalanya yang semakin berdenyut. "Aku nyesel sama diriku sendiri kenapa berbuat ini sama kamu." Cakra mendekatkan tubuhnya ke arah Inez setelah melepas kemeja flanelnya, menyisakan kaus putih polos yang melekat ditubuhnya yang ideal. Kemudian ia mengikat kemejanya ke arah pinggang cewek itu. "Gini lebih baik," lanjut Cakra. Ia tersenyum karena Inez terlihat tidak terlalu terbuka. Cakra kemudian memungut high heels Inez dan menuntun cewek itu berjalan kembali. Sial, sekarang tubuhnya penuh dengan barang-barang cewek mabuk ini. Tas kecil mengalung dilehernya, satu tangannya menenteng high heels. Sedang Cakra sendiri tidak mengenakan alas kaki apapun. Setelah memakan waktu yang lama, akhirnya Cakra bisa tersenyum juga. Ia lega bukan main, perasannya langsung berbunga-bunga. "Beneran ini rumah kamu?" tanya Cakra, memastikan sekali lagi. "Iya, ini rumah gue." Cakra memutuskan untuk mengangguk. Lalu menyerahkan high heels dan mengalungkan kembali tas ke leher Inez. "Ya udah, masuk gih buruan." Tanpa mengucapkan terima kasih, Inez pun berbalik badan dan melangkah memasuki pekarangan rumahnya. Sedangkan Cakra masih terdiam ditempatnya, kedua tangannya masuk ke dalam celana. Cowok itu menghembuskan napas lega. Ia menatap sekali lagi rumah besar dihadapannya ini. Detik selanjutnya, Cakra berbalik badan. Ia berniat melangkah kembali menuju rumah barunya. Namun, baru beberapa langkah, Cakra menunduk menatap kakinya. Cowok itu melotot dan segara berbalik badan. "Kemeja sama sepatu?" Cakra meringis dan menepuk keningnya berulang lagi. "Dasar bodooh."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN