Part 2 - Membingungkan

1120 Kata
Aku membuka mataku dan melihat kearah sekelilingku. Kamar serba putih yang sebelumnya kutempati kini berubah jadi ruangan yang sangat familier. Kamarku sendiri. Aku sudah kembali ke rumah ya? gumamku dalam hati. Aku lalu mencoba berdiri dan melihat ke arah dinding kamarku. Sebuah poto hitam putih terpajang disana. Poto hitam putih yang selalu kusimpan bahkan setelah aku menikah dan punya anak. Karena itu satu-satunya poto keluarga yang aku miliki. Sebuah poto hitam putih yang diambil saat aku masuk sekolah dasar. Aku berdiri di tengah diapit Bapak dan Ibuku. Aku sedikit terhenyak. Apa yang terjadi denganku. Lalu tanpa sadar aku mengangkat kedua tanganku. Aku sangat kaget ketika melihat kedua buah tangan kurus dan berwarna sedikit kecoklatan didepanku. Kemana tangan berotot hasil latihan rutinku ngegym selama bertahun-tahun ini? Tangan kecil siapa ini? Aku makin kebingungan. Kamar ini, tubuh ini dan rasa familier terhadap semua hal yang berada di sekitarku. Apa yang terjadi padaku? Aku masih diliputi kebingungan ketika sebuah ketukan pintu terdengar pelan di telingaku. "Den Rajin? Ini Lastri, saya mau bersihin kamar, minta ijin masuk ya Den?" Sebuah suara lembut dan sopan terdengar pelan di telingaku. Aku pun serentak menolehkan kepalaku ke arah pintu kamar yang ada di sebelah kiriku. Lastri? Lastri siapa? Lalu tiba-tiba aku terhenyak. Lastri kan? Bukannya Lastri pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah orang tuaku saat aku kecil? Anak dari Mbok Darminah yang ikut bekerja disini setelah putus sekolah? Bukankah dia sudah menikah dan ikut suaminya ke Surabaya? "Permisi Den," kata Lastri sambil mulai membereskan kamarku. "Mbak, aku siapa?" tanyaku ke arah Lastri. "Eh?" Lastri terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaanku. Dia berdiri sambil memegangi sapu ditangannya dan melihat ke arahku kebingungan. "Kok malah bengong?" tanyaku lagi. "Anu... Habisnya..." Lastri sedikit tergagap dan kembali menundukkan mukanya yang tiba-tiba memerah karena untuk sesaat tadi kami saling bertatapan mata. Baginya mungkin itu sesuatu yang nggak sopan dan tak boleh dilakukan. Dan jujur saja, aku juga sempat terpana untuk sesaat tadi. Lastri ternyata manis juga. Aku remaja produk jaman kuda gigit besi. Seingatku, aku dulu mengenal wanita pertama kalinya saat menikah dengan Lydia. Sebelumnya, aku sama sekali tak pernah menyentuh wanita sama sekali. Saat Bapak menyusul Ibu tak lama setelah beliau meninggal dunia, aku dipaksa untuk fokus menyelesaikan kuliah dan disaat yang sama harus bertanggung jawab untuk menangani kebun Bapak. Tak ada namanya kehidupan romantis seorang remaja yang penuh birunya cinta. Jadi aku sama sekali tak tahu yang namanya cinta atau nikmatnya tubuh wanita. Aku juga berubah brutal dan gemar mencari daun muda sejak perselingkuhan Lydia yang membuat aku jijik padanya. Huft. Karena itulah, aku sama sekali tak menyadari kalau selama ini, saat aku remaja, aku tumbuh ditemani oleh gadis cantik semanis Lastri yang menjadi pembantu di rumahku. Tapi, sekarang beda, aku menyadari sepenuhnya kalau gadis berwajah lugu tanpa make up dan seorang pekerja yang rajin di depanku ini ternyata manis. Jauh lebih manis daripada Lydia yang tumbuh di tengah-tengah keluarga berada atau para wanita panggilan yang wajahnya tak pernah lepas dari make up dan perias rupa. "Mbak, aku ini siapa? Sekarang juga tahun berapa?" tanyaku kembali dengan nada lembut dan pelan ke arah Lastri yang sekarang menundukkan kepalanya dan terlihat gelisah di depanku ini. Sekalipun aku sudah menebak apa yang terjadi denganku. Tapi, aku butuh konfirmasi. Aku butuh kepastian dari mulut orang lain. Kalau aku benar-benar telah diberi kesempatan kedua untuk menjalani hidupku kembali. ===== Mbak? panggilku ke arah Lastri yang malah makin terbengong saat aku mengulangi pertanyaanku tadi. Maafin saya Den, saya panggilkan Ibu dulu nggih? tanya Lastri dengan gugup lalu tanpa menunggu jawabanku si Lastri langsung kabur dengan sapu ditangannya. Aku hanya menepuk jidatku sambil tersenyum kecut. Huft. Aku lalu merebahkan diri ke kasur lagi sambil menatap langit-langit kamarku. Aku, si Jin bedeb@h, lelaki tua bangka yang berusia 52 tahun, tiba-tiba saja kembali ke masa lalu, kembali ke tubuhku sendiri saat aku masih remaja. Tapi aku tak tahu kapan tepatnya saat ini. Aku lahir di tahun 1967 dari pasangan orang desa yang cukup berada untuk ukuran kampungku. Bapakku adalah seorang pemilik kebun buah yang lumayan luas di desaku. Desa yang memang terletak agak jauh dari perkotaan dan berada di daerah dataran tinggi yang bersuhu cukup dingin. Tapi bukan statusnya sebagai pemilik kebun yang mungkin layak dibicarakan, Bapakku memiliki status lain, dia seorang Lurah di desaku. Sebuah posisi yang cukup terpandang dan membuat semua orang terkadang bersikap aneh kepadaku. Sebuah posisi yang juga membuat aku tumbuh tanpa seseorang yang bisa kusebut sebagai kawan ataupun sahabat. Karena aku memang tak punya. Ibuku, seorang wanita desa yang ayu dan tentunya dulu menjadi bunga desa di kampungku. Kalau tidak, nggak mungkin Bapakku mau sama Ibu, wkwkwkwk. Beliau anak seorang mantri, jaman segitu, mantri yang notabene adalah seorang perawat, boleh membuka praktek kesehatan sendiri untuk menangani masalah kesehatan sederhana di desa terpencil kami. Dari didikan seorang Bapak dan Ibu yang seperti itulah aku tumbuh menjadi seorang anak yang tertutup dan sama sekali tak suka berkawan. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di depan buku pelajaranku sepulang sekolah dan tidur di dalam kamar dibandingkan berlarian kesana kemari di tengah kebun atau mengejar layang-layang putus seperti teman-teman seusiaku. Sampai akhirnya, Ibu meninggal saat aku berusia 17 tahun, tapi di saat-saat terakhirnya, beliau mengucapkan sesuatu yang membuat aku terdiam dan tak pernah bisa melupakannya. Le, jangan pernah menggunakan perasaanmu. Semuanya itu sebaiknya dinilai dari untung dan rugi. Seperti saat kita sedang berjualan buah Le. Kalau menguntungkan, silakan jalani, tapi kalau merugi, tinggalkan saja.” Betapa kata-kata Ibu sangat tertancap jelas dalam kepalaku yang masih remaja belasan tahun waktu itu. Kata-kata yang seolah-olah mengunci pola pikirku. Membuat aku menilai semuanya dari sisi benefit. Membuat aku menjadi seorang yang pragmatis. Aku melihat semuanya dari sisi untung dan rugi saja, tanpa pernah mempertimbangkan rasa, emosi, moral, etika, dan semuanya. Terus menerus, sejak Ibu meninggalkanku sampai aku menjalani kehidupanku sendiri. Dan kini? Aku menatap langit-langit rumahku. Aku mengingat kembali peristiwa itu. Detik-detik terakhir saat Ibu menghembuskan nafas terakhirnya saat terbaring di atas ranjangnya. Aku menemaninya dengan air mata yang tak bisa berhenti menetes sekalipun berkali-kali kuseka. Bapakku yang sedang sibuk dengan urusan pengiriman buahnya di kota dan bahkan tak bisa datang saat istrinya meregang nyawa. Aku mengingat semuanya. Senyum sedih ibuku saat matanya menerawang ke luar jendela dan mungkin mengharapkan kehadiran suami yang dicintainya. Senyum sedih yang berganti menjadi senyum bahagia saat melihat ke arahku yang menangisinya dan bersimpuh di samping ranjangnya. Tangannya yang bergetar dan terlihat lemah tapi masih berusaha menggapai rambutku dan mengelusnya. Dan kata-kata yang diucapkannya dengan bibir yang bergetar dan suara yang menyerupai sebuah bisikan angin dan terdengar pelan di telinga. Saat aku mengingat kembali semua detil dari peristiwa itu, ditambah dengan pengalaman hidupku sampai aku berusia 52 tahun. Usia yang mungkin hampir 2 kali lipat dari umur Ibuku sendiri saat dia meninggal dunia. Aku menyadari semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN