"Gue mau izin keluar kota," ucap Bianca membuka pembicaraan di antara mereka.
Ketiga temannya langsung terdiam. Mereka merasa terkejut setelah mendengar ucapan keramat yang baru saja Bianca lontarkan. Selama bertahun-tahun berteman, baru kali ini Bianca ingin absen dari sekolah.
Suasana kedai kopi yang semula ramai pun terasa senyap. Semua orang seakan tengah berada dalam dunia yang berbeda dengan Bianca.
"Nenek gue sakit keras. Dokter bilang umurnya enggak akan lama lagi," lanjut Bianca.
Bianca menghela napasnya panjang. Dia menekuk bibirnya karena merasa tidak senang dengan keputusannya sendiri. Bianca merasa sangat berat meninggalkan sekolahnya.
Siska mengangguk paham meski dia masih merasa tidak percaya. Bianca bukanlah orang yang mudah meninggalkan pelajaran, tetapi Bianca juga bukan gadis yang akan membangkang begitu saja. Pasti orang tuanya yang menyuruh Bianca karena Bianca hanya akan luluh pada orang tuanya.
"Orang tua lo yang nyuruh, Bianca?" tanya Tania memastikan.
Bianca langsung mengangguk pelan. Tentu saja karena orang tuanya. Memangnya siapa lagi yang bisa mengendalikan dirinya selain orang tuanya? Bianca terlalu lemah jika berhadapan dengan orang tuanya.
"Kapan izinnya? Minggu ini?" tanya Siska penasaran. Seingatnya, jadwal pembelajaran mereka sangatlah padat untuk minggu ini. Bianca bisa tertinggal banyak materi.
Jika Bianca sudah tertinggal, maka jangan tanya bagaimana dia mengejarnya. Bianca pasti akan belajar mati-matian dan hal itu membuat Siska kasihan.
"Enggak, minggu depan. Orang tua gue harus siapin jadwal dulu, jadi enggak bisa langsung. Lagian kalau minggu ini, gue akan protes. Minggu ini padat banget. Apalagi yang dipelajari materinya buat ulangan," jawab Bianca. Dia mengambil kopinya dan langsung meminumnya.
"Nah! Minggu depan, kan, banyak ulangan! Lo mau izin gitu?" tanya Siska dengan suara yang kencang sehingga membuat Bianca tersedak.
Fenia dan Tania lantas panik. Mereka dengan cepat meminta pelayan untuk memberikan air mineral. Setelah pelayan itu datang, Tania lekas memberikannya pada Bianca.
"Minum air mineralnya dulu, Bianca!" ujar Tania. Bianca mengangguk dan langsung meminumnya.
Fenia melayangkan tatapan tajamnya. Dia menatap Siska yang sedang sibuk mengalihkan pandangannya. "Lo itu udah sering dikasih tahu kalau ngomong enggak usah ngegas. Enggak usah bikin orang kaget juga. Kenapa sampai sekarang masih aja, sih?" tanya Fenia heran.
Fenia benar-benar tidak paham dengan Siska yang suka sekali bersikap ceroboh dan menyebalkan. Sudah ada banyak orang yang menjadi korban dari Siska. Namun, Siska tak pernah jera.
"Udah, gue enggak apa-apa, kok." Bianca melerai pertengkaran Fenia. Dia tahu jika Siska saat ini merasa tak enak hati, apalagi setelah Fenia menegurnya.
Bianca memang kesal dengan Siska yang suka berteriak. Namun, Bianca tahu jika Siska sulit meninggalkan kebiasaannya.
Fenia tak membalas. Dia hanya mengalihkan pandangannya ke layar ponsel. Fenia terlalu malas berurusan dengan Siska karena setelah dibela oleh Bianca, Siska akan besar kepala. Gadis itu pasti akan berani melawan ucapannya.
"Lain kali jangan kayak gini, Sis." Tania memberi nasihat. Dia menatap Siska yang terlihat lesu.
Sebagai jawabannya, Siska pun mengangguk. Ya, hanya anggukan saja yang dapat dia berikan karena Siska terkadang tidak bisa mengendalikan sikapnya.
"Gue ikut ulangan susulan. Orang tua gue yang akan ngomong langsung ke gurunya," ujar Bianca menjawab pertanyaan yang sempat Siska ajukan.
Siska berdehem pelan. Suasana di sekitarnya mulai normal. "Lo bakal bawa buku ke sana?" tanya Siska penasaran.
Izin bagi Bianca sama dengan belajar di luar sekolah. Jelas berbeda dengan dirinya. Jika izin tidak masuk sekolah, Siska mungkin akan lupa dengan semua tugasnya.
"Kalau itu pasti. Gue akan tetap belajar. Apalagi gue ikut susulan, enggak boleh mengecewakan!" jawab Bianca mantap.
Siska langsung membuang wajahnya. Sudah dia duga, Bianca adalah maniak belajar. Tidak susulan saja nilainya selalu sempurna, apalagi susulan? Hey, itu artinya Bianca bisa mendapatkan waktu lebih panjang untuk belajar!
"Di otak lo isinya nilai. Pusing sendiri gue lihatnya," celetuk Tania pelan. Siska langsung mengacungkan jempolnya.
Siska merasa sependapat dengan Tania. Kualitas otaknya dan Bianca sangat jauh berbeda. Bianca diisi dengan ilmu, sementara dirinya diisi dengan makanan.
"Keturunan jenius sama otak burem kayak kita gini emang beda. Nilai matematika enggak remedial aja kita udah bersyukur. Coba Bianca, salah satu langsung nyesel berhari-hari," timpal Fenia. Dia menatap Bianca dengan tatapan malasnya.
Sadar sedang menjadi bahan gurauan, Bianca pun hanya bisa memutar bola matanya. Dia tahu jika temannya hanya bergurau, tetapi terkadang dia jengah karena teman-temannya selalu meragukan diri mereka sendiri. Bianca yakin jika ketiga temannya memiliki kelebihan yang berbeda.
"Gue yakin kalau kalian itu punya kelebihan di bidang masing-masing. Jangan berpikir kaya gitu. Gue enggak suka. Gue siap, kok, jadi tutor belajar kalian." Bianca menasehati.
Bukannya mendapat apresiasi, ketiga temannya justru kompak menggelengkan kepala. "Enggak, makasih."
***
"Di depan kenapa rame banget, ya? Tumben!" ujar Siska membuka pembicaraan.
Fenia dan Tani kompak menengok dan menaikkan sebelah alis mereka. Jarang sekali Siska bertanya pada mereka karena nyatanya Siska sendiri adalah gudang informasi.
"Bawa gosip apa lo hari ini?" tanya Fenia tanpa basa-basi. Dia sudah tahu jika Siska datang pasti membawa gosip murahan yang dia dengar.
Meski Siska bertanya, Fenia enggan menjawab. Pasti ini hanya akal-akalan Siska yang meminta mereka untuk menebak berita terbaru.
"Kalau gue tahu jawabannya, gue enggak akan nanya sama lo berdua. Gue nanya karena gue enggak tahu!" sungut Siska sembari duduk dengan kasar.
Tania dan Fenia memilih untuk tak mempedulikan. Menurut mereka, Siska terlalu berisik dan aneh. Mereka bahkan pernah berpikir jika salah menjalin pertemanan dengan Siska yang dikenal tidak tahu malu dan bar-bar.
Di saat mereka sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing, segerombol orang tiba-tiba saja berhenti di depan kelas mereka. Sontak perhatian mereka teralihkan sementara.
Mereka menatap dengan tajam sumber keributan. Ini aneh, Bianca tidak datang ke sekolah. Jadi, kenapa ada banyak orang di sini? Mau menunggu apa mereka?
"Loh, rame apa ini?" tanya Siska heboh. Dengan langkah seribunya, dia sudah sampai di depan pintu.
Siska berhasil menerobos kerumunan itu dengan penuh perjuangan. Dia bahkan nyaris terinjak dengan seorang murid perempuan yang tubuhnya lebih besar dua kali dari dirinya.
"Eh, hati-hati lo! Ada orang, nih!" teriak Siska kesal, tetapi tak ada yang mempedulikannya. Siska semakin kesal sehingga dirinya mengusir sumber keributan itu dari kelasnya.
Kalau dibiarkan seperti ini, bisa-bisa dia diberi teguran lagi. Jam pelajaran akan segera dimulai dan itu artinya tidak boleh ada kebisingan.
"Pergi! Pergi dari sini! Jam pelajaran udah mau mulai. Kalau mau ribut, jangan di sini. Lo semua mengganggu pemandangan indah kelas gue!" teriak Siska menggelegar.
Suasana menjadi hening seketika. Mereka kompak menengok ke belakang dan berlari terbirit-b***t saat melihat ada kepala sekolah yang berdiri di belakang Siska.
Siska yang tidak mengetahui hal itu pun menghela napasnya lega. Dia pikir murid-murid itu pergi karena dirinya.
"Mantep juga suara emas gue, bisa ngusir mereka sekali teriak!" puji Siska pada dirinya sendiri.
Siska memejamkan matanya dan menepuk-nepuk dadanya. Akhirnya ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.
Tak lama kemudian, perhatian Siska langsung teralihkan. Di depannya ada seorang lelaki yang memakai jaket tengah membelakanginya.
Siska menaikkan sebelah alisnya. Dia belum pernah melihat pemuda ini. "Gue belum pernah lihat. Dia siapa?" gumam Siska pada dirinya sendiri.
Saat sadar dirinya tak perlu mengurusi hal itu, Siska pun memilih untuk berbalik. Betapa terkejutnya Siska saat melihat kepala sekolah sedang berdiri dengan wajah yang masam tepat di belakangnya. "Siska kamu—"
"Maaf, Bu. Saya izin masuk kelas dulu!" pamit Siska sembari berlari. Dia tidak peduli lagi dengan tata krama. Siska merasa dirinya selalu takut jika berada di dekat kepala sekolah yang terkenal sangar itu.
"g****k! Itu dari tadi apa gimana?" gumam Siska panik setelah dia duduk di kursinya. Fenia dan Tania kompak menengok dan menatap Siska yang tampak ketakutan.
"Kenapa, lo? Di luar ada apa?" tanya Tania sedikit panik.
Meski Siska menyebalkan, tetap saja Siska adalah sahabatnya. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi pada Siska yang sering bersikap seenak hatinya.
"Di luar rame—"
"Tahu!" sela Fenia cuek. Siska terdiam sejenak. Dia mendengus kesal dan langsung menjitak pelan kepala Fenia. Wajah Siska terlihat sangat kesal dengan sikap Fenia yang memotong ucapannya.
"Saudara lo lagi nanya sama gue. Lo bisa enggak diem sebentar aja, gue mau jelasin, nih!" omel Siska.
Tania hanya tersenyum kecil. Tiga hari ke depan tak akan ada Bianca. Itu artinya tak akan ada yang bisa melerai pertengkaran mereka. Ah, Tania tak sanggup membayangkannya. Semoga saja waktu berlalu dengan cepat.
"Udah, lanjutin aja mumpung guru belum masuk," ucap Tania saat Siska ingin menutup mulutnya lagi. Siska menghela napasnya pasrah dan langsung mengangguk pelan.
"Gue enggak tahu apa penyebab keramaian itu, tapi pas gue usir anak-anak ngeselin itu, gue justru ngeliat satu orang cowok yang berdiri ngebelakangin gue. Dari bentuknya, sih, gue enggak pernah lihat dia ada di sekolah ini. Kayaknya dia murid baru, deh!" jelas Siska singkat.
Fenia dan Tania saling menengok satu sama lain. Murid baru? Tahun ajaran baru belum dimulai. Biasanya, sekolah mereka menerima murid pindahan pada tahun ajaran baru. Apakah ini peraturan baru?
"Tumben, biasanya enggak akan terima siswa pindahan sebelum buka pendaftaran baru," timpal Fenia heran.
Tania menggeleng pelan. Dia memang heran, tetapi bukan itu titik fokusnya. Menurutnya hal itu mungkin saja terjadi. Peraturan sekolah bisa berubah kapan pun.
"Gue enggak terlalu masalah kalau soal itu walau agak aneh. Masalah gue adalah kenapa mereka harus berhenti dan bikin keributan di kelas kita? Kalau ada anak pindahan, kenapa harus ke sini? Bianca lagi enggak ada. Apa yang mau mereka cari?" cetus Tania.
Fenia langsung terdiam. Dia sedang memikirkan makna dari ucapan saudari kembarnya. Sementara Siska, otaknya langsung bekerja dengan cepat.
Semua informasi dan praduga yang dia dapatkan mulai cocok. Itu artinya dia akan menemui titik terang dari berita terbaru di sekolahnya.
"Maksud lo ada kemungkinan murid baru itu akan masuk ke kelas ini?" tebak Siska tepat. Tania menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar.
Meski otak Siska pas-pasan, keahliannya dalam menganalisis suatu masalah patut diacungi jempol. Siska memang kritis, apalagi jika berurusan dengan gosip.
"Hebat. Gue suka kemampuan analisis lo. Enggak sia-sia lo suka nguping sana-sini untuk ngasah kepintaran otak lo. Kali ini gue bener-bener bangga sama lo," puji Tania.
Bukannya marah, Siska justru mendongak bangga. Dia mengangkat dagunya setinggi yang dia bisa. Ah, tak sia-sia usahanya selama ini.
"Kelas ini, kan, masih punya dua tempat yang kosong. Sementara di kelas lain udah penuh semua. Ada kemungkinan cowok itu mau masuk ke kelas ini tadi, tapi itu kalau dia satu angkatan sama kita!" sambung Tania menyimpulkan.
"Semoga aja enggak." Siska berharap.
"Tapi kayaknya iya, soalnya dia berhenti di kelas ini! Enggak mungkin dia nyasar sampai ke kelas yang berbeda angkatan," ujar Tania mematahkan harapan Siska.
Siska mengangguk membenarkan. Dugaan Tania bisa saja benar-benar terjadi dan itu artinya mereka akan berada di kelas yang sama.
Tiba-tiba saja Siska menepuk jidatnya keras. Tidak cukup dengan Bianca, sekarang akan ada satu orang lagi yang menjadi sumber keributan di kelasnya.
"Kenapa lo?" tanya Tania heran saat melihat Siska yang terlihat sangat frustrasi tiba-tiba. Perasaan tadi dia datang dengan semangat menggebu-gebu, kenapa sekarang lesu?
"Gue mau nyerah rasanya, Tan. Penggemar Bianca aja udah buat gue susah enggak ketulungan. Apalagi ini? Kalau iya itu cowok masuk sini, kerjaan gue akan nambah lagi. Gue capek dimarahin terus sama orang," ratap Siska sedih.
Tania hanya bisa tertawa kecil. Benar juga. Pekerjaan Siska untuk mengamankan kondisi kelas akan semakin berlipat. Tania tidak dapat membayangkan akan seheboh apa nanti kelasnya. Untung saja Tania tak menjadi pengurus kelas.
"Kira-kira murid baru itu gimana, ya? Dia tipe orang yang kayak gimana?" celetuk Fenia tiba-tiba membuat perhatian Tania dan Siska teralihkan.
Siska menukik alisnya tajam. Sejak tadi Fenia memilih diam, tetapi sekalinya berbicara justru membuat Siska kebingungan.
"Fen, temen lo lagi pusing ini dan lo suka sama murid baru itu? Mau jadi gebetannya?" balas Siska sarkas. Siska merasa tidak dianggap sebagai teman oleh Fenia yang sama sekali tak prihatin dengan nasibnya ke depannya.
"Enggak gitu! Gue enggak segenit apa yang lo pikirin. Yang gue maksud itu kepribadiannya. Dia baik apa enggak, dia pinter apa enggak, atau bahkan dia kaya atau enggak!" sergah Fenia.
Fenia benar-benar tidak menyangka dengan jalan pikiran Siska yang bisa semudah itu. Kalau dia bertanya tentang seorang lelaki, bukan berarti dia menyukai lelaki itu.
"Ouh, maaf. Gue, kan, cuma nebak aja." Siska tersenyum lebar. Ternyata dia salah sangka. Ah, Fenia sayang kepada dirinya rupanya.
"Kalau lo pusing, itu urusan lo. Enggak ada urusannya sama gue. Jadi, kenapa gue harus mikirin itu, sih?" sambung Fenia sarkas.
Siska langsung meredupkan senyumnya. Dia menatap malas Fenia dan langsung berbalik.
***
"Silakan perkenalkan diri terlebih dahulu," ujar seorang guru mempersilakan murid barunya untuk membuka perkenalan dengan teman barunya.
Murid tersebut berdehem kecil. Dia tidak suka memperkenalkan dirinya. Sebenarnya, dia sengaja masuk ke kelas di tengah jam pelajaran agar dia bisa langsung duduk di kursinya dan belajar.
"Ayo, perkenalkan diri dulu. Setelah itu, kamu baru boleh duduk!" ulang guru tersebut sembari memperhatikan wajah datar murid di sampingnya.
Diam-diam guru itu mengagumi wajah anak didiknya sendiri. Wajahnya sangat tampan dan baru kali ini dia melihat wajah tampan seperti itu.
"Nama saya Jerry Keenan Ivander. Salam kenal semuanya," ucap lelaki itu singkat.
Sang guru hanya dapat terdiam bingung. Perkenalan ini sangatlah singkat, tidak seperti bayangan di dalam kepalanya. Guru itu mengalihkan pandangannya. Dia menatap meminta penjelasan pada muridnya.
"Saya rasa itu cukup. Sekarang, boleh saya duduk?" tanyanya tenang saat menyadari tatapan menuntut dari gurunya. Bukannya takut, dia justru memilih untuk tak peduli. Ini hidupnya dan harus berjalan sesuai keinginannya.
"Baiklah. Silakan cari bangku yang kosong," ujar guru itu mempersilakan.
Lelaki itu mengangguk singkat dan langsung berjalan. Saat tiba di barisan kedua dari depan, tampak seorang gadis mencoba menutupi bangku sebelahnya yang kosong.
"Jangan duduk di sini, lo. Ini punya Bianca! Kalau mau duduk, sana di belakang!" usir Siska panik saat murid baru itu mendekati mejanya. Fenia dan Tania yang duduk di belakangnya pun reflek menendang kursi Siska.
"Siska!" desis mereka bersamaan. Bisa-bisanya Siska bersikap bar-bar seperti itu pada murid baru di kelas mereka. Selain itu, ada guru di depan kelas.
"Diem. Gue lagi mempertahankan tahta Bianca." Siska balik memberi peringatan. Dia menengok sekilas dan langsung memberi gestur mengusir pada lelaki di depannya.
Lelaki itu tak pergi. Dia justru mendekati Siska. Matanya menatap tajam gadis tidak tahu tata krama itu. "Berlebihan. Gue enggak akan pernah tertarik duduk di bangku depan!"