Daniel melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Setelah mendapat kiriman lokasi tempat tinggal sang korban dari ketua tim peyidik, tanpa banyak basa-basi Daniel segera meluncur. Memarkirkan mobilnya pada sebuah basement apartemen, kemudian kakinya yang jenjang melangkah menelusuri koridor. Menuju pada lantai kelima, sesuai dengan alamat yang telah diberikan.
Tepat di depan sebuah pintu kamar, Daniel berusaha untuk memecah sebuah sandi untuk memasuki kamar itu. Matanya terpejam, dirinya sedang membayangkan andai ia yang menjadi lelaki ahli sejarah, berasal dari Seattle dan lahir pada tanggal 8 Februari 1982 kira-kira angka apa saja yang akan dijadikannya sebagai sandi kediamannya. Dilihat dari cara berpakaiannya, lelaki itu bisa dikatakan memiliki pribadi yang tak begitu rumit, namun dia juga ahli sejarah yang tentunya memiliki pemikiran yang tak kalah cerdas, hingga sangat tidak mungkin kalau dirinya menggunakan sandi yang terlalu mudah. Kemudian Daniel mencoba untuk mengkombinasikan empat digit angka yang barangkali bisa membuka pintu itu.
1982
Sudah diduga itu tidak berfungsi.
0208
Masih gagal.
0882
Berhasil! Daniel berhasil membuka akses untuk memasuki kediaman korban. Apartemennya tidak begitu luas, tidak seperti yang dihuni oleh Daniel. Namun ruangannya cukup tertata untuk ukuran seorang lelaki yang tinggal sendiri. Daniel melangkah menuju ruang kamar, menatap jajaran buku yang ditata di atas sebuah meja yang cenderung terlihat seperti meja belajar. Ada satu buku yang tergeletak begitu saja, seperti baru selesai digunakan. Daniel meraihnya, membolak-balik halamannya dan menggunakan kemampuannya untuk membaca cepat. Hanya buku sejarah biasa, pikir Daniel. Mungkin lelaki itu tengah mengumpulkan bahan ajar.
"Letakkan kunci...
Di atas sejarah," Gumam Daniel. Lelaki itu nampak tengah memutar otaknya.
"Di atas sejarah!" Seru Daniel, "Mungkin... Ada sesuatu pada buku sejarah ini,"
Dengan segera dirinya mengamati tiap-tiap halamannya. Dari mulai halaman awal hingga yang paling akhir. Ada beberapa deret angka yang tertulis pada beberapa lembar terakhir, di pojok kanan atas.
Daniel segera mengambil gambar angka-angka itu menggunakan ponselnya. Kemudian memeriksa lagi beberapa buku lainnya. Tak ada lagi yang ia dapatkan dari hasil penggeledahannya ini. Lelaki itu pun segera meninggalkan tempat, bergegas untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang apa yang ditemukannya. Ia memutuskan untuk kembali pada kediamannya sendiri. Namun baru saja lelaki itu memasuki mobilnya, salah satu ponselnya kembali berdering. Nomor yang sama dengan yang menghubunginya pagi tadi. Ia pun menjawabnya, namun tak berbicara lebih dulu. Daniel ingin mendengar suara di balik sana, yang terjadi malah si penelepon juga bahkan tidak berbicara sepatah kata pun. Setelah beberapa detik, sambungan telepon kembali terputus. Tak mau terlalu ambil pusing Daniel pun segera melajukan mobilnya untuk bertolak dari sini.
Menyusuri koridor apartemen yang dihuninya, dengan tangan sebelah kanan disembunyikan dalam saku celana, Daniel nampak begitu santai. Seperti sedang tak memikirkan apapun. Begitulah Daniel, dia mampu untuk selalu terlihat tenang. Menyembunyikan semuanya di balik wajah tanpa ekspresinya itu. Setibanya di depan pintu kamar, dirinya kembali dibuat bingung dengan pintu tetangga barunya yang lagi-lagi sedikit terbuka. Yang lebih anehnya lagi, setelah memastikan Daniel benar-benar masuk ke kamarnya, pintu tetangganya itu akan tertutup. Namun Daniel tak menyadari hal itu. Dirinya langsung menuju ke ruangan kerjanya. Meletakkan kembali salah satu ponsel yang dibawanya tadi, sekaligus melanjutkan penyelidikan pasal angka-angka yang ditemukannya di atas buku sejarah.
Meraih sebuah catatan kecil beserta pena, kemudian lelaki itu mulai memindahkan deretan angka yang telah di abadikannya melalui kamera ponsel.
4311231132
Deretan angka tersebut dilingkari. Ada pun deretan angka lainnya pada halaman-halaman berikutnya,
22454245 43152411421123
142411 142443243324
Daniel mencoba menelaah, mencoba untuk menafsirkan, mencari makna dibalik tiap angka tersebut. Dirinya berusaha menemukan suatu pola di dalamnya. Namun konsenterasinya terganggu ketika cacing-cacing di perutnya mulai menggelar konser. Daniel melirik arloji pada tangan kirinya, sudah lewat dari jam makan siang. Lelaki itu segera melangkah menuju dapurnya, mengambil apa-apa saja yang bisa dijadikannya sebagai bahan makanan dari lemari pendinginnya. Mengambil salah satu pisau dari jajaran koleksi miliknya. Daniel memang begitu lihai memainkan mata pisau, di negara asalnya, dirinya pernah menjabat sebagai ahli patologi forensik. Dimana ia selalu disibukkan dengan sayat-menyayat, bedah-membedah, kulit-menguliti. Kali ini yang dibedahnya adalah potongan daging sapi. Membiarkan pisaunya menari, mengiris hingga terpotong menjadi beberapa bagian. Sedari dulu Daniel memang sudah terbiasa mengolah beragam jenis masakan, atau lebih jelasnya, Daniel terbiasa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Sebab, sejak dirinya masih menjalani masa kuliah, Daniel hanya tinggal berdua dengan seorang adik perempuannya. Dipaksa menjadi seorang kakak yang bisa melakukan segalanya, mulai dari urusan rumah tangga, hingga memenuhi segala keperluan dirinya sendiri beserta sang adik. Orang tuanya, tewas dibunuh oleh sepupunya sendiri.
Daniel menghela napasnya. Sial, ingatan itu kembali menyeruak. Kala itu...
Seorang lelaki menjentikkan pemantik api untuk menyalakan sebatang rokok yang diapit oleh kedua jarinya. Kemudian menyesapnya, menimbulkan kepulan asap dari mulut. Menengadah, menatap langit yang melemparkan semburat merah. Sedetik kemudian menunduk, menatap ujung sneakers yang ia kenakan, mengacak rambutnya sendiri serta meremasnya dengan sangat keras.
"AARGHHH!!" Berteriak sekencang-kencangnya, sebab tak akan ada seorang pun yang mendengar. Lelaki itu tengah berada di atap kampus tempatnya menimba ilmu.
Tampilannya begitu urakan, mengenakan kaus putih yang warnanya sudah tak lagi putih, jeans panjang yang sudah menampilkan beberapa sobekan, serta kemeja hitam yang bertengger pada bahu kanannya. Jangan lupakan ransel yang ia geletakkan begitu saja di tepi.
"Ada apa?" Ucapnya pada seseorang di seberang sana, yang baru saja menghubunginya melalui panggilan suara.
Matanya yang terlihat hanya segaris kini membulat, penuturan lawan bicaranya seakan membuatnya tercekat. Air mata mulai menggenang, skleranya mulai berubah jadi memerah, menandakan ia menahan tangisnya susah payah. Buku-buku tangannya terkepal begitu erat, hingga kulitnya yang bersih jadi memerah. Tubuhnya bergetar, seperti mati-matian meredam emosi. Detik berikutnya, ketika sambungan telepon sudah terputus, ia bergegas dari tempatnya berada, meraih tasnya yang semula tergeletak. Mengambil langkah seribu menuju tempat dimana motornya terparkir.
Mengenakan helmnya asal, kemudian melajukan motor sekencang-kencangnya agar dapat tiba di tempat yang ia tuju secepat mungkin.
BRAKKK
Kakinya mendobrak paksa pintu rumah hingga hancur, dengan matanya yang memerah dan napasnya yang begitu memburu, ia menyusuri rumah itu dengan gusar. Hingga tiba di ruang bagian tengah rumah, buku-buku tangannya kembali terkepal, napasnya semakin tak beraturan. Ia disuguhkan dengan pemandangan yang amat kacau. Pecahan barang berserakan dimana-mana. Semrawut, seperti habis di terjang angin topan.
"Kau sudah pulang, Daniel?"
Ucap seorang lelaki yang terlihat sedikit lebih tua dari Daniel seraya melempar senyum manis. Iya, Daniel. Pemuda yang dengan sesegera mungkin meluncur dari kampus, pemuda dengan sorot mata yang semula kosong, menjadi penuh dengan pancaran amarah.
Lelaki itu melangkah mendekati Daniel. Daniel semakin menajamkan tatapannya ketika lelaki itu melangkahkan kakinya melompati sepasang suami isteri paruh baya yang terbujur lemas bersimbah darah di lantai.
Kemudian Daniel mengedarkan pandangannya. Matanya menangkap sesosok gadis kecil, lengkap dengan pakaian tidurnya, mendekap erat boneka beruang miliknya, bersembunyi di balik tangga. Kemudian matanya kembali terfokus pada lelaki yang kian mendekat ke arahnya.
"Berhenti disitu!" Susah payah Daniel melontarkan kalimat tersebut, membuat lelaki itu menghentikan langkahnya. Mengangkat kedua bahunya dengan raut yang tidak berdosa sama sekali.
Daniel menatap sepasang suami isteri paruh baya yang berselimut darah. Mata mereka masih berkedip, masih bisa diselamatkan, pikir Daniel. Tanpa disadari, air mata daniel sudah terjun bebas bersamaan dengan bertemunya tatapan miliknya dengan sepasang suami isteri itu. Mereka adalah, kedua orang tua Daniel.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?!" Sentak Daniel. Lelaki itu hanya tertawa.
"Apa lagi? Selain mengunjungi sepupu kesayanganku, Daniel," Ucapnya membuat Daniel berdecis.
Daniel mengedarkan pandangannya, kemudian meraih gunting yang tergeletak di atas laci tepat di samping ia berdiri.
Dengan tubuh yang gemetar, sorot mata yang begitu tajam, Daniel berjalan menghampiri lelaki itu, yang justru dijadikan bahan tertawaan oleh lelaki yang menyebut dirinya sebagai sepupu Daniel.
"Pergi atau kau akan kubunuh!" Sentakan Daniel malah membuatnya tertawa lebih keras.
"Pergi!!"
Seketika lelaki itu menghentikkan tawanya, melempar tatapan yang tak bisa diartikan.
"Daniel," Nada suaranya berubah menjadi begitu dingin.
"Bukankah seharusnya kau mengucap terima kasih kepadaku?" Lelaki itu menghampiri kedua orang tua Daniel yang sudah tak bisa berkutik.
"Oh, aku tahu. Atau mungkin kau baru akan berterima kasih kalau aku sudah menuntaskannya,"
Pada akhir kalimat yang lelaki itu ucapkan, Daniel berteriak sekencang-kencangnya, menangis sejadi-jadinya, lututnya tak lagi mampu menopang, membuat Daniel terdampar di lantai. Susah payah Daniel mencoba untuk bangkit, ingin segera berlari menghampiri lelaki itu, menghentikkan aktivitasnya. Namun nihil, Daniel kehilangan seluruh tenaganya. Pandangannya semakin mengabu akibat air mata yang keluar begitu deras. Daniel meraung-raung, hatinya begitu hancur, begitu juga dengan jiwanya. Dengan mata kepalanya sendiri, Daniel, menyaksikan kedua orang tuanya meregang nyawa, di tangan sepupunya.
"Bagaimana, Daniel?" Tanpa merasa berdosa sedikit pun, sembari menyeka percikan darah pada wajahnya, lelaki itu berjalan menghampiri Daniel yang masih terdampar di atas lantai.
Lelaki itu membungkukkan tubuhnya tepat di hadapan Daniel, mengulurkan tangannya berniat membantu Daniel untuk kembali berdiri. Namun, Daniel segera menepisnya. Matanya menatap tajam pada lelaki itu.
"Kau ini kenapa? Aku justru membantumu, bukankah mereka sudah membuat hidupmu yang sudah sulit menjadi semakin sulit? Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Daniel," Tutur lelaki itu, dengan sorot mata yang begitu tulus.
"Kau sudah gila, Ryan!!" Daniel kesulitan mengatur napasnya, amarah sudah menyelimutinya kali ini.
"Bukan ini yang seharusnya kau lakukan! Bukan ini!! Kau merenggut kedua orangtuaku apa kau memikirkan bagaimana perasaanku saat ini?!! Sekarang juga kau pergi! Pergi dari sini!!"
Teriakkan Daniel membuat lelaki yang barusan dipanggil 'Ryan' itu kembali bangkit. Sorot mata dan raut wajahnya tak dapat diartikan.
"Kau harus tahu Daniel, siapa pun itu, yang menjadi benalu dalam hidupmu, perlu segera disingkirkan," Ryan, lelaki itu, segera berlalu. Meninggalkan segala kekacauan yang baru saja ia perbuat. Menorehkan luka panjang yang tak akan terhapus bagi Daniel.
Bertahun-tahun sudah kejadian itu berlalu, membuat hidup Daniel yang sekilas nampak sempurna sebagai seorang profiler muda yang sukses, juga tampangnya yang begitu rupawan ternyata hanya kedok belaka. Jika ditelusuri jauh ke dalam tatapannya, kalian akan menemukan sebuah kehancuran yang disembunyikan rapi oleh lelaki itu disana.
Setelah menyajikan hidangan di atas meja makannya. Daniel menatap nanar. Tanpa sadar dirinya membuat dua porsi makan siang.
"Dilla, aku membuatkan makan siang untukmu," Gumam Daniel pada dirinya sendiri.