2. Laboratorium

1505 Kata
Profesor Chiko dan timnya tengah berada dalam perjalanan menuju laboratorium yang terletak di pinggiran Ibukota. Ia sengaja membangun pusat penelitian itu di sana, jauh dari keramaian demi ketenangan dan konsentrasi dalam bekerja. Pria itu sangat membutuhkan tempat yang nyaman untuk melakukan aktifitasnya. Selain itu ia pun memikirkan keamanan warga sekitar, jika terjadi sesuatu yang membahayakan yang diakibatkan oleh aktifitas laboratorium miliknya maka efek yang ditimbulkan tak akan langsung dirasa oleh mereka. Pria itu selalu penuh dengan perhitungan dan sangat peduli terhadap keselamatan orang lain. Profesor Chiko memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Rombongan para profesor itu tiba di jalan menuju tempat itu tengah malam tepat pukul dua Meskipun demikian suasana langit tampak terang berderang karena bertepatan dengan bulan purnama. "Apakah perjalanan ini masih lama?" Profesor Amanda Taro tampak tak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Wanita berkacamata tebal asal Kyoto, Jepang yang senang memakai kimono itu mengatur posisi duduknya seraya melihat ke arah sekitar. Kanan dan kiri jalan dipenuhi oleh kebun yang ditumbuhi banyak pepohonan rimbun. Terlihat angker dan menyeramkan. Wanita itu mulai tak nyaman. Ada sesuatu yang ditahan olehnya. Ia ingin segera ke toilet. "Lihatlah gedung bercahaya terang. Itu adalah tempat kerja kita." Profesor Chiko menunjuk ke arah bangunan tinggi yang tak jauh dari mereka. Hanya sekitar seratus meter jaraknya. Tak lama lagi mereka akan segera tiba. Berhubung jalanan sangat sepi sejak tadi ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. "Aw." Para penumpang terkejut karena tiba-tiba mereka merasakan ada yang aneh dengan mobil yang tengah ditumpangi. "Sepertinya ada benda yang tergilas." Profesor Asep merasakan ada sesuatu yang tak beres. "Kita turun dulu!" Profesor Chiko ingin memastikan benda apa yang tergilas olehnya. Rasanya sedikit aneh. Ia yang berada di balik kemudi terpaksa harus turun, sementara empat kawan lainnya tetap berdiam diri di dalam. Suasana udara tengah malam benar-benar dingin mencekam ditambah lagi suara burung gagak dari kejauhan. Bukan hanya suara binatang itu yang terdengar, lolongan suara anjing pun terdengar sangat menyeramkan. Kebetulan malam ini adalah malam Jum'at. "Ada apa gerangan?" Profesor Antonio Twisto penasaran. Ia pun turut merasakan ada benda seperti karet yang terlindas ban. "Ternyata ada seekor ular." Profesor Chiko melempar sesuatu ke arah kebun yang terletak di pinggir jalan. Ia baru saja melindas seekor ular berukuran cukup besar. Aneh sekali padahal tadi dengan jelas ia tak melihat apapun di depan. "Apa? Ular?!" Oh, No, i dont,'t like snake." Profesor Garry Ball ketakutan. Profesor asal Inggris itu paling jijik dengan ular. Ia memiliki pengalaman buruk dengan binatang tersebut. Saat dirinya berusia sepuluh tahun ia pernah digigit ular dan harus terbaring lemah di rumah sakit selama dua minggu lamanya, oleh karena itu segala jenis ular sangat dibenci dan ditakuti olehnya. "Sudah saya atasi dan bangkainya sudah saya buang. Semua baik-baik saja dan Anda sekalian tidak perlu khawatir." Profesor Chicko tersenyum senang. Baginya itu hanya sebuah masalah kecil yang tak perlu dirisaukan. Ia kembali berada di balik kemudi untuk melanjutkan sisa perjalanan yang tinggal sebentar lagi. "Kenapa maruringkak begini ieu teh." Profesor Asep, yang berasal dari Bandung mengungkapkan perasaannya. Ia memang memiliki sifat penakut. Kebiasaannya menonton film horor telah mempengaruhi jiwanya. Profesor Chiko tak menanggapi, ia hanya tersenyum kecil tanpa ada yang melihatnya karena suasana penerangan di dalam mobil sangat temaram. "Saya tidak paham, Anda bicara apa?" Profesor Amanda yang fasih berbahasa Indonesia itu merasa aneh dengan kalimat yang diucapkan oleh Profesor Asep. Begitu juga dengan kedua profesor lainnya. "Maksud saya teh bulu kuduk saya jadi merinding." Profesor Asep yang berasal dari suku Sunda menterjemahkan kalimatnya. "Ini dia tempat kerja kita." Profesor Chiko menunjuk ke arah gedung besar empat lantai yang ada di hadapan mereka. "Wow amazing, i like this place. Sangat suka! " Profesor Gerry Ball yang sering melakukan penelitian di Republik Indoland itu menunjukkan ketertarikannya. "Saya tidak sabar ingin segera bekerja." Profesor Antonio Twisto terlihat antusias. Profesor asal Spanyol itu terkenal gila kerja. Ia hanya tidur tiga jam sehari. Bisa jadi kepala botaknya itu adalah efek dari terlalu keras berpikir. Rombongan para peneliti itu turun. Kedatangan mereka disambut oleh beberapa sekuriti. *** Kelima profesor terpilih itu segera masuk ke gedung. Di dalam ada dua sekuriti yang tengah jaga. Tempat itu memiliki pengamanan yang ketat. Selain ada sekuriti, di setiap sudut ruangan dipasang kamera CCTV. Kalian bisa istirahat dulu sebelum besok kita berkeliling mengitari kawasan tempat ini." Profesor Chiko memberikan arahan. Ia tahu jika semua kawannya itu kelelahan. "Siap." Mereka menuju kamar tidur masing-masing yang terletak di lantai empat. Profesor berambut klimis itu sendiri yang mengantarnya. Ada sepuluh kamar tidur di tempat itu. Masing-masing rekannya ditempatkan oleh sang tuan rumah di kamar yang dijamin kenyamanannya. Berbagai fasilitas canggih sudah tersedia. Mereka pasti akan merasa nyaman dan betah tinggal di sana selama beberapa bulan ke depan. Proyek penelitian ini akan berlangsung sekitar 3 bulan. "Selamat beristirahat teman!" Profesor Chiko mengucapkan selamat tinggal kepada Profesor Asep yang terakhir ia antar ke kamarnya. Ia cukup akrab dengannya karena sudah beberapa kali terlibat kerjasama. "Terimakasih banyak Prof!"profesor Asep merasa betah berada di kawasan laboratorium modern itu. Ini akan menjadi penelitian bersejarah dalam hidupnya. "Sama-sama." Profesor Chiko tersenyum. "Kamar saya yang ada di pojok, kalau kamu butuh apa-apa silahkan temui saya," pamit Profesor Chiko kepada Profesor bertubuh pendek itu "Baik. Prof," responnya gugup. Sebetulnya profesor Asep ingin tidur sekamar berdua. Jika di tempat asing ia selalu merasakan sesuatu yang aneh maka dari itu ia tak pernah ketinggalan membawa asisten. *** Profesor Chiko merasa tentram berada di kamar pribadinya yang telah tiga hari ditinggalkan olehnya. Ia lebih betah berada di kamar pribadi yang ada Laboratorium miliknya daripada kamar hotel mewah. Baginya Laboratoriumnya adalah istananya. Usai membersihkan diri, ia pun segera berganti pakaian dan bersiap untuk istirahat sebab esok harus mulai kerja bersama timnya. Seperti biasa ia selalu membalur sekujur tubuhnya dengan bedak khusus untuk mengurangi rasa gatal di kulit tubuhnya yang tak kunjung hilang. Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari ia segera berbaring menyamping, namun perasaannya tak menentu. Ia mendengar ada suara-suara aneh di sekitarnya. Bulu kuduknya mendadak merinding. Dengan gerakan cepat ia menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Ia tak berani mematikan lampunya. Chiko...Chiko.... Terdengar ada suara memanggilnya. Ia menajamkan telinganya namun suara itu tiba-tiba menghilang dan tak lagi terdengar. Tidak, ini cuma halusinasinya saja. Bertahun lamanya tinggal di tempat itu ia tak pernah mengalami hal buruk berbau mistis. Saat berusaha memejamkan matanya, ia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Detak jantungnya kembali bertalu-talu hingga keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tok Tok Tok Tak ada suara apapun. Tok Tok Tok "Profesor Chiko, Apakah Anda sudah tidur?" Pria itu tahu, itu adalah suara Profesor Asep. Ia pun menyingkap selimutnya dan bangkit dari pembaringannya. Dengan ucapan bismillah ia membukakan pintu kamar. Benar saja profesor itu melihat sosok pria berkumis tipis dengan kacamata tebalnya berdiri di hadapannya. Ia sempat gugup. "Ada yang bisa saya bantu?" Profesor Chiko segera bertanya dengan nada bergetar. "Maaf, Prof saya teh tidak bisa tidur, kalau boleh saya ingin bermalam di kamar Profesor." Profesor Asep menyatakan maksudnya tanpa basa basi. Sang Profesor tampan itu menatap rekannya. Ia sama sekali belum mengetahui sifat asli si profesor bertubuh pendek itu. Gerak geriknya tampak mencurigakan. "Maksud Anda apa ya?" Profesor Chiko memasang tampang waspada. Ia khawatir jika profesor bernama lengkap Asep Sikasep itu memiliki maksud buruk atau jangan-jangan ia memang memiliki kelainan. Ia jadi ingat kebiasaannya membawa asistennya yang bernama Eko. "Prof, tolong saya prof saya butuh teman." Profesor Asep tampak memelas. "Kalau boleh saya tahu apa maksud Anda sebenarnya." Sebetulnya Profesor Chiko merasa senang ada teman namun ia berusaha menyembunyikan rasa takut yang dialaminya tadi. "Saya, saya teh tidak biasa tidur sendirian. Di rumah biasa ditemani istri atau anak-anak. Kalau sedang dinas tidurnya ditemani asisten. Saya akan terserang insomnia jika sendirian." Ia memberikan alasan konyol. "Baiklah kalau begitu, silahkan masuk." Profesor Chiko yang mengalami hal sama dengannya akhirnya memberi izin masuk. "Terima kasih banyak ya Prof." Pria dua anak itu terlihat girang. Segala ketakutannya menguap begitu saja. "Baiklah, kalau begitu silahkan beristirahat." Profesor Chiko memberikan perintah. Profesor Asep yang sebetulnya sudah merasa lelah yang teramat sangat akhirnya segera naik ke atas ranjang berukuran king, berharap bisa tidur dengan nyenyak. Sementara itu profesor Chiko menghela nafas panjangnya. Tingkah rekan satu timnya itu sungguh aneh. Namun ia juga merasa beruntung ia memiliki teman malam ini. Entah mengapa sejak menginjakkan kakinya ke dalam ruangan itu seolah ada seseorang yang mengikuti dirinya. Selang dua menit kemudian usai mengunci pintu kamar ia berbaring di samping Profesor Asep. *** Pagi yang cerah diawali dengan sarapan bersama di ruang makan. Koki pribadi Profesor Chiko telah menyiapkan menu istimewa untuk para tamu. "Bagaimana tidur Anda sekalian tadi malam?" Profesor Chiko menatap satu per satu tamunya yang kini tengah duduk mengitari meja makan. "Sangat nyenyak." Profesor antonio Twisto memberikan jawaban. "Udara dingin sekali tentu saja saya tidur nyenyak." Profesor Garry Bell merasakan hal yang sama. "Saya juga tidur nyenyak," seru Profesor Amanda Taro. Hanya profesor Asep yang tak berkomentar. Sejujurnya ia malu jika teman yang lainnya mengetahui tingkahnya. Beruntung Profesor Chiko tak membahasnya. Benar-benar memalukan saat terbangun ia tengah memeluk Profesor Chiko. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN