BAB 24

1096 Kata
Hari ulang tahun Aelin telah berlalu tanpa kendala. Keinginannya dipenuhi oleh Ares, entah bagaimana cara Sierra membujuk Kaisar Keji itu. Walau didampingi oleh Saga yang selalu menjadi perusak suasana selama menyusuri Ibu Kota, Aelin tetap merasa senang. Dia dapat menyaksikan bagaimana dunia ini berjalan dan merasa dapat lebih mengenal seluk-beluknya. Bahkan Aelin mulai merasa sedikit bersyukur karena didampingi oleh Saga sebab hanya memerlukan penyihir itu agar diperbolehkan menyusuri Narfort. Bayangkan jika tidak ada Saga, Aelin tak ingin tidak merasa bebas akibat dikawal oleh kesatria. Dua minggu telah berlalu, Aelin kembali ke kehidupan membosankan di Istana Clementine. Tidak ada yang menarik lagi, begitu datar hingga dia berpikir seluruh memori tentang Narfort hanyalah halusinasi. Dia tidak bertemu lagi dengan Ares, mendengar kabar pun tidak. Akhir-akhir ini kabar yang beredar hanyalah ulang tahun Arne yang akan segera tiba. Euforia ulang tahun gadis itu memang selalu ramai setiap tahunnya. Dan Aelin tidak pernah menjadi salah satu dari orang yang berada dalam euforia tersebut.   Ketimpangan suasana membuat Aelin berpikir betapa tidak nyaman menetap di Istana Clementine bak tersangka dalam penjara. Dari awal, dia telah paham bahwa kehidupannya akan berjalan sedatar ini. Bahkan dia mensyukurinya karena berpikir semakin tipis hawa eksistensinya maka semakin terlupakan dirinya oleh Ares. Sehingga dia tidak perlu terjerat masalah yang tidak-tidak dengan kaisar itu, terutama Duke Morrison yang sangat overprotektif kepada Arne. “Bosan sekali,” keluh Aelin seraya meletakkan buku sejarah Neuchwachstein di meja tanpa acuh. “Sampai kapan aku hanya bisa membaca sejarah leluhur pemimpin kekaisaran ini, huh? Aku ingin kembali berjalan-jalan di Narfort. Ternyata hidup menganggur sedatar ini tidak mudah juga.” Mau bagaimana lagi? Claire Ohara alias Aelin telah hidup selama 26 tahun. Dia tidak terbiasa menjalani kehidupan tanpa rutinitas yang signifikan sewajarnya orang dewasa. Hidupnya dihabiskan hanya untuk banting tulang demi menghidupi diri hingga melupakan banyak hal dalam hidup termasuk hubungan asmara. Dia selalu berorientasi pada tujuan, lantas menjalani kehidupan datar tanpa tujuan selain kabur di usia 17 tahun benar-benar menyiksa dirinya. Mungkin ini akan terasa lebih mudah jika Aelin memiliki jenjang pendidikan yang harus dijaga ketat, sayangnya hal itu tidak ada. Aelin berbaring di sofa, bertumpu pada sisi kanan tubuhnya. Mata peraknya menatap buku sejarah yang masih terbuka di meja. Buku itu berisi biografi para pemimpin Neuchwachstein sehingga pasti menjadi salah satu buku yang wajib dibaca oleh seluruh generasi penerusnya. Hal-hal yang tidak diketahui Aelin karena tidak tercantum di novel pun terjelaskan secara detail. Salah satu pemimpin terdahulu yang mencolok adalah Permaisuri Savvina, seseorang yang juga dibicarakan oleh Saga saat pertemuan pertama mereka. Sesuai ucapannya, Savvina memang wanita nyentrik yang fenomenal pada masanya. Ia naik takhta di usia sangat muda dan baru menikah di penghujung dua puluhan. Sepak terjang pemerintahan serta kehidupan asmaranya benar-benar luar biasa. Mungkin karena ia terlahir sebagai perempuan sehingga apa pun yang ia lakukan akan selalu tampak janggal. Bagi Aelin, Savvina sama seperti perempuan biasa yang manusiawi. “Kemarin aku melihat opera tentang permaisuri itu, bukan?” gumam Aelin, mulai melamun akibat tenggelam pada memori berjalan-jalan di kota bersama Saga. Sebagai manusia modern yang segalanya berbasis sosial media, tidak heran untuk melihat Aelin sangat antusias mengajak Saga menonton opera. Selain karena ingin menyaksikan drama opera secara langsung, dia juga ingin melihat bangunan gedung opera yang pasti futuristik. Dugaannya pun tidak salah. Gedung opera tertampil persis seperti gedung opera di bumi pada era abad ke-19. Aelin ingat bagaimana keluhan Saga sesaat setelah mereka sampai di gedung opera. “Huh? Penampilan hari ini tentang Savvina? Malas sekali menyimak hidup wanita itu lagi.” Tidak memedulikan keluhan Saga, Aelin menunjuk loket tiket dengan mata antusias. “Saga, cepat mengantre! Kita harus mendapatkan kursi yang cocok!” “Kau ingin menontonnya?” sembur Saga memprotes. “Aku tidak tahu denganmu, tapi aku bosan menyimak kehidupan dia.” Aelin menoleh, mengerjap bingung. “Kenapa? Permaisuri Savvina terkenal sebagai Bunga Hitam Neuchwachstein karena kecerdikannya selama memerintah kekaisaran juga kepiawaiannya mengatur strategi perluasan wilayah, bukan? Beliau akan menjadi referensi yang bagus untukku.” “Kau tidak perlu menonton drama adaptasi biografi wanita itu, cukup membaca buku.” Aelin mengerucutkan bibir. “Tapi, tidak selamanya aku hanya puas dengan pengetahuan dari buku. Aku ingin melihat adaptasinya juga.” “Aku tidak ingin—hei!” Bukan Aelin kalau tidak memaksa Saga. Gadis itu menarik pergelangan kanan Saga menuju loket tiket. Seluruh tenaga dari jajanan serta makanan dikerahkan demi mendapatkan dua tiket pertunjukan biografi Savvina. Kebetulan, ketika mereka sampai di loket merekalah satu-satunya pengunjung yang datang sehingga langsung dilayani oleh petugas. Saga yang ingin melawan Aelin pun terhalang begitu saja dan berakhir tak memiliki pilihan selain memenuhi keinginan gadis itu. Didukung semesta, mereka mendapatkan kursi yang cukup bagus meski antrean di pintu ruang teater telah begitu panjang. Mungkin hanya dua kursi itulah yang tersisa atau ada seseorang yang batal menonton. Apa pun alasannya, Aelin tetap bersyukur. Selama pertunjukan berlangsung, Aelin tenggelam dalam penampilan para pemeran yang memukau. Benaknya hanyut ke dalam kisah satu-satunya perempuan yang pernah memimpin kekaisaran tersebut hingga tidak mempedulikan eksistensi Saga di sisi kirinya. Saga juga tidak menyuarakan apa pun meski ia menolak menonton pertunjukan Savvina. Ketika euforia akan memuncak, Saga berbisik ke telinga Aelin. “Kau bodoh sekali.” “Tidak ada pemimpin yang sebenar-benarnya sempurna sehingga menentukan kepewarisan berdasarkan jenis kelamin adalah keputusan bodoh!” “Huh? Kau mengatakan sesuatu, Saga?” Sepertinya begitu karena sesudah menonton opera, wajah Saga benar-benar tertekuk masam dan tidak berbicara apa pun. Aelin yang tidak peka pun berpikir Saga merasa kelelahan menemaninya seharian di Narfort sehingga mengajaknya kembali ke Istana Kekaisaran. Lalu, dua minggu berlalu sejak hari itu, Aelin belum mendengar maupun melihat Saga lagi. Mungkin lelaki itu sibuk? Pada akhirnya dapat bekerja dengan benar di menara usai sekian minggu berselisih karena merasa para penyihir kekaisaran hanya sebatas orang bodoh. Aelin jadi tertawa geli. Saga benar-benar mirip seperti Leia dengan versi lebih egois dan narsis. Jika lelaki itu datang, dia harus memberikan sesuatu sebagai imbalan karena telah menemaninya di Ibu Kota meski itu sebatas perintah Ares. Tatapan Aelin beralih ke sepucuk undangan di pojok meja, cukup jauh dari buku sejarah. Ekspresi ceria gadis itu menghilang dalam sekejap karena teringat sesuatu yang tak ingin dilihat dan diingat. Sebuah undangan yang mungkin akan menjadi malapetaka selanjutnya dalam hidupnya. Sebuah pemikiran jahat, namun bagaimana lagi? Aelin harus selalu waspada terhadap Arne karena gadis itu didukung oleh Duke Morrison beserta para bangsawan lainnya. “Aneh sekali mengundangku seperti ini,” ujar Aelin pelan seraya mengubah posisi menjadi berbaring sempurna. “Aku tidak bisa memberimu hadiah ulang tahun, kau tahu?” Ya, Aelin diundang oleh Arne untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Dan pertemuan semacam itu terlalu cepat terjadi.      TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN