BAB 41

1084 Kata
“Bagaimana? Apakah Anda baik-baik saja, Lord Saga?” Saga terbaring di sofa kamar tidurnya pada saat Erasmus menghampirinya. Bagi pria berkacamata itu, ini adalah momen pertama kali untuk melihat Saga kelelahan. Biasanya, Saga tidak akan pernah merasa demikian. Mungkin karena dia dalam kondisi kekuatan tidak maksimal sehingga sangat mudah kelelahan dan terbaring tak berdaya. “Aku lemah seperti penyihir bodoh di Kekaisaran. Aku jijik melihat Deflecteo perlu waktu sekian detik hanya untuk menghancurkan sihir bodoh,” ujar Saga diiringi decakan dalam pembaringannya. “Setidaknya, Anda tidak tertimpa masalah. Dengan begini, kita tahu bahwa sihir itu dapat dihancurkan dengan Deflecteo,” tanggap Erasmus tenang. “Saya akan membersihkannya—” “Tidak,” sela Saga ketus, membuat Erasmus sedikit tersentak. “Diperlukan Deflecteo yang cukup kuat untuk menghancurkannya. Dengan kapasitas kekuatanmu, kau hanya akan bunuh diri jika memaksakannya.” Erasmus mengernyit, kian terkejut. “Lalu... Anda ingin membersihkannya sendirian? Tolong, pertimbangkan kembali, Lord Saga! Kondisi Anda seburuk ini setelah merapalkan satu Deflecteo—” Saga mendecak kasar. “Aku tahu. Tapi, harus ada seseorang yang melakukan sesuatu atas hal itu.” Erasmus juga menyadarinya. Di seluruh penjuru Neuchwachstein, tidak ada penyihir yang menyadari keberadaan tanaman sihir hitam kuno di Istana Hampstead. Penyihir tua dan berkompeten seperti Eros, sang Kepala Penyihir Kekaisaran, pun tidak menyadarinya. Dari fakta itu, telah ditentukan bahwa tiada satu pun yang mampu menangani masalah tersebut selain Saga. Dan cepat atau lambat, eksistensi sihir itu akan membesar hingga baru disadari oleh para penyihir lainnya. Kendati demikian, itu akan menjadi sangat terlambat untuk ditangani. Erasmus tidak ingin tuannya dalam bahaya. Jika dia bisa, dia akan menarik para Penjaga Menara untuk mengatasi masalah sihir hitam kuno ini. Namun, dia tahu dengan jelas, Saga akan menolaknya mentah-mentah. Seseorang harus melakukan sesuatu. “Tidakkah kau berpikir bahwa kau terlalu memaksakan diri?” cetus Kuro, meringkuk di ranjang dengan santai. Saga melengos, matanya masih memejam ditutupi oleh lengan kirinya yang bersandar di atas wajahnya. “Bicara sesukamu, Kucing Bodoh.” “Aku hanya ingin memberi tahu bahwa masalah ini dapat diselesaikan secara lebih efisien jika saja seseorang berhenti bertingkah sok kuat.” Diam-diam Erasmus menyetujuinya tetapi dengan alasan berbeda. Dia tidak ingin Saga dalam bahaya akibat bersikeras mengatasi segalanya sendirian. “Dari pada mengkhawatirkan penyihir bodoh sepertimu, aku lebih khawatir dengan reaksi Putri Aelin jika terjadi sesuatu padamu,” imbuh Kuro sinis, membuat Saga mendecih. “Tampaknya, seseorang telah melupakan siapa tuannya yang sebenarnya,” hujat Saga. Kuro menggeram pelan. “Aku tidak ingat memiliki tuan yang bodoh.” “Kau pikir Putri Bodoh itu tidak bodoh? Lihat apa yang dia lakukan kemarin!” “Hmph, yang kulihat hanyalah calon bibit unggul dalam dunia sihir telah lahir.” Perdebatan itu mengingatkan Erasmus pada insiden Flareos di balkon kamar Aelin. Dia tidak berada di tempat kejadian saat itu terjadi, tetapi dia dapat merasakan hawa kekuatan yang sangat besar membara begitu kuat selama sepersekian detik. Dia tidak yakin apakah penyihir lain juga merasakannya, yang jelas itu terasa sangat menakjubkan hingga membuat bulu kuduknya meremang. Jika Kuro berkata demikian, maka dapat dipastikan kekuatan Aelin sebesar itu untuk sampai disebut sebagai calon bibit unggul. Entahlah bagaimana sudut pandang Saga, namun Erasmus yakin lelaki itu pasti memiliki pemikiran sejenis. Sejak awal, kabar bahwa Flareos menciptakan kobaran api adalah fenomena menggemparkan di dunia sihir. Hukumnya, Flareos tidak akan menciptakan kobaran api lebih dari kapasitasnya yang sangat kecil, tidak peduli apa pun kondisinya. Tingkatan mantan telah ditentukan sejak awal dan tidak akan berubah mengikuti zaman. Penyelewengan sihir hanyalah sihir hitam yang terlarang untuk digunakan. Erasmus tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi para penyihir jika kabar Aelin sampai ke telinga mereka. Setidaknya, ada Saga di samping sang Putri. Fenomena Flareos itu tidak akan sampai ke telinga siapa pun. Dan Erasmus sungguh berharap demikian. Akan menjadi masalah besar jika kabar Aelin sampai ke telinga penyihir-penyihir berbahaya. Saga menggeram. “Urus mulutmu sebelum aku melemparkanmu ke neraka, Kucing Jelek.” “Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu, Penyihir Bodoh. Aku tidak akan peduli jika kau sekarang!” Tidak menunggu respon Saga, Kuro lenyap begitu saja, berpindah ke tempat lain melalui teleportasi. Erasmus mengembuskan napas lega sepelan mungkin, bersyukur karena keributan mereka tidak perlu berlarut-larut. Saga berbaring bertumpu pada sisi kanan tubuhnya di sofa, memberi punggung pada Erasmus yang setia berdiri di depan sofa. Deru napasnya menunjukkan betapa frustasi sekaligus jengkel dirinya terhadap Kuro. “Lord Saga, bagaimana dengan Putri Aelinna?” tanya Erasmus, mengganti topik. “Melatihnya. Anak itu pintar, dia akan menguasai kekuatannya cukup cepat sebelum orang lain menyadari kebangkitan kekuatannya,” jawab Saga dingin, terkesan tidak minat membicarakan Aelin. “Benar, lebih cepat lebih baik. Saya yakin Putri Aelinna bukanlah pengguna sihir biasa. Beliau adalah orang pertama di sepanjang masa yang menyelewengkan hukum sihir. Berbahaya membiarkannya sendirian.” Saga tidak menjawab. Sepertinya memutuskan untuk kembali tidur karena lelah berdebat dengan Kuro dan meladeni apa pun ucapan Erasmus. Jadi, Erasmus membiarkannya beristirahat seraya berharap keadaan Saga membaik di keesokan hari. Erasmus berpindah tempat usai memindahkan Saga ke ranjang menggunakan sihir. Dia tidak boleh melupakan tugas utamanya meski ingin menemani Saga karena khawatir pada kondisinya. Di hadapan Erasmus sekarang adalah ruangan megah yang dijadikan tempat bercengkrama. Sekelilingnya terdapat beberapa sosok yang dia hormati setara dengan rasa hormatnya pada Saga. Figur-figur yang akan selalu mengusiknya untuk meminta kabar tentang Saga. “Selamat malam, Para Penjaga Menara. Saya telah kembali,” ujar Erasmus seraya membungkuk hormat. “Erasmus, senang melihatmu di sini,” sahut salah satu Penjaga, seorang pria jangkung berkacamata yang memiliki peran cukup banyak dalam segala hal. “Jadi, haruskah kita membicarakannya sekarang?” “Membicarakan apa?” sahut Penjaga lain, seorang perempuan elf kecil bertampang polos. “Cara untuk membawa Lord Saga kembali ke sini.” Elf kecil lainnya yang berbeda jenis kelamin—salah satu Penjaga juga—spontan berseru. “Eh?! Akhirnya dibicarakan? Kalian yakin?” “B—Benar, apakah Lord Saga tidak akan marah jika kita memaksa beliau pulang?” tandas elf perempuan kecil. Penjaga lain, seorang wanita jangkung bertubuh semampai yang duduk menyamping di sofa pun menyahut. “Beliau pasti akan marah, tapi Demiurge lebih mempedulikan keselamatan beliau. Aku tidak akan ikut serta, reputasiku akan hancur di mata Lord Saga jika ikut serta.” “Lakukan sesukamu, aku yakin caraku tidak akan menyinggung Lord Saga.” Erasmus hanya berdiri diam di tengah-tengah mereka, menyimak setiap perdebatan yang mengalir. Bukan sebuah hal aneh lagi tetapi dia lebih berharap tidak perlu terjebak di situasi ini. Yah, dia tidak memiliki pilihan lain. Lagipula, mereka semua sama-sama menghormati Saga, jadi Erasmus akan bersabar. TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN