Dua minggu usai insiden Flareos, pelatihan sihir Aelin berjalan lancar. Tidak seperti sebelumnya, kini Aelin telah cukup mampu menguasai mana dalam dirinya. Mantra-mantra sederhana telah mampu dikerahkan. Dia bukan Putri biasa yang tidak dapat menggunakan sihir lagi dan itu menakjubkan untuk mengingat betapa cepat dia berkembang. Mungkin karena teknik pengajaran Saga sangat hebat atau Aelinlah yang berbakat, entahlah.
Saga tidak banyak berkomentar mengenai perkembangan Aelin yang terlampau cepat. Lelaki itu hanya mengamati dan sedikit memuji lalu kembali melanjutkan latihan ke tahap berikutnya seolah-olah perkembangan cepat Aelin bukanlah hal aneh. Aelin pun jadi terbawa sikap yang sama, tidak begitu peduli.
Sementara itu, pembersihan sihir hitam di Istana Hampstead berjalan beriringan dengan latihan Aelin. Sesuai ucapannya, Saga mengatasi sihir-sihir itu sendirian di sela kesempatan. Sejauh ini, lima tanaman telah dihancurkan, tersisa sepuluh lagi. Jumlah yang terkesan cukup banyak bagi Saga yang sedang tidak berkekuatan maksimal. Tetapi, sekali lagi, seseorang harus melakukannya.
“Melelahkan sekali,” keluh Saga usai tiba di titik tumbuhan sihir hitam berikutnya yang bertempat di taman, dekat dengan rumah kaca. Dia bersiap-siap, “Baik, lebih cepat lebih—“
Saga terinterupsi, dia segera merapalkan mantra pembiasan diri agar tubuhnya sirna dari pandangan semua orang. Dia menoleh ke belakang, matanya terbelalak menemukan sosok Ares bersama Aelin tampak sedang melangkah menyusuri taman. Sejak kapan mereka bersama-sama? Tumben sekali Aelin tidak mengatakan apa pun kepada Saga terkait Ares.
Penasaran, Saga menunda pekerjaannya demi mengamati gerak-gerik Ares dan Aelin. Entah mengapa, firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk hari ini.
“Tidakkah Papa merasa lelah? Kita sudah berjalan cukup lama di sini,” tanya Aelin, hari ini mengenakan gaun sederhana berwarna merah dengan rambut diikat satu tinggi menggunakan pita putih.
“Tidak, tidak perlu mempedulikanku, jalan saja,” jawab Ares dingin seperti biasa, “kita menunggu Arne.”
Saga jadi semakin heran, ada apa dengan keluarga Sinclair itu. Berkumpul bertiga terjadi enam tahun lalu di pesta ulang tahun Arne. Hanya itu saja. Aelin sempat berkata berkumpul bertiga pun adalah sesuatu yang terasa sangat memuakkan. Ia tidak suka bertemu dengan Ares dan Arne sekaligus di satu tempat. Rasa jengkel itu membuatnya tidak bisa untuk tidak meluapkannya melalui keluhan sehingga Saga selalu tahu. Namun, kali ini Aelin memilih bungkam dan menghadiri pertemuan tanpa drama.
Ini semakin membingungkan.
“Aelinna.”
Saga hampir mendelik mendengar Ares memanggil menggunakan nama secara langsung.
“Ya, Papa?”
“Jangan pernah permalukan kekaisaran dengan namamu sendiri.”
Aelin mengerjap bingung. “Huh?”
Ares melirik sekilas. “Bukan aku yang memberimu nama itu, setidaknya kau harus bertanggungjawab mengembannya. Kau paham maksudku, bukan?”
Saga mendecak, tidak mungkin gadis itu paham. Selama ini, Ares selalu mengucapkan kalimat-kalimat ambigu yang seolah memiliki makna tertentu. Seperti sedang bermain tebak-tebakan saja, pikir Saga. Bagi Aelin yang tidak suka berpikir, tindakan semacam itu justru membuat Aelin tak ingin menggubrisnya.
“Ya, aku paham, Papa.”
Bohong sekali, batin Saga.
Saga melirik tanaman sihir hitam yang berkobar di belakangnya. Karena keberadaan Ares di sini, dia jadi sedikit khawatir jika pria itu terjangkit efek sihir. Belum lama sejak Ares sembuh, setidaknya jangan biarkan ia mulai sembarangan pergi mendekati jangkauan sihir hitam. Saga tidak meragukan kekuatan sihirnya tetapi mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.
“Deflecteo.”
Seperti biasa, durasi penghancuran tidak terjadi dalam sekejap. Saga tidak ingin menatap bukti kelemahan kekuatannya jadi dia kembali menaruh perhatiannya pada Ares dan Aelin yang kini berdiri di bawah pohon, mengamati hamparan semak mawar. Berjarak cukup jauh dari Saga sehingga Saga harus meningkatkan kemampuan pendengarannya menggunakan sihir.
“Neuchwachstein akan selalu berjaya dalam kepemimpinan Papa dan Arne, aku yakin itu.”
Ares tidak langsung merespon. Pria itu melirik Aelin lamat-lamat seolah gadis itu baru saja mengucapkan hal yang aneh. Saga tidak pernah menggubris gelagat aneh Ares, namun semakin dipikirkan semakin dia menyadari bahwa banyak sekali gelagat tersirat dalam diri Ares.
“Kuharap begitu,” sahut Ares akhirnya.
Nada suaranya tidak mengandung keyakinan sama sekali. Mungkin Kaisar itu menyadari bahwa dirinya terlalu diktator selama memimpin dan watak semacam itu tidak cocok dimiliki seorang pemimpin. Selain itu, mungkin ia juga menyadari bahwa sifat lemah lembut Arne tidak cocok sebagai pemimpin kekaisaran sebesar Neuchwachstein. Apa pun alasannya, Saga tidak ingin tahu.
“Neuchwachstein akan baik-baik saja, percayalah. Arne pintar walau sifatnya lemah lembut. Dia akan menjadi Kaisar yang baik seperti Papa.”
Ares mendengus pelan. “Bagimu aku adalah Kaisar yang baik?”
Aelin menoleh, mengangguk. “Tentu saja. Papa adalah Kaisar terkuat di sepanjang sejarah. Tidak ada yang menandingi Papa.”
Saga tidak akan pernah bisa mengerti mengapa gadis itu perlu bersikap pura-pura manis di hadapan Ares. Sejak dahulu sampai detik ini, Aelin selalu berusaha pergi dari Istana dan meninggalkan keluarga Sinclair. Ia selalu terkesan pura-pura manis demi melindungi sesuatu. Ia juga selalu berkata bahwa Ares menyeramkan dan bisa saja ia mati dibunuh olehnya.
Saga tahu Ares adalah pria diktator tetapi melihat pria itu masih membiarkan Aelin di wilayahnya pun Saga yakin Ares tidak akan membunuh Aelin. Kendati demikian, Aelin pasti tidak ingin mempercayainya.
“Ah, rupanya kalian di sana!”
Mata Saga mengarah ke kiri, menatap Arne berlari kecil menghampiri ayah dan kakaknya. Gadis itu berpenampilan mewah, seperti biasa. Menunjukkan bahwa dirinyalah sang Putri Mahkota Neuchwachstein. Sejak dulu selalu seperti itu dan mungkin bukan hal aneh lagi karena Arne memang tumbuh dalam lautan kemewahan sejak kecil.
Alih-alih memikirkan Arne, Saga memikirkan firasatnya yang kian buruk usai kedatangan Arne. Tumbuhan sihir hitam di belakangnya telah hancur, namun firasat buruknya justru menjadi-jadi.
“Arne, kau datang,” sapa Aelin usai Arne berhenti di hadapannya.
Arne tersenyum riang. “Aku mencari-cari kalian, sulit sekali!”
Aelin terkekeh. “Maaf, tetapi Papa ingin berjalan di sekitar sini.”
“Aku sudah menyiapkan teh di rumah kaca. Mari ke sana, Ayah, Kakak.”
Keluarga kekaisaran itu pun melangkah bersama-sama menuju rumah kaca yang tidak jauh dari mereka. Saga ingin mengamati lebih jauh lagi sehingga dia turut melangkah mengikuti mereka. Dalam sudut pandangnya, dia melihat aliran-aliran sihir hitam hendak mencekik Ares namun terhalang oleh sihir pelindung Kaisar itu.
Saga tidak akan heran. Tumbuhan sihir hitam belum sepenuhnya terhempas dari Istama Hampstead sehingga masih banyak aliran sihir yang beredar di sekelilingnya. Akan tetapi, ini mulai terasa gawat apabila mengingat bahwa Ares baru saja sembuh. Kekuatannya tidak akan maksimal jika terus-menerus terpapar sihir berbahaya tersebut.
Haruskah Saga menuntaskan semuanya sekaligus sekarang?
TO BE CONTINUED