"Lain kali hati-hati."
Satria mengompres luka di tangan Jia menggunakan es batu. Satu tangannya memegang siku gadis itu, dan satunya lagi menempelkan handuk berisi es batu dengan sangat hati-hati. Jia sendiri tidak melepaskan pandangannya dari wajah Satria yang terlihat sangat khawatir dengan keadaannya.
Tampan, mapan, dan berhati lembut. Lelaki sesempurna itu, sungguh, Jia siap melakukan apa saja untuk bisa mendapatkan hatinya.
"Aku sangat bersyukur karena putriku memilih tempat ini untuk bahan riset tulisannya."
Laura menurunkan cangkir berisi cokelat hangat, dan meletakkannya di atas meja. Pandangannya tak lepas dari dua makhluk di ruang kerja Satria, yang hanya disekat dengan kaca transparan.
"Satria itu, jauh lebih setia dari anjing-anjing. Sekalinya kamu memberikan tugas, maka dia akan melakukannya dengan mempertaruhkan nyawa."
Prasetya tertawa pongah. Masih segar melekat dalam ingatan pria itu, bagaimana Satria membahayakan nyawanya sendiri, untuk melindungi Jayu, hanya karena Prasetya yang memintanya.
"Pras, sepertinya kamu harus mengoreksi kata-katamu. Bukankah dia juga putramu?"
Prasetya menyunggingkan senyum separo. Pandangannya masih terfokus pada objek yang sama, selanjutnya dia tertawa mengejek.
"Untuk menakhlukkan srigala, kadang kita harus merelakan sebelah tangan kita untuk menjadi umpan. Dan untuk memperbudak seseorang, maka buatlah dia menghamba pada hutang budi. Dengan begitu kamu akan bisa mengendalikannya."
"Astaga, Pras. Aku sama sekali tidak menyangka kamu selicik itu."
Prasetya kembali tertawa, kali ini diikuti Laura yang kembali menyesap cokelat hangatnya.
"Tapi, apa kamu tidak bisa melihatnya?"
"Melihatnya? Melihat apa?"
"Putrimu, dia tergila-gila pada putraku itu." Prasetya menekankan kata putra pada kalimatnya. Seolah menegaskan, di mana posisi Satria berada.
Laura kembali mengalihkan pandangannya pada Jia dan Satria. Di dalam sana, Jia masih menatap wajah Satria, dengan bibir yang tak henti menyunggingkan senyum.
"Aku tidak keberatan kalau dia menaruh hati pada peliharaanmu. Apa pun yang dia inginkan, pasti kupenuhi." Laura kembali fokus pada Prasetya. "Lagi pula, ini akan menguntungkan kalau kita bisa menjadi besan. Bagaimana pun, Satria adalah putramu di mata dunia."
"Aku keberatan."
Prasetya meraih tangan Laura lalu menciumnya. Ciumannya naik ke lengan, dan wajahnya berhenti tepat di depan wajah Laura. Ibu jarinya menyapu bibir berpoles lipstik merah itu dengan lembut.
"Kita bisa membangun bisnis, tanpa melibatkan mereka. Investasiku akan terus mengucur deras, meski kita bukan besan. Kamu tahu persis akan hal itu, Laura," ucap Prasetya dengan tatapan mata yang berusaha mengunci pergerakan lawan bicaranya. Lelaki tua itu berusaha mencium Laura, tapi wanita tersebut menghindar.
"Stop it, Pras! Not here."
Laura menempelkan jari telunjuknya di bibir Prasetya, kemudian mendorongnya perlahan agar lelaki itu menjauh. Pandangannya kembali pada Jia yang masih sibuk mengangumi wajah Satria dalam diam.
Lagi-lagi Prasetya tersenyum sisnis.
"Kenapa? Apa kamu berpikir ini akan melukai perasaan putrimu? Ayolah, kamu tahu persis, di dalam tubuh Satria, tidak mengalir darahku. Putrimu tidak akan terluka meski kita bersama."
"Aku tahu itu, tapi kita tidak akan bersama sampai proyekku berhasil dan putriku bisa disembuhkan."
Prasetya meraih gelas minumannya. Lalu menghabiskan isinya dalam satu tenggakkan. Terlihat jelas dalam raut wajah pria itu, bahwa dirinya sedang kesal.
***
"Kak ..." Jia meraih tangan Satria yang masih sibuk mengompres lukanya. "Sudah, cukup. Aku sudah tidak apa-apa," ucapnya mencoba meyakinkan dengan sebuah senyum.
"Kamu yakin?"
Jia mengangguk. Dalam hatinya, dia sangat bahagia bisa berada di dekat Satria, terlebih diperhatikan seperti sekarang. Dia rela terluka setiap saat, asal mendapat perhatian pria itu. Tetapi, di satu sisi, dirinya benci dikasihani dan diperlakukan seperti pesakitan yang sebentar lagi harus melangkah menjuju kematian. Jia ingin mendapatkan cintanya, bukan karena dirinya lemah, tapi karena layak medapat cinta.
"Anak itu, sepertinya dia datang untuk bekerja di tempat ini. Lebih baik Kakak menemuinya sekarang."
Jia mengingatkan tentang kedatangan Senna. Dan Satria baru ingat kalau tadi dia sudah menghubungi seseorang yang melamar kerja di kafenya. Di luar, Senna masih duduk di salah satu bangku pengunjung. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, seperti sedang mencemaskan sesuatu. Sesekali dia terlihat melongok ke arah ruang kerja Satria.
"Aku hampir lupa."
Jia kembali memamerkan senyum.
"Pergilah. Aku akan mengompres ini sendiri."
Setelah berpamitan, Satria keluar dan menemui Senna. Cowok itu segera berdiri begitu melihat calon bosnya berjalan memdekat.
"Mas," sapanya mencoba memaksakan senyum. Sejujurnya Senna gugup bukan karena tidak percaya diri, dia punya stok menggunung kalau hanya tentang kepercayaan diri. Tetapi ini tentang kesalahan pertama yang tidak sengaja dilakukannya. Membuat Jia terluka. Melihat bagaimana Satria memperlakukan gadis itu, Senna ragu kalau pria yang tengah berdiri di hadapannya ini akan mau mempekerjakan dirinya.
"Duduklah."
Satria mempersilakan, sambil dirinya juga menarik kursi untuk duduk di depan Senna.
"Mas, saya benar-benar minta maaf atas kejadian tadi. Saya ...." Senna mengatakannya dengan wajah memohon. Dia benar-benar tidak ingin kehilangan calon pekerjaannya itu.
Satria menoleh ke arah Jia. Gadis itu mengangguk, seolah mendengar apa yang barusan dikatakan Senna, dan memberikan kode agar Satria tidak mempermasalahkan hal itu.
"Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Dan seperti yang kamu lihat tadi, Jia berbeda dengan kita atau orang lain yang normal. Jadi lain kali, kuharap kamu lebih berhati-hati."
Mendengar jawaban Satria, Senna memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan menatap lawan bicaranya.
"Jadi, maksud Mas, saya diterima?"
Wajah Senna yang sebelumnya terlihat was-was, sekarang tersenyum semringah. Saat itu, dia melihat Farin di luar jendela mengangkat kedua tangan dan mengacungkan jempolnya ke arah Senna. Sialnya, tanpa sadar cowok itu membalas dengan senyuman. Sesuatu yang kemudian sangat disesalinya. Bisa besar kepala nanti hantu itu!
"Mulai besok kamu sudah bisa kerja, tapi ingat, sekali saja kamu melakukan kesalahan yang membahayakan gadis itu, maka aku tidak akan segan untuk memecatmu."
Senna melonjak bahagia dan menyalami Satria dengan penuh semangat. Dia bahkan memeluk pria itu, seolah keduanya sudah saling mengenal sebelumnya.
"Terima kasih. Terima kasih banyak untuk kesempatan ini. Saya janji, saya pasti akan bekerja dengan baik. Dan gadis itu, mulai sekarang aku pasti akan menjaganya juga."
Masih memeluk Satria, pandangan Senna tertuju ke arah Jia yang juga sedang tersenyum ke arahnya. Sebelum sebuah bayangan muncul tepat di depan gadis itu, mengerlingkan mata dan tersenyum penuh kemenangan. Senyum yang justru mengubah raut wajah Senna. Membuat cowok itu memicingkan mata, dan mengangkat tangan, mengacungkan tinju ke arahnya.
Jia yang melihat hal itu, menoleh ke sana-kemari, mencoba mencari orang lain selain dirinya yang mungkin menjadi objek pandang Senna. Jelas dia tidak menemukan siapa pun, karena meski Farin berada di depannya, Jia tidak bisa melihat gadis itu. Dan hal tersebut membuat Jia akhirnya menunjuk dirinya sendiri, menatap penuh tanya pada arah Senna.
Astaga! Hantu itu!
Senna segera menggeleng dan memasang wajah memohon, yang membuat Farin tertawa puas di tempatnya.
"Bisa tolong dilepaskan?"
Satria memperingatkan, dan Senna segera mengambil langkah mundur.
"Sor ... Maksudku, maaf. Saya terlalu bahagia karena Mas memberikan kesempatan ini setelah kejadian tadi. Maaf."
"Tidak apa. Kamu boleh pulang sekarang, dan besok mulai bekerja jam delapan pagi sudah di sini."
"Baik, Mas. Tapi sebelumnya, boleh saya lihat-lihat ke belakang dulu?"
"Silakan. Mengenai tugasmu, besok Leo dan Aina yang akan menjelaskan."
"Baik. Sekali lagi, terima kasih banyak untuk kesempatan ini."
***
"Na?"
Leo berjalan mengendap-endap ke arah dapur karena mendengar suara air yang mengucur. Sepertinya Aina lupa mematikan kran saat mencuci piring atau sayuran. Gadis itu memang pelupa akut.
"Na? Kamu di dalam?" Dan tebakan Leo sangat tepat. Kran di bak pencuci piring tidak dimatikan.
"Anak itu. Selalu saja begini."
Leo berjalan ke arah kran dan mematikannya. Tetapi baru saja membalik tubuh dan hendak meninggalkan tempat itu, kran kembali menyala.
Leo mengernyitkan kening. Mendadak bulu kuduknya terasa berdiri semua.
"Na, please, kamu jangan bercanda."
Leo kembali dan mematikan kran itu lagi. Kali ini benar-benar mati dan tidak menyala lagi, tapi selanjutnya justru kompor yang menyala dengan sendirinya.
"Na, jangan bercanda deh. Aku tahu kompor ini bisa dinyalakan dengan saklar."
Leo memutar tombol yang menonjol di permukaan kompor, mematikan nyala api di atas tungku. Tidak ada yang menyahut sama sekali, sampai dia memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Belum sampai langkahnya ke depan pintu, ada sebuah tangan yang mencekal kakinya.
Kuku-kuku itu terlihat panjang dan hitam. Saat Leo menoleh, dia mendapati seorang perempuan dengan separuh wajah yang hancur, dan sebelah mata mengalirkan darah. Kulit tangan yang menyentuhnya pucat pasi, dan terasa dingin ketika kuku panjang itu seolah berusaha merobek kulit.
"Han ... Hantuuuuu! Tolooong!"
Terlambat, suara Leo hanya sampai tenggorokan. Wanita yang mencengkeram kakinya, seolah menyerap habis energi dari dalam dirinya, sampai dia tidak bisa merasakan apa-apa kecuali dingin yang semakin membuat tualngnya ngilu.
"Hei! Ada apa?"
Senna yang baru masuk ke dapur segera menghambur ke arah Leo. Dia hanya melihat sebuah bayangan hitam yang berkelebat ke arah jendela tanpa melihat seperti apa wujud aslinya.
"Apa mungkin, ini ulahnya?"
Yang ada di pikiran Senna kali ini adalah Farin. Meski baru bertemu beberapa saat lalu, Senna tahu persis kalau Farin adalah hantu yang usil. Tetapi kalau dia menakuti seorang seperti ini, itu tidak bisa dimaafkan.
Senna mengecek suhu tubuh Leo yang terasa semakin dingin, tapi saat menempelkan jarinya di dekat hidung, cowok itu masih bisa merasakan embusan napas pelayan kafe tersebut.
"Syukurlah dia masih hidup," gumamnya lirih, kemudian berusaha mencari bantuan.
'Hantu itu. Isengnya kali ini sudah keterlaluan!'
LovRegards,
MandisParawansa