Kegundahan

1432 Kata
Di ruangan tamu yang luas dan panjang itu, terdapat beberapa kursi dan satu meja. Dua di antara kursi- kursi itu sedang diduduki kini, oleh dua orang yang paling terkemuka, paling tersohor, dan paling berpengaruh di Sepinang. Mereka menyesap minuman di depannya, lalu menegakkan punggung dengan rasa sopan dan kerendah hatian. “Ah, Syaikh, akhirnya dapatlah saya bersua lagi dengan Syaikh setelah masa- masa yang sibuk kini,” kata Baginda Raja Syamsir Alam. “Setelah perjumpaan kita bersama dengan pemuda Hamid Yusuf, saya tak dapat lagi menemukan masa yang cocok untuk perbincangan kita. Syaikh pun ada banyak benda yang akan diurus sebagaimana saya. Oleh sebab itu, tak terkira senang hati saya dapat berjumpa Syaikh dalam masa luang kita yang jarang- jarang ini.” Syaikh mengangguk dengan senyumnya yang biasa. “Apabila saya dapat mengirim surat kedatangan saya lebih cepat, Tuanku, tentu akan lebih baik bila saya saja yang datang ke istana daripada Tuanku yang bersusah- susah mendatangi gubuk kecil saya ini.” Raja Syamsir tergelak. “Tiada mengapa, Syaikh. Tiada perlu untuk merasa bersalah. Saya lebih datang ke sini untuk membincangkan perkara yang akan saya sampaikan sekarang daripada membincangkannya di istana. Segala hal di istana tak dapat kita rahasiakan benar, sebab ada saja telinga- telinga yang akan mencuri dengar walau dinding istana tiga lapis lebih tebal. Di sini, saya merasa semua masalah dapat saya katakan dengan terbuka.” Syaikh menghaturkan terima kasihnya. “Nah,” sambung Raja Syamsir, “Apa yang hendak saya omongkan ini terkait hubungan anak saya, Putri Syahidah, dengan putra Asyfan Nazhim Hamid Yusuf. Agaknya ada sedikit hal yang menyusahkan saya, Syaikh.” “Apatah itu gerangan?” Baginda Syamsir tampak bimbang hendak memulai darimana. “Apakah… Syaikh masih ingat dengan wajah pemuda Hamid Yusuf ini tatkala ia datang menemui Syaikh dan keluarga saya?” “Ya, saya masih ingat tentunya.” “Apa Syaikh masih mengingat benar perawakannya, dan tindak- tanduknya? Dan bagaimana pendapat Syaikh tentang keseluruhan diri pemuda ini?” Syaikh memandang raut muka Baginda Syamsir sekejap, seakan memahami kerisauan hati beliau. “Saya suka benar dengan wajah dan tabiatnya, Tuanku. Dan dari keseluruhan, dapatlah saya katakan pendapat saya bahwa ia adalah pemuda yang baik.” Mata Baginda membesar senang. “Nah, kita berpendapat sama kalau begitu! Saya pun sangat menyenangi watak pemuda Hamid Yusuf ini, Syaikh, dan ketika ada waktunya kita tiada memperhatikan dia benar, dia tetaplah menjaga sikap.” “Benar sekali,” dukung Syaikh El- Beheira. “Lalu jika begitu, soalan apakah yang telah merisaukan hati Tuanku Baginda?” Raja Syamsir mengerang sedikit, lalu bersandar pada kursinya. “Anak saya, Yazid, telah mengingatkan saya bahwa tiada baik untuk mempersoalkan masalah ini, sebab masalah ini menurutnya tiada bersangkut- paut dengan diri Hamid Yusuf. Dan sebaliknya, Badruddin menganggap ini bukanlah masalah sepele. Ada keinginan di hati saya untuk mengabaikan perkara ini sebagaimana yang dikatakan Yazid, namun tetaplah keresahan sebagaikan Badruddin ada juga terasa di hati saya,” kata Raja Syamsir sebelum memulai. “Perlulah Syaikh mengetahui, bahwa saya ini orang kuno lama, yang sangat mempercayai sebab- akibat hubungan pertalian darah dan apa yang akan didapat di masa depan. Namun menurut hemat saya, di zaman sekarang pun, kepercayaan kuno saya itu ada juga berpengaruh sedikit- sedikit.” Syaikh El- Beheira memandang Raja Syamsir dengan tenang. “Saya mendengarkan Tuanku,” katanya sebagai isyarat untuk meneruskan. Dan mulailah Baginda Syamsir mengatakan apa yang telah meresahkannya. “Ini perihal nasab darah, Syaikh,” katanya dengan kerut cemas di kening. “Saya dapat melihat ketulusan dan kebaikan dalam diri Hamid Yusuf yang telah mencintai anak saya sepenuh hati. Ia pun pemuda yang saya senangkan –baik sifat ataupun wajahnya. Begitupula dengan Syahidah. Apabila Syaikh dapat mengingat di hari terakhir gelanggang negeri, Syaikh bersama putriku datang untuk memastikan tentang acara pertemuan esoknya dengan Yusuf. Saya pun dapat melihat binar- binar cahaya dalam mata putriku –bisa kulihat isi hatinya, bahwa ada perasaan yang telah tumbuh pada Yusuf, walaupun raut dan pembawaan putriku tetap tenang sebagai biasa. Ah, tak terkirakan sudah terhubungnya perasaan kedua anak muda itu.” “Akan tetapi, Syaikh, saya masih menyangsikan tentang akar keturunan Hamid Yusuf ini. Memang benar, Ayahandanya adalah seorang raja mashur Seperca yang tiada tanding kebijaksanaannya, dan saya pun menjalin persahabatan dengannya sebab Datuk kami –kakek kami –juga sudah berkawan erat sejak dahulu. Ditambah pula kedua Ayahanda kami berperang bersama melawan Sri Diraja Pulau besar hingga kerajaan Sepinang dan Seperca dapat lepas dari belenggu kuasa raja lalim itu. Akan tetapi…” “Akan tetapi? Apakah Tuanku yang sangsikan itu dari pihak ibu pemuda itu?” tanya Syaikh El- Beheira. Raja mengangguk. “Saya baru mengetahui ibunya seorang selir saat berjumpa dengan Yusuf itulah. Memang kita tak bisa menilai watak seseorang hanya dari nasab orangtuanya sahaja, sebab tabiat orang juga ditentukan sebab lain, seperti didikan dan lingkungan luar. Tapi saya tak bisa menampik perasaan saya bahwa sebesar apapun didikan dan lingkungan luar berpengaruh padanya, namun sifat- sifat yang diturunkan melalui pertalian darah tetap akan diturunkan pada anak.” Syaikh El- Beheira mengelus janggutnya, berpikir. “Saya juga bersetuju dengan perkataan Tuanku Baginda. Memang benar, bahwa ada yang diturunkan, ada yang didapat dari luar. Seperti Syahidah, misal,” ujar beliau. “Dia anak yang berpembawaan tenang, pendiam dan pemalu sekali. Persis dengan ibunya, istri dari Tuanku yang tercinta. Namun ada pula kulihat sifat keberanian yang saya rasa diwariskan dari Tuanku Baginda. Keberanian yang elok dan terpuji.” Walau berusaha untuk tenang, namun ada juga rasa bangga membayang di wajah di Raja. Ia pun ikut bercakap, “Dan kepandaian dan kebijaksanaan tentulah karena pembelajarannya, serta semangatnya untuk mengetahui segala hal.” Syaikh ikut membenarkan. “Syaikh, aku tak ingin membeda- bedakan satu orang manapun. Tapi perihal ibunya Hamid Yusuf ini, tak sedikitpun aku mengetahui keturunan dan pembawaan keluarganya. Dia tentulah seorang selir yang baik, sebab Asyfan Nazhim telah memilihnya dan memiliki keturunan darinya. Tapi ada sifat- sifat yang tak diketahui –yang tak tersingkap –sebab kurangnya pengetahuan kita mengenai pihak ibunya ini. Dan apakah itu baik atau buruk, lebih banyak yang baik atau lebih banyak yang buruknya, itu—“  Raja menghela napas. “Saya tak bisa menyangkal bahwa kedudukan berarti benar bagi saya.” Syaikh mengangguk paham. “Saya mengerti semua kegundahan Tuanku Baginda. Kita memang dapat mengatakan ada sifat ibunya yang akan diwarisi pemuda ini, tapi kita tak tahu bagaimana hal ini akan mewuju pada Yusuf. Tuanku, bilapun kita mengetahui benar ibu Yusuf, atau bila umpamakan ibunya seorang bangsawan anak Raja pula, misalnya, tetap jua kita tak bisa menjami watak- watak baiklah yang akan tercermin pada dirinya.” “Dan bila itu berlaku pada Hamid Yusuf, ini pun berlaku pula pada semua orang. Kita mewarisi sifat orangtua kita, namun ada yang baik dan buruk yang telah kita warisi. Ada pula baik dan buruk yang kita dapat dari lingkungan. Janganlah permasalahan ibunya yang seorang selir menjadi tumpuan penilaian Tuanku tentang diri Yusuf. Sebab kita manusia, memiliki kelebihan dan kekurangan. Patutnya kita melihat kedua hal itu sebagai bagian diri Yusuf saja, bukannya meliaht kekurangan Yusuf sebab keberadaan ibunya dalam kerajaan, atau sebaliknya –menganggap kekurangannya sebab dialirkan dari darah Ayahandanya.” Syaikh El- Beheira berhenti beberapa saat, membiarkan kata- katanya yang panjang itu dapat termakan oleh Baginda Raja. Kemudian dalam waktu sejurus panjang pun, ia melanjutkan, “Saya tidak bermaksud lancang, Tuanku, tapi saya, keluarga saya, Tuanku dan keluarga Tuanku juga memiliki kelebihan serta kekurangan pula, bukan? Ambillah lagi misalnya Syahidah. Saya sudah mengenalnya sejak kecil lagi, dan ada pula masa saya merawat dan mengasuhnya. Saya dapat terangkan semua kelebihan Syahidah sebagai yang saya sebut tadi –pemalu, tenang, dan pemberani. Namun saya pun dapat menerangkan pada Tuanku apa yang menjadi kekurangannya.” “Saya dapat melihat itu,” ujar Baginda Raja dengan pandangan jauh ke luar. “Syahidah putriku mudah sekali mempercayai orang lain, serta dia hanya melihat kebaikan orang dan mudah mengabaikan kesalahannya.” “Betul. Sebenarnya itu adalah kebaikan dalam diri Syahidah, namun ia berubah menjadi kelemahan tatkala Syahidah tak pandai- pandai menggunakan sifat itu dalam hidupnya. Nah, bila demikian, akankah Tuanku membiarkan Syahidah sebagai begitu?” “Tentu tidak,” sanggah Raja. “Aku memberi pengajaran padanya sejak kecil, agar dia belajar tentang sekitar dan mawas akan dirinya.” “Itulah dia,” kata Syaikh El- Beheira. “Bila ini memang dilangsungkan sesuai kehendak Tuhan Allah, suatu saat Tuanku Baginda akan menjalin hubungan keluarga dengan Hamid Yusuf beserta keluarganya pula. Hamid Yusuf akan menjadi bagian dari Sepinang, dan Syahidah akan menjadi bagian dari Seperca. Tugas kitalah, orang yang tua- tua ini, untuk menajamkan sifat- sifat baik orang muda dan mengurangkan akibat dari kelemahan diri mereka. Baik itu pada Yusuf, ataupun Syahidah.”   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN