Hari Itu

1067 Kata
Musim kering dan hujan memanglah tak menentu dalam beberapa waktu terakhir. Angin bertiup kadang dari daratan besar, kadang dari laut sehingga Pulau Besar dan sekitarannya mendapat musim kering yang kadang disertai hujan deras. Siangnya pun terik menyengat ubun- ubun, dan baru terasa mendingin tatkala menjelang Ashar. Siang itu di Seperca, tiada berbeda dengan hari- hari nan lalu, sama panasnya sebagai biasa. Orang yang bekerja mencari nafkah –entah itu berdagang atau berladang, mulai beristirahat menenangkan badan yang lelah, sebab sudah dipaksakan bergerak sebelum fajar terbit lagi. Namun seletih- letihnya orang, ada jua yang tengah berdebar tiada mampu mengistirahatkan dirinya. Memejamkan matanya pun semalam ia tak sanggup, dan penatnya selepas perembukan di istana kerajaan itu tiada terasa baginya, sebab hati dan fikirnya tertuju pada satu hal saja yang akan ia hadapi di seberang lautan sana. Jantungnya tiada tenang, serta kaki dan tangannya dingin oleh keringat. Ia hanya duduk terdiam, walaupun ia sudah bersama dengan kawan- kawannya dalam pencalang itu. Sedang kawan- kawannya asyik menggoda pemuda yang gugup itu, si pemuda tiada tergugah untuk membalas sahabatnya, saking risaunya perasaan ia. “Janganlah engkau berisau hati benar, Yusuf,” hibur salah seorang dari mereka. “Aku yakin, perjumpaan kau dengan sang syaikh, tuanku pemangku adat dan keluarga Tuanku Putri tiadalah sesusah yang engkau bayangkan.” Hamid Yusuf menyunggingkan senyum tipisnya. “Engkau jangan khawatir. Aku dan yang lain akan mengantarmu sampai depan gerbang istana saja, bila kau merasa sedemikian gugupnya. Atau kau ingin kami bersamamu hingga ke dalam?” “Tiada mengapa. Aku dapat menghadap sendiri,” sahut Yusuf. “Tapi… alangkah lebih baik bagiku bila Zaid bisa menemankanku hingga ke dalam istana nanti. Tentu saat berbicara dengan keluarga Tuan Putri, aku akan datang sendiri.” Yusuf menoleh pada Zaid yang berada di antara kawan- kawannya itu, “Aku perlu bantuanmu.” “Tentu, kawan. Tentu,” jawab Zaid menguatkan. “Nah, sudah habiskah urusan kita ini perihal Yusuf?” tanya Saud tiba- tiba berbicara. Ia tampak berdiri di bibir kapal pencalang itu sendiri, sementara yang lainnya berkerumun duduk di dekat Yusuf. Ia juga tiada banyak tertawa. “Kukira kita datang ke sini bukan saja mengantar Hamid Yusuf, tapi juga datang ke Pasar Induk sebagai biasa? Kurasa urusan Yusuf tiadalah pelik sekali, kenapa kalian semua ikut bersusah- susah benar?” Kawan- kawan yang lain bingung mendengar perkataan Saud, namun Yusuf sudah lebih dulu menjawab. “Saud benar, kalian tiada perlu berpayah- payah menguatkanku begini. Aku memanglah risau, tapi kalian sendiri datang ke Sepinang untuk bersenang- senang. Janganlah membuat niat kalian terhalang karena urusanku. Nah, aku juga sudah tidak apa- apa lagi. Kuhaturkan terima kasih banyak telah membantuku.” Teman- teman Yusuf pun menepuk- nepuk punggung pemuda itu, dan mereka kemudian terus bergabung dengan Saud. Senang benar mereka membicarakan kemana saja mereka akan berkeliling selama di Sepinang, sebab gelak tawa mereka terdengar tiada kalah dari hempas ombak- ombak laut di sekeliling pencalang itu. Sedang di sudut lain, tinggallah Yusuf dan Zaid saja, merenung- renung ke laut lepas. Yusuf ada sekali menatap laut dalam di bawahnya. Buih- buih di sisi pencalang berhamburan ke laut yang terlebih biru, namun kosong saja pandangan Yusuf. Tiada ia dapat melihat buih itu, sebab yang terpantul di sana hanyalah bayang Syahidah saja baginya. Walau sudah ia berusaha mengenyahkan bayang- bayang itu, namun tetap juga bayang Syahidah datang menghampiri tatkala hatinya kembali cemas dengan perbincangan yang akan datang itu. Air mukanya pun berubah- ubah karenanya. Sempat ia tersenyum sendiri, lalu wajahnya kembali mengetat dan mengerut, lalu tersenyum jua akhirnya. Zaid yang berdiri di sampingnya, hanya mengamat- amati anak Raja Asyfan itu. “Zaid,” panggilnya tiba- tiba, “Ada aku pikirkan semalam tentang apa yang kau sampaikan padaku kemarin itu. Bahwa aku semestinya meluruskan niat.” Zaid mengangguk, mendengarkan Yusuf yang kemudian meneruskan. “Engkau memang benar, Zaid. Aku salah maksud selama ini. Aku juga berpikir, bahwa semestinya ilmu yang dituntut dengan niat yang salah –apapun jenisnya, dan bisa jadi dengan niat berbuat makar umpamanya –tentu tiada akan memberi berkah juga pada si pencari ilmu.” “Betul sekali.” “Dan aku harus lekas- lekas memperbaiki sebelum aku benar- benar jauh menyimpang.” “Aku bersetuju denganmu.” “Tapi, Zaid, aku tetap saja tiada mampu menghilangkan bayang- bayang Syahidah dalam pikiranku. Dimana- mana, terus saja aku memikirkan dia. Bahkan saat aku menunduk memandang geladak ini pula, tetap saja Syahidah yang terbayang olehku.” Zaid hanya dapat tergelak mendengar keluh kesah Yusuf. “Itu bukanlah jadi soalan. Tiada sebab yang lain perihal itu muncul, Yusuf, melainkan karena rasa kasih dan sayangmu sudah tumbuh dengan amat cepat untuk Tuan Putri.” *** Begitu pencalang mereka menepi, Yusuf dan Zaid berpisah jalan dengan teman mereka yang lain. Keduanya berbelok menuju istana Sepinang. Usai menyampaikan maksud tujuan mereka ke sana, pengawal gerbang muka membolehkan keduanya masuk dan menunggu beberapa saat. Selama di situ, Yusuf tiada mampu berbicara apapun dengan Zaid. Ia sudah mencapai puncak kecemasan. Tiadalah keduanya mengetahui, bahwasanya ada dua insan lain yang berdiri mengamati mereka. Satu dari mereka menyembunyikan diri di sebalik pembatas balai bendul –tempat Yusuf dan Zaid kini berdiri –sedang kawannya berdiri agak ke ruang makan. Ia melihat kedatangan tamu itu dengan sembunyi- sembunyi, namun tiada dapat ia berlama- lama di situ. Sebab dalam sekali lihat saja pada pemuda berkulit kecoklatan sawo matang itu, jantungnya sudah berdebar keras. Daráh seakan naik ke wajahnya, dan dengan lekas ia berbalik ke arah kawannya yang menunggu. “Mari, Nilam. Aku tak sanggup berlama- lama di sini. Lebih baik aku menunggu hasil pembicaraan dari Kakanda Yazid saja nanti.” “Tapi saya kira Engku ingin berbincang dengan Tuanku Hamid Yusuf sekali saja? Tiadakah Engku ingin menunggu hingga selesai nanti dan bertemu dengan beliau?” Putri Syahidah menggeleng. “Tidak, Nilam. Memang ada aku terpikir untuk berbuat seperti itu. Namun ternyata, sekarang saja aku sudah merasa begitu malu karena diam- diam melihatnya dari kejauhan semacam ini,” kata gadis cantik itu. Wajahnya menunduk. Rasa bersalah, rindu, gembira, dan malu bercampur- aduk dalam dirinya sampai- sampai sulit baginya untuk melukiskan. Ia meraih tangan Nilam dan kembali ke kamar bilik. Langkah- langkah kaki mereka belum lagi jauh, ketika penjaga di balai utama istana mendekat ke arah Yusuf dan Zaid. “Baginda Raja beserta putra- putranya, Tuanku Abdul Jalil pemangku adat tertua Sepinang dan Syaikh El- Beheira menunggu Tuanku Hamid Yusuf di balai utama,” tuturnya sambil memberi penghormatan. Yusuf bangkit dari duduk, mengeraskan tekadnya lalu melangkah mengikuti penjaga tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN