Adalah Dia

1619 Kata
Sehari-dua usai perembukan Baginda Syamsir Alam Syah dengan Baginda Asyfan Nazhim, aturan yang mereka sepakati bersama itu pun dilaksanakanlah di Seperca. Mulai saat itu, biaya masuk barang- barang khusus milik saudagar dari Sepinang dikurangi dari yang sebelumnya. Kabar ini tersiar tak hanya di Seperca, akan tetapi juga Sepinang. Dan tak kurang kabar itu juga menggelisahkan Zafan Nazhim, adik Asyfan sekaligus paman Hamid Yusuf. Ada apa ini, ia bertanya- tanya dalam hati seraya beristirahat di ruang duduk. Zafan ingat benar saat kakandanya Asyfan mengumpulkan semua ahli pemerintahan kerajaan Seperca setelah ia bertemu dengan Syamsir Alam di petang hari sebelumnya. Zafan sudah tahu mengenai penambahan pajak pada negeri Seperca oleh Sri Raja Pulau Besar –sebab setakat perbuatannyalah hal ini terjadi. Namun kabar tentang Sepinang yang juga mendapat surat tambahan pajak serta keputusan yang Asyfan ambil untuk mengurangkan biaya masuk barang dagang Sepinang tiada sama sekali ia duga. Benar- benar perkara ini memusingkannya. Zafan mengisi daun sirih dengan gambir, sadah, dan pinang. Ia lipat- lipat daun sirih itu sebagaimana keningnya yang kini juga berlipat- lipat. Apa sebenarnya yang Sri Raja Pulau Besar itu inginkan, batin Zafan saat memasukkan sirih itu ke mulut. Permintaannya agar Seperca dikenai pajak memang dikabulkan, tapi perbuatan Sri Raja itu yang mengenakan pajak pula pada Sepinang sama sekali belum masuk di akal kepalanya. Asyfan memang orang tegas, tapi ia juga lunak dan pemurah hati. Sudah terang Asyfan akan mengambil tindak pengurangan biaya untuk Sepinang, bila negeri jiran mereka itu dikenai pajak lebih besar. Tiadakah Sri Raja itu menduganya? Entahlah, tiada Zafan tahu apakah ini disebabkan kedunguan yang sesungguhnya atau memang itu benar siasat licik dari Sri Raja sebagaimana perkataan kakaknya Asyfan itu. Seraya mengunyah- menginang sirih, Zafan terus memikirkan akibat dari aturan baru itu. Besar kemungkinan banyak menteri Seperca yang tidak bersetuju dengan aturan itu, walau mereka tak mampu menghentikan putusan Asyfan. Tapi ada dugaannya bahwa nanti pemerintahan Asyfan akan jatuh, apabila para menteri ini bersekongkol ingin menentang putusan itu. Meski memang itulah yang ia inginkan selama ini, tapi apalah gunanya bagi Zafan? Jatuhnya singgasana Asyfan oleh orang penting istana sebagaikan menteri- menteri itu akan berakibat buruk jua pada Zafan, sebab mereka masih satu keluarga. Kebencian yang mereka golakkan dalam d**a tentu akan sama, sebab mereka pasti berpikir satu talian darah tiada akan ubah berbeda pemerintahannya. Orang- orang ini tentu akan memilih pemimpin lain –mengusir keluarga Asyfan dari istana, termasuk dia. Sebab keberadaannya dalam istana juga akan dianggap bahaya. Tidak, ia tiada bisa membiarkan hal ini terjadi. Bila Asyfan kakaknya itu telah mengambil keputusan semacam ini, ia harus mencegah sedapat mungkin agar tiada muncul pemberontakan para menteri. Ia perlu memberi sedikit tekanan untuk orang- orang ini agar mematuhi perintah Asyfan hingga tiba masanya semua dapat menerima putusan itu suatu hari nanti. Tapi tentu ia tidak mampu mengandalkan cara ini lagi untuk menjatuhkan Asyfan. Mestilah harus ada cara lain agar ia dapat merebut segala yang dimiliki Asyfan kini. Zafan tak henti berpikir, meski ia telah berdiri dari ruang duduk. Ia bersihkan mulutnya dan ia buang sepah sirih memerah itu –tepat ketika ia melihat kemenakannya, Hamid Yusuf, tampak berdiri ragu- ragu di kamar istirahat Baginda. “Apa hal gerangan yang kau lakukan di sini, Hamid Yusuf anakku?” tanya Zafan tatkala mendekati pemuda yang letih berpeluh itu. Hamid Yusuf tengah letih usai berlatih beladiri, dan ia tak memperhatikan senyum kepura- puraan yang menyungging di bibir adik ayahnya itu. “Pamanda,” ujarnya seraya merundukkan kepala, “Ada… ada yang ingin saya tanyakan kepada Ayahanda, suatu hal yang penting. Akan tetapi, terasa surut hatiku, Pamanda, bila membayangkan apa yang hendak Ayahanda ucapkan nanti.” “Pasal apakah itu?” Hamid Yusuf masih terkunci bibirnya, tak mampu berkata- kata. Zafan pun tak ingin pula memaksakan, sebab ia tak ingin kemenakannya itu menjadi terlampau curiga dan menjauh. Bagaimanapun ia perlu juga kedekatan dengan Yusuf ini saat- saat nanti. “Baiklah, bila engkau tak ingin memberitahuku. Tapi ingatlah Yusuf. Engkau sudah dengan berani meminta agar Baginda memberikan engkau pelajaran tambahan untuk berbagai- bagai kemampuan. Bersilat, berpedang, berperang, berkuda, ilmu Islam, serta berbagai ilmu siasat dan kelautan. Engkau telah memintanya dahulu tanpa ragu, sebab engkau tahu itu penting dan berpengaruh untuk masa depanmu.” “Nah, jika hal yang hendak engkau sampaikan ini sama penting dan sama berpengaruhnya, apa yang mesti engkau takutkan? Engkau pun tiada perlu ragu dengan jawaban Ayahandamu, sebab engkau lebih tahu tentang kebijaksanaan beliau. Selama engkau tak melanggar adat dan agama, Yusuf, Pamanda yakin Baginda akan memberi jawaban dengan baik. Dan…” tambah Zafan menaikkan alisnya sedikit, “Bila engkau memang perlu penguat langkah, Pamanda akan dengan senang hati menemankan engkau menemui Baginda. Boleh jadi nanti aku bisa memberi sedikit pemikiranku bila hal yang kau sampaikan itu memang baik dan perlu disetujui Baginda.” Setelah mendengar perkataan itu, mulai lapanglah dadá Hamid Yusuf. Ia mengiyakan permintaan pamannya, dan keduanya pun masuk ke kamar istirahat raja. Asyfan dan Zafan saling bertukar kabar dan berbincang sedikit, sebelum Zafan memberi masa bagi Yusuf untuk mulai berbicara. Tangan Yusuf mulai berkeringat dingin, tapi ia tak ingin mundur sekarang. Ia memang sangat menginginkan Syahidah sebagai permaisuri yang mendampinginya nanti, dan bayang- bayang Syahidah yang malu- malu saat ia tolong di dermaga kapal dulu sekali terus saja menghantui kepalanya. Tidak, ia tidak akan menahan perasaannya lebih lama. “Ayahanda,” Hamid Yusuf memulai, “Maksud kedatanganku ditemankan Pamanda tiada lain adalah ingin menyampaikan suatu hal. Aku sudah memikirkan ini masak- masak, dan hatiku pun sudah begitu dalam terkait dalam persoalan ini.” Asyfan mendengarkan anaknya dengan seksama, sedang Yusuf menelan ludah sebelum membuka katanya lagi. “Aku ingin melamar seorang gadis sebagai bakal pendamping hidupku, Ayah.” Diam sebentar, tapi bukanlah itu artinya Asyfan akan terkejut. Ia memandangi satu- satunya anak dan pewarisnya dengan wajah senang, sebab ia sendiri sudah lama memperhatikan Yusuf. Anak yang dulu ia timang telah menjadi pemuda yang suka bertualang kesana- kemari, ia tahu benar itu. Namun dalam beberapa waktu ini, pemuda petualang itu tidaklah lagi suka bermain menghabiskan waktunya, namun tampak berusaha menjaga wibawa dan ketenangannya. Lebih pula saat Yusuf minta izin untuk belajar banyak dari Tuan Guru. Tentu, tiada asal musabab yang dapat Baginda pikirkan kecuali bahwa ada seseorang yang lain yang telah membuatnya ingin menjadi pemuda yang baik. Seorang gadis yang telah memaut hatinya. Umur putranya itu pun telah patut, dan rautnya pun jauh lebih dewasa. “Alhamdulillah,” Baginda mengucap syukur. “Ayah senang dengan keputusan engkau ini, Nak. Pernikahan adalah sunah Rasul kita, dan ia pula adalah ibadah terpanjang dalam hidup. Akan tetapi, tiadalah kita bisa berkawin begitu saja tanpa tahu benar ilmu sebelum menikah. Ilmu untuk membina bahtera rumah tangga. Ayah rasa engkau sudah mengira itu sebelumnya?” “Ya, Ayahanda,” sahut Yusuf. “Aku sudah mengira hal itu, dan aku telah mulai meminta pada Tuan Guru untuk mengajariku perihal apa- apa saja yang mesti dipersiapkan sebelum pernikahan, serta bimbingan Islam yang tepat tentangnya.” “Nah, Ada baiknya juga engkau belajar dari Tuanku Imam kita di masjid. Dan karena Tuan Guru telah berbicara padamu perkara itu, mesti engkau ingat- ingat bahwa pelaksanaannya tiada semudah bercakap. Engkau nanti akan membentuk sebuah dunia kecilmu, dimana engkau akan menjadi pemimpinnya. Bukanlah sama ia dengan memimpin kerajaan sebagaimana Ayahanda sekarang, sebab engkau juga perlu mengajar- tunjukkan istrimu nanti, dan saling mengerti satu sama lain. Perkawinan bukan sekedar bercinta bersenang ria, namun sebagaikan kapal yang diombang- ambing ombak –ada banyak masalah yang akan dihadapi bersama nanti. Apa engkau siap, Yusuf?” Yusuf menghirup napasnya, meneguhkan tekadnya. “Insya Allah, siap, Ayahanda. Aku memang masih perlu tahu dan belajar banyak lagi, dan aku pun tahu benar dengan ketidaksabaranku dalam banyak hal. Tapi aku akan mempersiapkan apapun demi ini, Ayahanda, insya Allah.” “Insya Allah,” ujar Baginda menguatkan. Ia menepuk- nepuk bahu putranya dengan senang, tiada ia perhatikan air muka adiknya Zafan yang menegang saat Yusuf menyampaikan niatnya itu. Wajahnya pasi. Bila memang Hamid Yusuf ingin segera menikah, boleh jadi Asyfan kakaknya itu akan segera mewariskan pemerintahan pada Yusuf dalam masa ini, apalagi pula Baginda mengharapkan cucunya dari Hamid Yusuf. Jikalau begitu, tiadalah Zafan akan mampu mengecap tahta raja di Seperca barang sekejap matapun. Mengenggam bayangnya pun tak mungkin, sebab Seperca akan berada di tangan Yusuf dan keturunannya! Dengan cepat Zafan memperbaiki air mukanya lagi, seakan ia suka benar mendengar berita ini. “Selamat, anakku, Yusuf! Pamanda doakan yang terbaik untukmu dan bakal pendampingmu nanti! Tak ada yang lebih berbahagia dari seorang paman –seorang mamak –yang melihat kemenakannya lahir, tumbuh besar, dan membina rumah tangga!” Yusuf tersenyum dengan terima kasih tak terhingga pada Zafan –yang juga ikut menepuk pundaknya. Memerah muka pemuda itu, sebab gejolak dadanya untuk Syahidah makin terasa hingga ke tenggorok. Ada yang melayang- layang riang dalam hati Yusuf, seakan ia mendapat seluruh dunia ini beserta isinya! “Ayahanda,” kata Yusuf yang lagi menenangkan hati, “Insya Allah hari Selasa pekan depan, aku akan bertemu dengan Syaikh kepercayaan keluarganya, dan barang mungkin pula beserta keluarganya sekali. Aku mohon izin restu Ayahanda agar segalanya dilancarkan. Bila Syaikh beserta keluarganya setuju, bolehlah Ayahanda beserta Pamanda kuajak berjumpa keluarganya menyelesaikan hitung- timbangan.” “Doaku selalu bersamamu, Anakku,” kata Baginda Asyfan. “Begitu pula dengan doa Pamandamu.” “Betul sekali, Yusuf. Pamanda sudah merasa engkau ini sebagaikan putra paman sendiri, dan tentulah Pamanda mengharapkan hidup engkau, bahagia, sentosa selamat,” ujar Zafan membenarkan. “Nah, Paman tak sabar ingin mengetahui, siapakah perempuan yang begitu pandai membuat hatimu tertawan itu? Dari keluarga manakah ia?” Hamid Yusuf merapatkan bibirnya. Ingin ia menyimpan erat- erat nama itu untuk dirinya saja, tapi tak sabar pula ia ingin memberitahu ayah dan pamannya itu. Ia tatap Asyfan dan Zafan bergantian. “Tuanku Putri Syahidah, anak dari Baginda Syamsir Alam Syah kerajaan Sepinang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN