Sudahkah Engku Melihat Dermaga?

1494 Kata
Tungku penjerangan yang dipakai Dayang Nilam sudah mati apinya dari tadi, meninggalkan asap tipis yang mengepul perlahan dari dapur istana. Nilam sendiri sudah berjalan ke arah kamar Tuan Putri Syahidah, namun ia tak berjumpa dengan beliau. Sambil menating wadah- wadah berisi penganan itu, ia berkeliling ke rusuk- rusuk istana dan menemukan Syahidah tengah asyik merawat bunga- bunga tepat di samping bilik tidurnya. “Di sinilah Engku rupanya,” kata Nilam sambil menghembus napas lega. “Sudah berbalik- balik saya cari Engku, tapi tidak berjumpa juga. Penat saya mencari, saya kira ada sesuatu yang terjadi pada Engku.” Wajah Nilam tampak cemas sekilas. Putri Syahidah selesai mengumpulkan daun- daun kering dari bunga yang ada di depannya, lalu berdiri sambil tersenyum. “Ah, aku sudah menyusahkan engkau, Nilam. Maaf aku tak memberitahumu terlebih dulu.” Nilam menggeleng riang. “Tak apa, Engku, kenapa pula Engku yang meminta maaf pada saya?” “Tentu semestinya aku minta maaf. Sudah acap kuberitahu engkau, bukan, bahwa aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku sendiri? Kau bukan dayang sesiapa, tapi engkau sahabat Syahidah ini.” Mendengar itu, senang sekali rasa hati Dayang Nilam. Ia mengutuk- ngutuk dalam hati pernah merasa kesal pada Putri Syahidah. Ada luapan kegembiraan dalam dadanya yang tak mampu ia lukiskan, namun hanya ia kulum dalam senyum. “Oh, hampir saja saya terlupa, Engku. Ini,” kata Nilam sambil menunduk sedikit. Tangannya menjulurkan wadah- wadah penganan di atas tadah panjang. “Saya buatkan ini khusus untuk Engku.” Putri Syahidah terperangah sejenak, lalu sejurus kemudian tertawa. “Ihwal apakah ini, Nilam? Apa gerangan yang membuat engkau teringat untuk membuatkanku penganan khusus?” tanya Syahidah. Tapi wajahnya jelas- jelas menunjukkan rasa penghargaan pada Nilam. “Terima kasih banyak, Nilam. Tapi, sungguh, aku bertanya- tanya mengapa engkau teringat ingin membuatnya.” “Aaaa....” “Nah, duduklah dulu sebelum memikir,” kata Syahidah sambil melambaikan tangan kurus kuning langsatnya. Ia sendiri sudah duduk di teras panjang dekat bebungaan itu. Atas perintah Syahidah itu, Nilam pun patuh duduk. “Jadi Engku...,” kata Nilam lagi memulai. Syahidah mendengarkan dengan penuh perhatian, meski tangannya sudah mengambil sebuah deram- deram di dalam piring. “Sebenarnya Engku, saya hendak berucap terima kasih atas kebaikan hati Engku selama ini pada saya. Juga atas semua kasih sayang Engku telah menganggap saya sebagai anggota keluarga Engku sendiri.” Syahidah menggeleng- geleng. “Bukan aku yang terlampau baik hati, Nilam. Tapi gadis baik macam engkau ini, mana ada yang tak terpikat ingin berkawan dengannya? Kaulah punca teringin orang berkawan denganmu. Nah, ambillah satu makanan ini,” sodor Syahidah pada Nilam. “Mari kita makan sama- sama.” “Tapi Engku, saya...” “Ambillah,” kata Syahidah lagi. “Engkau yang membuatnya, jadi engkau tak perlu sungkan pula.” “Saya membuatkan ini khusus untuk Engku saja,” kata Nilam bersikeras. Syahidah mengangguk. “Baiklah,” katanya memutuskan. “Ini kau peruntukkan untukku semua, bukan? Maka, aku berhak memberikan semua yang sudah jadi milikku ini pada orang lain. Kau Nilam, kuperintahkan mengambil beberapa.” Kalau sudah begini, Dayang Nilam tidak bisa membantah. Memang benar jalan pikiran Engku Putri. Jika semuanya sudah diberikan untuk beliau, tentu beliau punya hak memberikan lagi pada orang lain. Dengan agak ragu, Nilam mengambil juga satu deram- deram yang telah ia buat, lalu menggigitnya sedikit. “Lezat, ya?” tanya Syahidah balik. “Engkau memang pintar memasak.” Muka Nilam memerah malu. “Sudah banyak sekali Engku memuji saya sepagian ini.” “Tak apa, kau memang patut mendapatkannya,” kata Syahidah menaikkan dagu sedikit, namun bibirnya tersenyum. “Dengan satu syarat, tentu.” Nilam menoleh pada Putri Syahidah yang duduk di sampingnya. “Apa itu Engku?” “Temankan aku ke dermaga ya, siang nanti?” Raut senang Nilam perlahan menghilang dalam bayang. Tapi suaranya tetap ia riang- riangkan. “Baik, Engku. Akankah Engku ingin melihat perahu lagi seperti kemarin- kemarin, kalau saya boleh bertanya?” Pipi kemerahan Syahidah yang bagai pauh dilayang itu ikut tersenyum bersama bibirnya. Wajahnya memancarkan cahaya yang turut- menurut cahaya matahari pagi itu. Matanya jauh menerawang “Aku tak ingin menepis pertanyaanmu itu, Nilam. Pun aku tak ingin berkilah,” sahut  Syahidah memulai. “Aku... hendak bermaksud bertemu lagi dengan Tuanku Hamid Yusuf.” Wajah Syahidah menunduk malu. “Aku tak mencarinya, Nilam. Tapi aku hanya sedikit berharap bisa bertemu lagi dengan Tuan itu. Ada banyak yang teringin aku sampaikan padanya. Jika siang nanti ia tak berlabuh pun, tidak masalah. Aku juga tak berharap banyak.” Dayang Nilam mengangguk- angguk. “Jika Engku memang ingin menyampaikan banyak hal, tentu Engku tak bisa menunda berlama- lama. Sebab manusia itu mudah sekali melupakan apa yang ada di kepala.” “Aku tidak akan bercakap banyak dengannya, Nilam. Tidak elok pula orang negeri melihat aku bercakap dan tertawa bersama lelaki begitu,” jelas Putri Syahidah. “Ditambah pula, Syeikh El Beheira sudah memberitahuku tentang itu. Jadi,” kata Syahidah seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam lipatan baju panjangnya, “Aku sudah menuliskan semua yang hendak aku katakan dalam surat ini.” Dayang Nilam paham. Matanya melihat sekilas pada gulungan perkamen dari serat kayu itu, lalu mengangguk paham. “Itukah sebabnya Engku berkata tadi, meski tak bertemu hari ini pun, tak apa?” “Benar,” tegas Syahidah. “Nah, temani aku ya, nanti? Kita dahului kedatangan kapal barang.” *** Belum puas rasa hati Tuanku Badruddin ketika semua usulannya kemarin hari itu ditolak mentah- mentah oleh Tuanku Yazid Alam, kakandanya. Ia bersikukuh juga hendak membantu sedikit- sedikit pada hari ini, di hari terakhir bongkar muat bahan pembuatan kapal. Kapal- kapal barang yang datang tidak seramai kemarin lagi, karena sekarang hanya mengangku sisanya yang belum selesai kemarin itu. Yazid beserta pengawas bawahannya juga belum datang mengawasi, sebab belum satu jua kapal yang datang. Hanya ada beberapa gerombol pemikul beban yang sudah berkumpul sesuai yang diperintahkan Yazid kemarin. Lagipun, matahari masih tegak di kepala, masih baru lepas Zuhur. Badruddin melangkah mendekati gerombolan pemikul yang disambut oelh mereka dengan hormat. “Kemana bahan sisa yang diangkut hari ini akan disimpan?” tanya Badruddin tanpa basa- basi. Salah satu pemikul berbicara, “Ke tempat biasa, Tuanku, ke dalam gudang kayu negeri yang diawasi pengawas kerajaan,” jawabnya dengan sopan. “Adakah setengah dari bahan yang belum dibongkar lagi?” Pemikul beban itu tampak berpikir sejenak. “Saya rasa sepertiga lagi, Tuanku, yang belum sampai ke sini.” “Begitu,” sahut Badruddin. “Cukupkah gudang kayu itu menampung semua bahan? Ditambah lagi masa pengerjaan kapal masih panjang, tak lapukkah ia?” Pemikul beban itu menggeleng sedikit. “Kami juga kurang tahu, Tuanku. Kami hanya mengerjakan sesuai yang diperintahkan Tuan Yazid Alam dan pengawas.” Badruddin mendecakkan lidah, lalu pergi meninggalkan gerombolan pemikul itu. Ia berjalan mencari tempat berteduh tak jauh dari dermaga dan berniat duduk di sana sampai masanya kapal barang datang. Tapi ekor matanya menangkap sosok berpakaian indah di tengah- tengah keramaian, melangkah mendekati dermaga. Badruddin menyipitkan mata, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Memang benar, itu adalah Kakak Putrinya, Syahidah beserta dayangnya. Badruddin mengerutkan kening. Apa yang tengah Kakaknya lakukan di dermaga, siang tengah hari begini? *** Sosok Yusuf dan Zaid sama- sama diam menatap Pulau Sepinang, yang kira- kira tinggal dua- tiga pal lagi dari perahu mereka. Mereka memang kembali lagi ke pulau itu, demi mengobati rasa kecewa sebab kemarin belum sempat terjumpa dengan Tuanku Putri Syahidah. Kemarin Yusuf dan kawan- kawannya juga tiada menyangka bahwa akan ada kapal barang yang khusus untuk kerajaan Sepinang yang akan datang saat itu. Meski mereka berangkat cukup cepat, namun kapal mereka baru berlabuh di dermaga tepat selepas Ashar. Kawan- kawan Yusuf yang lain tidak ikut hari ini. Saud dan yang lain sudah tiada berhasrat lagi untuk kembali ke Sepinang, sebab mereka sudah sempat bertanya- tanya kemarin dan mendapat kabar bahwa kapal barang masih akan datang hari ini. Mereka tak ingin lagi tertahan di tengah laut layaknya kemarin itu, namun Hamid Yusuf bukan pemuda yang mudah menyerah. Bersama Zaid ia datang lagi hari ini, dan untuk itu ia sudah mengencangkan sabuk pinggang sebelum bertarung. Demi berjaga- jaga, ia datang terlebih awal, supaya tidak terganggu proses pembongkaran. Dan benarlah, siang saat matahari tegak itu sama sekali belum ada kapal yang datang. Yusuf sudah penat memicingkan mata melihat dari kejauhan, saat pencalangnya makin mendekat ke dermaga dan mendapati dermaga agak sepi. Ia memerintahkan nakhodanya untuk mencari tempat berlabuh yang agak ke pinggir sedikit. *** “Engku?” panggil Nilam tiba- tiba, ketika Syahidah asyik memandangi para pedagang ikan. “Kenapa Nilam?” Dayang Nilam menjawab, “Sudahkah Engku melihat dermaga?” Syahidah memalingkan pandangannya dari pedagang tadi ke dermaga. Memang, tampaklah sebuah kapal kecil berlabuh, dan ada sosok yang sudah ia kenal di atasnya. Wajah Syahidah cerah, tapi pada saat yang bersamaan juga tampak malu. “Ayo, Nilam. Kita ke sana.” Nilam membungkuk patuh dan berjalan mengikuti Putri Syahidah yang sudah terlebih dahulu di depannya. Mereka melewati beberapa pedagang yang sibuk berlalu- lalang di dekat dermaga, tanpa menyadari bahwa tak seberapa jauh dari mereka ada Badruddin yang mengawasi dengan curiga.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN