Rancangan Perembukan

1594 Kata
Baginda Asyfan menatap anaknya yang berlutut di depan kakinya itu lurus- lurus. Anaknya itu tetap tepekur dengan tangan menangkup, memohon. Anaknya yang telah tumbuh besar menjadi pemuda elok rupa dan berhati kukuh dan keras serta liat, seliat kulit sawo matangnya yang terbakar sinar matahari sebab hari yang habis ia jalani ke banyak pulau dan negeri. “Baiklah,” sahut Asyfan Nazhim sambil bersandar ke kursinya. “Jika kau memang berkehendak begitu, tentu dapat Ayah kabulkan.” Mendengar jawaban Ayahnya, Hamid Yusuf mengangkat wajahnya berseri- seri. “Terima kasih tak terhingga Ananda haturkan kepada Ayah. Aku berjanji, Ayahanda, bahwa aku akan bersungguh- sungguh menjalaninya. Aku bersumpah dengan kepala dan telingaku, bahwa jika aku ada mangkir atau mencederai janjiku, aku akan mengerat telingaku sendiri.” Baginda menyipitkan matanya dengan gelisah. “Berat sekali sumpahmu itu, Nak,” kata Asyfan. “Baik, Ayah akan memegang kata- katamu. Namun, satu yang Ayahanda tak habis pikir. Apa hal yang membuat kau tiba- tiba berkata semacam ini, Yusuf?” Hamid Yusuf tidak mampu menjawab, melainkan memandangi lantai ruang duduk baginda. Ada jua tertangkap oleh baginda perubahan raut itu, bahwa Yusuf agak berat hati menyampaikan musabab perubahan tekadnya. “Ya, sudah. Tidak apa jika engkau tidak bisa mengatakannya pada Ayah, Yusuf. Tapi adakah kau mau menunggu barang sebentar di sini? Ada yang Ayah minta tolongkan padamu.” “Tentu, Ayahanda.” Baginda Asyfan Nazhim pun segera mengambil perkamen kayu nan berat di sampingnya beserta kotak tinta. Beliau lalu mencelupkan batang pena dan mulai menulis. Beberapa lama baginda menulisi perkamen itu hingga penuhlah kertas perkamen hingga ujung oleh goresan tinta dengan diperhatikan Hamid Yusuf dalam diam. Setelah selesai, beliau berkata pada Hamid Yusuf. “Yusuf, tolong panggilkan panglima kemari.” “Baik, Ayahanda,” jawab Yusuf sembari membungkuk hormat. Sementara ia keluar dari ruang duduk, baginda kembali merapikan kertas suratnya. Kertas panjang itu dilipat kemudian diteralah dengan cap kerajaan oleh beliau sendiri. Setelah selesai, terdengar pula langkah- langkah kaki masuk. “Baginda memanggil saya?” kata panglima usai memberi salam hormat. “Benar, Patih. Ada surat yang hendak kupercayakan pada engkau, untuk disampaikan pada Baginda Syamsir Alam Syah, Raja Sepinang. Sampaikan pula bilakah waktu yang dapat beliau kosongkan, dan apa beliau ada berkenan datang kemari atau tidak. Jika beliau mau, sebaliknya saya bisa datang kesana, asalkan perembukan ini dapat dilakukan. Ini soal yang teramat penting dan mendesak.” Baginda memberikan surat yang sudah ditera rapat itu pada panglima, yang diterima penuh hormat. Panglima membungkuk dalam- dalam, kemudian pergi melaksanakan perintah tersebut. Setelah panglima menjauh dan lenyap dari penglihatan, Hamid Yusuf datang mendekati sang ayah. “Ayahanda, jika engkau bersedia, maukah Ayahanda menceritakan masalah apa yang sedari tadi begitu mengganggu Ayah, sampai Ayah harus merembukkannya dengan Raja Sepinang? Jika perkara ini begitu susah, mungkin aku bisa menyumbangkan pendapat pada Ayah. Mudah- mudahan saya dapat mengurangi beban Ayah walau sedikit.” Asyfan Nazhim mengangguk- angguk sambil mengelus janggutnya yang beruban. “Nak, aku memang tak menampik bahwa ini merupakan sesuatu yang sulit. Aku juga memang sudah berniat untuk menceriterakan perkara ini padamu, sebagai pengetahuan yang akan kau pegang jika suatu hari kau memegang tampuk kerajaan. Nak, kau harus mulai memikirkan asal- muasal, sebab pangkal mula suatu keputusan. Dan kali ini, ada keputusan besar yang telah dijatuhkan pada kita. Hamid Yusuf menyimak perkataan Ayahandanya dengan seksama. Baginda melanjutkan, “Ini perihal ketenteraman kita yang agaknya mulai diusik lagi oleh Sri Raja Pulau Besar.” “Mengapa? Ada apa, Ayahanda?” “Pagi tadi, Nak, sebuah surat dari Pulau Besar sampai. Dalam surat itu, Sri Raja menetapkan bahwa Seperca wajib membayar pajak kepada Pulau Besar, tertanggal sejak surat ini mulai dikirimkan.” “Tambahan… pajak, Ayahanda? Setelah upeti yang kita bayarkan setiap usai panen?” Asyfan Nazhim mengangguk membenarkan. “Nah, terangkanlah padaku pendapatmu mengenai ihwal ini terlebih dulu, Nak.” Hamid Yusuf berpikir- pikir sejenak, kemudian ia menyambung, “Ayahanda, negeri kita ini lebih memang sudah tersebut menjadi buah bibir sebagai pedagang dan penghasil kain terbaik. Sebahagian kecil sajalah rakyat kita yang bekerja dari usaha tani dan ladang. Aku sudah mengetahui, Ayah, bahwa sepersepuluh dari panen mereka mesti dikirim ke istana, sedang hasil yang sepersepuluh itu mesti kita sisihkan pula sebagiannya untuk Pulau Besar sebagai upeti. Selama ini, sumbangan rakyat ke istana lebih kita bebankan pada para pedagang dan penghasil kain supaya petani dan peladang merasa adil.” “Benar, Yusuf.” “Lalu, jikalau Pulau Besar meminta bagiannya pula dengan pajak tambahan, tentu kita tak bisa mencekik pemilik sawah dan ladang lagi, karena tidak ada lagi kelas yang tersisa bagi mereka dan keluarga mereka. Sedang itu artinya, kita mesti alihkan pemungutan pajak ini pada pedagang dan penghasil kain.” “Tepat sekali,” kata Asyfan Nazhim. “Apakah kita harus menambah takar sumbangan pada mereka? Dengan demikian, kita malah membuat mereka gulung tikar, dan kesejahteraan negeri kita tentu mundur. Semua akan hidup dalam kepayahan. Tapi apa artinya kita mesti menggunakan takaran lama sehingga bagian istana menjadi lebih sedikit?” Berkerutlah kening Hamid Yusuf memikirkannya. “Ayahanda, dapatkah Ayah memberitahu asal mula adanya upeti ini? Rasanya kurang masuk akal bila aku pikirkan hubungan ganjil kita ini dengan Pulau Besar.” Asyfan Nazhim menghirup napasnya dalam- dalam. “Engkau tentu tahu, Yusuf anakku, bahwa negeri kita ini, Seperca adalah termasuk dalam kekuasaan Pulau Besar dulunya, begitupula dengan Sepinang. Namun tidak ada yang suka dengan pemerintahan Sri Raja yang lalim itu. Anaknya pun tiada beda. Sebab itu, Sepinang dan Seperca bersatu untuk melepaskan diri dari Kerajaan Pulau Besar. Kita memberontak, dan karena saat itu pemerintahan Pulau Besar sudah goyah pula, kita berhasil merdeka.” “Lepasnya Seperca dan Sepinang dari Pulau Besar sebagaikan pukulan telak bagi Sri Raja. Tak sedikitpun ia ingin kepandaiannya memerintah diragukan, sedangkan dua pulau terpinggirnya yang berwatas dengan laut nyatanya telah lepas dari genggaman. Tak hanya itu, negeri kita dan Sepinang juga telah membawa banyak penyimpanan makanan serta persenjataan dari Pulau Besar. Sri Raja tak punya daya apa- apa.” Namun kebesaran nama Pulau Besar belumlah surut di telinga penguasa kerajaan- kerajaan jiran. Mereka masih menyangka kalau Pulau Besar masih sama kuat dan berjayanya sebagai dahulu, tanpa tahu bahwa sudah banyak perselisihan, pemberontakan dan karut- marut di sana.” Hamid Yusuf heran. “Mengapa begitu, Ayahanda?” Asyfan Nazhim mengangkata tangannya. “Sabarlah, Nak. Biar kuselesaikan cerita ini hingga akhir.” Setelah Hamid Yusuf meminta maaf, Baginda Asyfan melanjutkan. “Persangkaan negeri jiran ini karena penguasa Pulau Besar kala itu, yaitu ayah dari Sri Raja sekarang, yang pandai menutup- nutupi semua masalah dalam kerajaan –termasuk menutupi pemberontakan negeri kita dan Sepinang. Sedikit saja lidah yang terlompat melontarkan perkara itu di tengah keramaian di siang hari, tak ada yang mampu menjamin si pemilik lidah akan masih ada nyawa sampai malamnya. Mereka dihukum mati. Terlebih, pemberontakan yang Seperca dan Sepinang lakukan adalah pergolakan paling berpengaruh dan merugikan yang ada di Pulau Besar, sehingga negeri itu benar- benar menjadi abu kala itu.” “Kita –Seperca dan Sepinang –tentulah sangat bersyukur karena kemerdekaan yang kita peroleh. Ayahandaku, yang kala itu adalah pemimpin negeri di Seperca, diangkat menjadi raja. Dan begitu pulalah yang terjadi pada Syamsir, menurut Ayah. Tapi dua negeri dalam dua pulau kecil sebagai kita ini masihlah rawan, jika menyebarluaskan perihal kemerdekaan ini ke seluruh tempat. Apa kau bisa menerka mengapa, Yusuf?” “Karena, kita masihlah baru dalam membentuk kekuatan. Kita memang punya angkatan prajurit yang cukup tangguh, tapi jumlahnya sangat sedikit apabila dipersandingkan dengan kerajaan- kerajaan lainnya. Begitukah, Ayahanda?” “Ya. Kita hanyalah pulau kecil dengan prajurit yang sedikit. Kepandaian satu prajurit kita mengalahkan sepuluh prajurit Pulau Besar, tapi apa daya yang dapat kita perbuat jika ada beribu- ribu dari mereka? Tentu kelak kita akan merasai kekalahan, dan kerugian kita peroleh jauh lebih besar karena wilayah kita yang hanya terwatas pada pulau kecil ini saja.” “Pikiran yang sama juga muncul di kepala Syamsir. Maka, kami berdua melakukan kesepakatan dengan Sri Raja Pulau Besar itu. Bahwa negeri Seperca dan Sepinang akan membayar upeti kepada Pulau Besar dengan jaminan nama dan perlindungan dari mereka, sehingga tiada jiran yang berani mengganggu kita suatu hari nanti. Sebab dalam perkiraan mereka, kita masih termasuk dalam kekuasaan Sri Raja dan mereka tak akan mencari- cari mati dengan menyerang kita. Demikianlah, Yusuf, asal- mula upeti ini.” Hamid Yusuf mengangguk paham. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Tapi sudikah Pulau Besar memberi perlindungan pada kita hanya dengan kesepakatan berupa upeti setiap panen, Ayah?” Asyfan menatap anaknya dengan wajah tenang. “Sudi saja, jika upeti adalah yang paling mereka butuhkan. Sebagai yang telah kusampaikan padamu tadi, Nak, bahwa tiada sedikitpun bahan makanan dan persenjataan yang tersisa di Pulau Besar segera setelah mereka kalah dari kita.” “Tapi Ayahandaku, kekalahan itu sudah lama berlalu, dan tentulah mereka sudah berdaya menegakkan hidup mereka sedikit demi sedikit sejak saat itu. Dan kurasa Ayahanda, …” kata Hamid Yusuf ragu- ragu,” Terlebih dahulu aku memohon maaf atas kelancangan ini, namun pemikiran ini terus saja mencucuk- cucuk kepala Yusuf, Ayah.” “Katakanlah.” Hamid Yusuf memandangi ayahnya dengan wajah pahit. “Apa… apa tidak mungkin suatu saat kelak Pulau Besar akan kembali menyerang kita, Ayahanda? Tidakkah selama ini mereka mengumpulkan kekuatan?” Asyfan Nazhim mengetukkan jarinya di lengan kursi. “Nalurimu tajam, Nak. Dan surat mengenai pertambahan pajak ini, kurasa adalah awal mula salah satu siasat yang dimainkan Sri Raja Pulau Besar untuk kepada kita. Untuk mendapatkan pulau- pulaunya kembali. Dan kita mesti memasang perisai kita dengan menemui sekutu kita dahulu, yaitu Sepinang, “ jelas Baginda Asyfan seraya bangkit dari duduk. “Kita mesti tahu apakah Sepinang juga mendapatkan surat yang sama atau tidak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN