Dalam Rapat

1032 Kata
Hari itu sebagai hari biasa, di balai utama istana Seperca tengah berjajar duduk para menteri dan pejabat kerajaan. Mereka duduk di kursi istimewa milik masing- masing membentuk jajaran menyamping, sedang Baginda Raja berada paling depan di atas singgasananya. Ada di antara mereka yang tengah bertanya soalan kesejahteraan para pedagang kain asal Melayu asli kepada Baginda, dan Baginda Asyfan menyampaikan titahnya. Beliau juga meminta pendapat dari menteri- menteri yang lain, sekiranya dapat memberikan orang yang ada di ruangan itu pandangan lain. Hampir semuanya tampak penuh semangat, terkecuali beberapa orang. Termasuklah satu di antara beberapa ini yaitu Tuanku Aminuddin –yang mengurus hubungan perdagangan dengan luar dan memungut biaya tambahan untuk pencalang- pencalang dagang yang masuk, baik milik saudagar Seperca ataupun saudagar jauh. Tuanku Aminuddin tampak bergerak- gerak dalam duduknya, sebagaikan orang yang tak sabar dengan perembukan itu. Tangannya ia lipatkan ke dadá, sedang matanya memandang sekeliling dengan sorot mata merendahkan. Tiada perkataan Baginda tentang kebijakan- kebijakan negeri itu yang masuk ke telinganya, sebab bagi Tuanku Aminuddin, tiada penting menyimak perkara yang tidak bersangkut paut dengan ia sendiri. Ia menunggu pertanyaan- pertanyaan dari menteri lain selesai dijawab oleh Raja Asyfan, kemudian barulah ia meluruskan punggung. Setelah tak ada lagi satupun yang tampaknya mengeluhkan masa’alah tugas, Tuanku Aminuddin pun mulai angkat bicara. Ia tetap meminta diri dengan sopan santun pada Raja Asyfan agar diberi izn. “Sampaikanlah,” kata beliau singkat. Tuanku Aminuddin, mendehem sekali- dua. Ia pun bercakap dengan lantang, “Baginda, saya masih merasa bahwa pertambahan pajak yang kita bebankan pada para pedagang ini terlalu besar. Dan saya ingin meminta pengurangan, agar berkurang jualah beban di pundak mereka.” Baginda mendengarkan perkataan Tuanku Aminuddin dengan penuh perhatian, sehingga menteri itu menyambung cakapnya lagi. “Baginda, saya tiada bermaksud menentang semua titah yang sudah Baginda berikan. Saya tentu sangat paham dengan semua sebab dari keputusan Baginda. Akan tetapi, pengurangan pajak masuk ini sungguh mengejutkan semua orang, dan terasa sulit sekali bagi mereka yang berpencaharian selain berdagang. Mereka harus menanggung sendiri semua kesusahan ini, dan penurunan jual- beli mereka pun berlangsung cukup lama. Memanglah, orang yang hidup dari berladang, bertani, dan melaut di negeri kita ini tak seberapa jumlahnya, tapi bagaimanapun tentu ini akan merugikan mereka. Dan sebagaimana Baginda ketahui, bahwa Seperca adalah penghasil utama kain bermutu bagus dan bermutu. Di sini juga sudah ada batasan  harga yang mesti mereka tawarkan bila ingin berjual- beli di Seperca. Namun turunnya harga barang yang masuk, terutama kain akan membuat orang- orang lebih membeli kain luar daripada hasil sendiri. Pedagang asli negeri kita juga akan merugi pula, sebab mereka mau- tak mau harus menurunkan harga agar sesuai dengan kain barang luar, dan untung mereka akan jauh lebih sedikit. Bila penjualan mereka memberi penghasilan yang tiada seberapa, maka itu pun akan berakibat buruk pula pada kesejahteraan negeri kita, terlebih ketika perdagangan adalah sumbu utama kemajuan Seperca,” ungkapnya panjang lebar. “Mohon kepada Baginda untuk mempertimbangkan kembali perihal ini.” Tuanku Aminuddin pun membungkuk panjang, sebelum kembali menegakkan badannya. Dan dalam waktu itu, jelas bahwa Raja Asyfan tengah mempertimbangkan masalah yang diajukan tersebut. “Aminuddin, aku mengerti apa yang telah menjadi keresahanmu. Tentu tiada aku memutuskan ini semua semata- mata hanya demi meringankan saudara jiran kita, Sepinang saja, tapi juga untuk memperkukuh hubungan perdagangan kita. Memang takkanlah mudah bagi para pedagang kita, terutama pedagang kain untuk menghadapi ini. Mereka harus bersaing dengan pedagang Sepinang yang jauh lebih ringan pajaknya, belum pula bila mereka menghitung pengeluaran yang mereka keluarkan saat mengerjakan kain. Bila mereka ingin menurunkan harga, penjualan mereka juga menjadi sedikit. Namun sebagai yang telah engkau sampaikan, Aminuddin, bahwa negeri kita sudah terkenal hingga mancanegara akan elok mutu kainnya. Tiadalah perlu bagi mereka untuk menurunkan harga, sebab tentu orang akan mengira bahwa mutu kain Seperca juga telah berkurang. Cukup mereka pertahankan harga sekarang, sebab itu akan menunjukkan bahwa kain Seperca memanglah bagus, dan kain- kain luar yang didagangkan para saudagar luar masih jauh kalahnya dibandingkan dengan yang kita hasilkan. Untuk yang berpencaharian selain dagang, kurasa takkan ada yang akan mengeluhkan harga barang mereka yang lumayan tinggi dan tanpa pengurangan ini, sebab hasil tani dan ladang memang sedikit di negeri kita. Mereka patut dihargai sesuai kerja keras mereka.” “Lalu bagaimana mereka akan memperoleh untung nantinya, Baginda? Apalagi ini berkait erat dengan masalah kepercayaan rakyat kepada kerajaan, dan tentu kita tiada ingin mengecewakan hati mereka ataupun menyia- nyiakan jerih- payah orang negeri ini.” “Aku sudah memikirkan hal ini, Aminuddin. Untuk itu aku akan menyuruhkan engkau, dan beberapa menteri lain untuk merembukkan tentang perluasan dagang ke luar, hingga negeri jauh. Bila dapat, kita akan mengirim kain- kain terbaik kita ke sana dengan harga yang lebih mahal, sehingga para pengolah kain dan pedagangnya akan mendapat untung lebih besar. Ini juga untuk mengenalkan kecakapan negeri kita, agar mereka terus menjalin hubungan dagang dalam bentuk sulaman, pintalan, benang dan pakaian dengan kita.” Tuanku Aminuddin mendengarkan semua ini dengan muka yang tampak datar sekali, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan dan ia tahan terus dalam dirinya. Dalam waktu itu, Baginda Asyfan menunjuk beberapa menteri lain yang akan bekerjasama dengan Tuanku Aminuddin. Usai mereka mengucapkan kesediaan, Baginda melanjutkan lagi, “Kita akan mempercakapkan masalah ini selambat- lambatnya selepas Ashar. Dan sementara itu, aku akan mengirimkan surat- surat kepada kerajaan di negeri India, Cina, dan Arab dekat perkara perluasan hubungan dagang ini. Dan Aminuddin, aku pinta engkau mengatur barang- barang hasil negeri kita yang terbaik hingga beberapa hari ke depan dan mengajak kerjasama dengan saudagarnya. Engkau juga akan mengalihkan tugas beberapa pejabat bawah untuk memusatkan pokok perhatian mereka pada hubungan baru  yang akan kita bentuk ini.” Tuanku Aminuddin menunduk. “Baik, Baginda. Titah Baginda Raja akan saya laksanakan.” “Baiklah. Apa masih ada yang ingin mengajukan permasalahan lain dalam rapat kita ini?” tanya Baginda mengedarkan pandangan. Para menteri dan pejabat atas kerajaan itu saling berpandang, lalu menggelengkan kepala. Terdengar gumaman pernyataan tidak di antara mereka. “Baiklah, rapat kita selesaikan sampai di sini dengan mengucapkan hamdalah,” ujar beliau yang lalu mengucapkan hamdalah dalam bisikan. “Dan Aminuddin, aku tahu tugas yang aku berikan kepada engkau cukup berat.  Hingga selepas Ashar nanti engkau hanya perlu mengatur pejabat bawah yang engkau percayakan terlebih dulu, dan memberikan nama- nama mereka kepadaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN