Zafan Nazhim turun dari perahu kecil yang ia dayung sendiri dengan susah payah. Ia memautkan perahu itu ke tepian dengan rantai besi yang bukan main besarnya sambil merungut sebab itu bukanlah kerjanya. Tapi Zafan mesti bersabar- sabar dulu bekerja seorang diri, sebab apa yang hendak ia lakukan tak ingin diketahui banyak orang, meski itu prajurit istana Seperca sekalipun. Dengan muka masih menitikkan peluh, Zafan lalu naik daratan sambil menepuk- nepuk pakaian. Ia mestilah terlihat pantas tatkala berbicara nanti, terlebih di depan Raja Pulau Besar. Ia seka wajahnya dengan sapu tangan sambil tersenyum menyeringai.
Zafan melangkah dengan dagu tinggi terangkat menuju gerbang istana
.Penjaga gerbang memandang beliau, memberi isyarat.
“Apa ini? Saya sudah memberi kabar perihal kedatangan saya ini pada Sri Baginda!” kata Zafan Nazhim ketus.
Salah seorang dari penjaga berlutut. “Ampun, Tuanku. Tetapi ini perintah langsung Baginda Raja, bahwa sesiapa pun yang bertamu pada beliau, mesti menitipkan alat persenjataan mereka pada kami terlebih dahulu."
Zafan mendecak kesal, lalu mengeluarkan belati dan pisau dalam sarung kulitnya dan menyerahkannya pada penjaga gerbang yang telah berdiri dari lututnya itu. Ia pandang kedua penjaga itu dengan mata nyalang sebelum masuk ke dalam istana negeri Pulau Besar.
“Selamat datang, Zafan,” sambut Sri Baginda Raja. Ia berdiri seraya mengangkat tangannya pada Zafan yang memberi hormat padanya, menyilakan ia duduk.
Zafan tersenyum, lalu menghenyakkan tubuhnya di salah satu bantal duduk yang empuk. “Sri Baginda tampaknya masih belum mampu percaya saya sehingga sekarang.”
Sri Baginda Raja Pulau Besar itu tertawa terbahak- bahak. Giginya yang jarang- jarang dan menghitam tampak berbaris di mulutnya. “Zafan, Zafan. Engkau masih tajam, sebagai engkau dahulu. Aku suka tingkah perangaimu dibandingkan Asyfan yang merasa suci itu.”
Zafan membungkukkan dirinya dalam- dalam. “Terima kasih, Sri Baginda.”
“Nah, berita apa yang engkau bawa? Atau… kurasa engkau hendak meminta sesuatu dariku?”
Zafan tersenyum pada beliau. “Ampun, Sri Baginda Raja. Bagaimana mungkin saya yang hanya rakyat biasa ini dapat meminta sesuatu pada Baginda. Saya tidak berhak sama sekali, Baginda.”
Sri Baginda tersenyum miring. Ia mengelus jenggotnya yang kusut masai. “Begitu? Setelah kau menyuruh orang- orangmu dan kawan karibmu menyerang kerajaan bertahun- tahun dulu?” Sri Baginda Raja menatapnya seperti anak panah yang melesat ke mata Zafan, walau Zafan tampak bergeming, tenang dalam duduknya.
Dada raja itu naik- turun dalam amarah. Secepat kilat ia meraih piala perak di sampingnya dan meneguk air dengan membabi- buta bagai banteng kehausan, sehingga air menetes- netes membasahi jenggotnya. “Kalian yang dulu mengemis padaku, dan orang- orang negerimu yang menatap istanaku dengan decak kagum. Kalian yang dulu hanya di bawah pijakan kakiku sebagai lalat menjijikkan kini sudah punya sayap untuk terbang," cecarnya. "Kalian datang menyerang. Menjarah tatkala banyak pemberontakan dan kesewenang- wenangan pejabat rendah di negeriku. Sungguh, waktu yang telah dipertimbangkan masak- masak. Kalian bahkan meninggalkan kepercayaan bersama dan mulai mengikuti Islam.”
Zafan mengangkat kepalanya sedikit, senyum tak hilang sedikit jua dari bibirnya. “Saya hanyalah menginginkan sedikit keeratan dalam hubungan perdagangan kita, Sri Baginda. Tentu Baginda lebih paham, bahwa perbaikan kesejahteraan kerajaan Baginda setelah perang dahulu tentulah tak wujud lagi bila kami tidak menjual timah dan besi kami lebih murah kepada rakyat Baginda. Kami meletakkan harga setinggi langit untuk Melaka.”
Baginda Raja mencibir. “Engkau benar, walau sayangnya bukan emas.”
Zafan mengangguk. “Benar, Baginda. Sebab kami tidak memiliki emas dan tak tertarik padanya. Kami cukup hidup dengan apa yang ada. Dan semua persetujuan damai kita tak akan terjadi jikalau bukan disebabkan oleh Ayahanda saya. Lagipun, bukan saya yang mendorong perpecahan dulu, Baginda.” Kini Zafan benar- benar mengangkat kepalanya tinggi. “Saya hanya sedikit mengingatkan.”
Wajah Sri Baginda masih bergetar menahan amarah. Ia meludah ke samping, disaksikan oleh Zafan yang tak kuasa menahan geli.
“Sebutkan apa maumu!”
Zafan mengangguk sopan. “Begini, Baginda. Meski masa kesatuan kita dahulu telah terjadi puluhan tahun silam, tapi tentu Baginda paham betapa kami masih mencintai Pulau Besar dan menganggap Pulau Besar ini induk kami.”
Sri Baginda Pulau Besar sama sekali tidak berkata- kata.
“Ah, saya hanya menginginkan yang terbaik untuk kita semua, Baginda,” kata Zafan lagi. “Persetujuan damai kita belumlah cukup, tersebab karena kerajaan Baginda yang begitu merana juga ikut membuat hati saya menderita.” Zafan menekuk wajahnya sedih. “Ketidakadilan ini, Baginda! Saya rasa Baginda beserta rakyat berhak mendapat kesejahteraan yang lebih.”
“Setelah engkau menghancurkan kami?”
“Saya sangat mencintai Negeri Pulau Besar ini sebesar rasa cinta Sri Baginda pada rakyatnya.Tak inginkah Baginda beserta rakyat hidup senang sekembali seperti dulu?”
Sri Baginda mengerutkan kening. “Terangkan maksudmu, Zafan!”
Zafan Nazhim menurunkan suaranya sedikit. “Saya meminta Sri Baginda untuk menulis surat pada Asyfan, saudara saya, tentang pemberlakuan pajak bagi barang- barang dagang yang dijual antar negeri.”
Baginda Raja kembali mengambil piala perak dan mempermainkannya di jemarinya. “Mengapa, Zafan?”
“Tentunya untuk kepentingan Negeri Pulau Besar, Baginda.”
Sri Raja itu menggeleng. “Engkau paham maksudku, Zafan. Pemberlakuan pajak jelas merugikan kaum engkau.”
“Tak akan merugikan sebesar yang Baginda Raja bayangkan.”
“Saat kerajaanku habis tak bersisa sebagai ini? Aku tak ingin mengakuinya, akan tetapi kekuatan kami sudah orang- orangmu hancurkan, bukan? Lihatlah aku kini, yang menjilat padamu.” Mata Sri Baginda itu menyembul membelalak. Persis semacam perompak.
“Yang Mulia Baginda masih mendapat dukungan dari kerajaan tetangga yang lumayan besar. Baginda bisa menggunakan nama- nama mereka untuk kekuatan. Dan bukankah memang kalian berkawan sejak dulu? Saya rasa, saat mereka mendapati hal ini pun, tak seorang pun yang akan berkeberatan, Baginda.”
Wajah penuh amarah tadi pun berubahlah menjadi keraguan. Mata Zafan membaca keragu- raguan itu.
“Baginda tidak usah cemas. Saya sendiri akan membantu Baginda sedapat saya, kalau- kalau ada masa’alah di kemudian hari. Pikirkanlah apa yang Baginda dan negeri besar ini dapatkan, jika Baginda menerima. Saya yakin ini saat yang tepat bagi Pulau Besar untuk bangkit kembali.”
Mata Sri Baginda menyipit selang beberapa lama. Dalam sekejap ada tampak kilat di mata Sri Raja, meski Zafan tak memperhatikan. Setelah waktu nan panjang, ia pun lalu menjawab, “Akan kupertimbangkan nanti. Aku akan mengirimimu balasan dalam surat melalui prajurit kepercayaanmu.”
“Terima kasih, terima kasih yang sangat berlimpah saya haturkan pada Yang Mulia,” ucap Zafan sambil merukuk- rukuk. “Tak terkira rasa syukur saya atas pertimbangan Baginda.”
“Tapi aku perlu tahu terlebih dahulu, mengapa engkau bersusah- susah berlayar ke sini seorang diri dan memintaku untuk mempersulit negerimu sendiri.” Sri Baginda mencondongkan tubuhnya pada Zafan. “Apa tujuanmu?”
“Hal- hal dalam kerajaan, Baginda,” sahut Zafan tenang. “Ada yang mengambil kekayaan kerajaan tanpa sepengetahuan kami, namun kami belum memiliki bukti. Selain pemberlakuan pajak, perubahan kebijakan lain pula akan membuat mereka kocar- kacir dan memudahkan kami menemukan bukti.”
“Dengan membahayakan Seperca dan kerajaanku?” tanyanya lagi dengan pandang menyipit.
“Tentu tidak akan membahayakan Pulau Besar, Baginda. Sebab nama Pulau Besar sudah tersebar kejayaannya dimana- mana. Sekali ada masalah, rekan perdagangan Pulau Besar tentu sedia membantu Baginda. Asyfan sendiri sudah menyepakati hal ini, sebab saya langsunglah yang menjadi penasihat beliau dan memberi usulan.”
Baginda mengangguk. “Baiklah. Saya akan kabari engkau nanti.”
“Kalau begitu, saya mohon permisi dulu.”
Anggukan Sri Raja cukup bagi Zafan untuk segera meninggalkan istana itu. Ia menjaga senyumnya hingga ia keluar gerbang dan mengambil lagi senjatanya . Bibirnya melengkung, berbisik sendiri.
“Bodoh.”
***
Sri Baginda Raja masih memegangi piala peraknya, menatap ukiran halus piala itu seraya mengetuk- ngetukkan buku jarinya.
“Tidak terlalu suka pada emas, begitukah rupanya?”
Sri Raja meletakkan piala itu lalu mengambil dua helai kulit kayu yang terlipat beserta tinta dan pena bulu. Ia tersenyum menyeringai pada kulit kayu pertama. “Mari aku perlihatkan padamu, Zafan, berapa banyak keuntungan yang akan engkau peroleh dan berapa banyak yang akan kudapat. Mungkin kau harus menengok tetanggamu dulu untuk mencari tahu tentang kapal perang mereka. Mari kulihat, apa kau berani menggorok lehermu sendiri.”