Hari ini merupakan hari keberangkatan Adam beserta rekan-rekannya menuju pelosok desa yang cukup terpencil, dengan menggunakan penerbangan khusus dari rumah sakit tempat Adam bekerja. Mau tidak mau, Adam sebagai orang yang dibutuhkan untuk membantu, tentu saja akan turun tangan dengan rela hati. Ia tidak mau melalaikan tugasnya sebagai seorang dokter yang menjadi perantara Sang Kuasa untuk membantu orang-orang sakit yang butuh obat atau penyembuhan lainnya. Hatinya sangat berat meninggalkan kotanya ini meski hanya sebentar karena ia tahu bahwa pemilik hatinya ada di kota ini dan tak dapat mengantarnya.
Meski begitu, keluarga Adam datang untuk melihat keberangkatannya. Dina memeluk putra satu-satunya itu dengan erat "Jangan nakal ya nak" pesannya membuat Adam mendengkus kesal. Apa ia masih begitu tampak kecil dan menggemaskan bagi mamanya hingga Dina selalu menyelipkan kata jangan nakal disetiap pesannya.
"Adam udah besar ma" protesnya untuk memperjelas bahwa ia bukan lagi anak kecil yang harus mamanya beri nasihat untuk jangan nakal, meskipun ia sadar, nakalnya orang dewasa sangat jauh dari nakalnya anak kecil.
"Iya-iya, maafin mama, maksud mama jaga diri dan kesehatan. Jangan lupa makan" kekeh Dina setelah melihat wajah cemberut Adam. Bagaimana ia tidak menganggap Adam sebagai sosok anak kecil jika pria itu saja selalu bersikap manja dan mudah merajuk padanya.
"Iya, mama juga jaga kesehatan. Jangan kepikiran Adam terus ya, Adam bisa jaga diri kok" Dina mengangguk kecil sambil menunjukkan senyumnya begitu mendengar anaknya juga meninggalkan pesan yang sama padanya.
Setelah itu Adam memeluk singkat papanya "Jaga kesehatan ya Pa. Jangan sibuk kerja terus, nanti mama kesepian"
Sandi terkekeh geli "Kamu juga jaga kesehatan disana, jangan ngeluyur malam cari hiburan" ujarnya memberi pesan.
“Ya ampun Pa, aku kesana itu karena tujuannya untuk memberikan bantuan kesehatan. Lagian aku ke pelosok, Pa, bukan kota-kota yang dimana-mana enak nyari club atau hotel” jelasnya secara logika.
“Iya, tapi kan siapa tahu kamu rada aneh ngajak anak orang di pinggir kali” desis papanya berusaha mengungkapkan segala kemungkinan.
Adam menganggukkan kepalanya agar perdebatan dengan papanya tak semakin panjang “Iya, iya, aku akan inget pesan papa” yakinnya.
Adam menghampiri kakaknya dan memeluk wanita yang sedang hamil itu "Ngga usah cengeng kak, Adam pergi bentar aja kok" katanya berusaha menyudahi sifat cengeng Febi yang disebabkan rasa khawatirnya.
"Ya abisnya kamu pepergian terus, kakak kan khawatir ngga punya adek laki-laki lagi" ujar Febi. Ia yang tidak hamil saja sudah cukup cengeng, kini ditambah lagi dengan keberadaan janin dalam perutnya yang membuatnya makin sensitif.
"Jadi kalo Vio yang pergi, kakak ngga khawatir?" dengkus Viona dengan mimik cemberut khasnya. Secara tidak langsung, ucapan kakaknya tadi bermaksud seperti itu kan.
Febi terkekeh "Khawatir dek, kakak khawatir kalo adek-adek kakak pergi-pergi jauh gini" jelasnya.
"Adam pergi ya kak" pamit Adam setelah itu mengecup kening kakaknya dan melirik perut buncit Febi yang belum terlalu menonjol "Jaga ponakan Adam kak"
"Iya" angguk Febi.
Adam kini memeluk singkat kakak iparnya dengan pelukan ala laki-laki "Sabar aja ya kak kalau kak Febi nanti banyak ngidamnya apalagi kalau sering nangis. Dia ngga hamil aja sensitif apalagi hamil, gue yakin lo akan susah ngatur dia" saran Adam mendapat cubitan dari kakaknya sedangkan Bayu hanya terkekeh membenarkan ucapan Adam dalam hatinya. Bayu tak berani mengatakan yang sebenarnya karena lebih baik rasanya menjaga perasaan istrinya yang sedang hamil.
"Jaga kesehatan disana" pesan Bayu singkat.
Dan kini Vio yang memeluk kakaknya dengan erat "Jaga hati ya kak, Naya ngga bisa nganter kakak. Oh ya nanti selama disana kakak sering-sering hubungin Vio" pesan Vio.
Adam mengangguk dalam pelukannya "Inget, jangan pacaran aja sama si curut Axel. Kalo pun mau pacaran dirumah aja pas ada Mama Papa" peringat Adam.
"Ihhhh kakak, Vio udah gede tau" desisnya tak suka dengan pesan tersebut.
"Iya-iya, kakak tau kamu udah gede tapi kan ngga ada salahnya kakak ngingetin kamu untuk jaga diri. Laki-laki bisa jadi b******k kalau ada kesempatan" balas Adam realistis. Sebagai laki-laki ia tentu tahu bagaimana tabiat pria pada umumnya.
"Iya kakak ku yang ganteng, Kakak juga jaga diri disana ya" parah Vio, tak ingin perdebatan semakin panjang.
Adam mengangguk dan mengecup kening adiknya itu "Awasin mama sama papa jangan sampe berantem" pesannya membuat mama dan papanya tertawa bersamaan.
Di pesawat, Adam tak henti-hentinya memikirkan perkataan Naya dua hari lalu yang begitu mengusik pikirannya. Semua perkataan wanita itu terus terngiang bagai kaset yang diputar berulang-ulang dalam kepalanya. Tidak ada kata yang terlewatkan sedikitpun. Ia mengingat jelas apa saja yang Naya katakana saat itu kepadanya yang membuatnya sangat terkejut. Ia hanya tak menyangka bahwa gadis yang selama ini ia puja, ternyata punya masa lalu seperti itu.
***
Naya terkekeh mendengar ucapan Siska Andrino adik dari Axel Andrino--kekasih Viona Glevino. Saat ini, Anaya dan Viona berada di apartemen Axel untuk belajar membuat kue dengan pengetahuan dari Naya. Tadinya mereka ingin belajar di rumah Vio, sayangnya ia tak mau Dina mengomeli hasilnya jika tidak bagus, hingga ia memilih belajar ke apartemen Axel, tapi yang terjadi malah keributan antara Vio dengan Siska. Sampai saat ini, Siska masih sering memandangnya lebih unggul dari pada Vio, hingga jika Vio tak tahu akan sesuatu maka Siska akan menyalahkan Vio dengan mengangkat nama Anaya.
"Bang Axel sih, kenapa malah jumpa kak Vio, seharusnya kak Naya aja" ujar gadis berumur 20 tahun itu.
"Suttt, ngga boleh gitu" tegur Axel pada adiknya.
Vio menggelayut manja di lengan kekasihnya sambil memeletkan lidah pada Siska karena merasa menang telah dibela oleh Axel. Meski sering dipandang ‘tak tahu apa-apa’ oleh adik Axel, Vio sama sekali tak masalah karena apa yang Siska pandang terhadapnya dan diberikan perbandingan dengan Anaya, memang seperti itu kenyataannya. Ia hanya merasa bersyukur karena Axel tak pernah menuntutnya menjadi sosok lain dan tak pernah memandang gadis lain lebih memiliki kelebihan darinya.
"Naya itu cocoknya jadi kakak ipar gue tau" desis Vio. Di dalam hatinya sudah tertanam jelas bahwa Naya harus menjadi kakak iparnya bukan menjadi saingannya ataupun hanya sahabatnya saja.
“Jadi kakak ipar gue tahu, nih bang Axel aja yang matanya picek sampai milih kakak. Udah tahunya ribut doang, makan, ngerengek dan segala macem yang ngerepotin bang Axel. Bikin kesel banget, sumpah” balas Siska.
“Siska, jangan gitu. Gimana kalau kak Vio sakit hati dan mutusin abang?”
Vio membulatkan matanya lalu menatap Axel “Aku ngga akan mutusin kamu tahu, awas kamu kalau sampai mutusin aku” tajamnya.
“Semoga putus. Amin” doa Siska sembari mencebikkan bibirnya pada Vio.
“Siska, kalau kamu ngeyel sekali lagi, abang ngga kasih kamu uang jajan lagi” ancam Axel. Ia sudah cukup pusing terus-terusan mendengar perdebatan anatara adik dengan kekasihnya.
Siska memajukan bibirnya cemberut “Padahal yang Siska bilang bener, kak Naya lebih baik dari kak Vio”
“Lo ngeyel ya dibilangin, Anaya itu udah pasti bakal jadi kakak ipar gue. Tuhan udah menakdirkan mereka berjodoh”
Mendengar itu membuat Naya termenung mengingat sudah seminggu sejak ia bertemu dengan Adam terakhir kali, pria itu tak pernah mengirimnya pesan sekali pun. Padahal sudah dari awal ia menekankan pada dirinya sendiri agar tidak berharap lebih pada Adam, tapi kini? Rasanya ia kehilangan perhatian kecil pria itu. Dulu ia bersifat munafik dengan tersu melayangkan penolakan pada Adam, tapi kini ia dengan tak tahu malunya malah mengharapkan pria itu memberikan perhatian padanya.
"Nay, lo kok bengong aja sih?" dengkus Vio heran.
"Eh sorry, iya ayo lanjut lagi buat brownisnya" ujarnya, sebisa mungkin ia tak ingin membuat Vio tahu mengenai apa yang ia pikirkan belakangan ini.
"Lo mikirin apa?" tanya Vio masih tak puas karena Naya tak mengatakan apa-apa padanya, padahal wajah itu menunjukkan jelas beban pikiran Naya.
"Ngga ada"
"Kalo ngga fokus, lo duduk aja gih. Biar gue, Axel sama Siska yang buat" saran Vio.
"Iya kak Nay, ayo kita duduk aja. Siska males kalo buat brownisnya sama mereka, nanti Siska malah jadi nyamuk lagi" cewek itu mencebikkan bibirnya pada Vio dan Axel.
"Adek ipar sialan" cibir Vio membuat Axel menatapnya tajam.
"Ini bibir ngga bisa dijaga apa ya? Ngomongnya kok ngga pernah direm" tegur pria itu mencubit bibir Viona.
Naya dan Siska tertawa memandang wajah cemberut Vio atas teguran Axel. Sudah sering kali Naya mendapati Axel menegur Vio jika sahabatnya itu mengumpat atas apa saja yang membuat gadis itu kesal. Naya bersyukur karena sahabatnya itu menemukan pria seperti Axel yang dewasa dalam menyikapi sikap ambekan dan kekanakan Vio.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat, hati Naya merasakan ada yang kurang dalam hari harinya selama sebulan ini, tidak ada sedikitpun telpon atau bahkan sms singkat dari pria yang selama ini gencar mengirimnya chat. Jika saat itu Naya merasa bahwa itu adalah usikan untuknya, kini ia merasa pesan atau telpon dari Adam adalah separuh semangatnya. Tidak ada yang bisa Naya lakukan selain menyibukkan diri dengan mengajar atau berkunjung ke rumah Cahaya—teman sekalius rekannya yang juga merupakan guru.
"Lo kenapa?" tanya Cahaya heran, sembari tangannya meletakkan segelas teh hangat untuk Naya.
Naya mengendikkan bahunya "Gapapa, cuma kangen orang rumah aja" alibinya.
"Nanti pulang abis ujian anak-anak, nunggu sebulan setengah lagi"
"Iya, rencananya juga gitu" angguk Naya setuju. Ia justru berharap libur secepatnya supaya ia bisa memiliki pekerjaan yang dapat mengalihkan beban pikirannya saat ini.
"Tapi kalo gue perhatiin, yang bikin lo murung ngga itu deh. Lo galau karena dokter Adam ngga berkunjung ke sekolah lagi kan?" duga Cahaya. Sudah jadi rahasia umum ditempat Naya mengajar bahwa Adam-si dokter ganteng-selalu berkunjung ke sekolah swasta itu demi mendapat perhatian dari Naya.
"Adam lagi di Papua jadi salah satu dokter sukarelawan. Lagipula setelah Adam balik, dia ngga akan datang lagi buat nemuin gue" jelasnya yakin.
"Kenapa lo bilang gitu?"
"Gue ngga yakin aja. Mungkin setelah itu, dia juga ngga akan mau lagi ketemu sama gue" tambahnya lagi. Cahaya semakin bingung dengan ucapan Naya karena yang ia lihat selama ini, tidak ada kata menyerah dalam kamus hidup Dokter ganteng itu.
"Sebenarnya kenapa sih lo ngga mau nerima dokter ganteng itu buat jadi suami lo padahal dia kayaknya cinta banget sama lo? Kalo gue belum nikah nih ya, bakalan gue sikat sebelum ada yang nyamber duluan" kepo Cahaya semakin menjadi.
Naya tersenyum kecut "Gue punya satu alasan yang sangat memungkinkan untuk buat Adam ngga ngejar gue lagi" ujarnya sebatas itu.
"Tapi apa?" Cahaya yang masih kepo, tidak dapat membatasi dirinya dari kekepoan.
"Sorry Ca, gue ngga bisa cerita ke lo"
Cahaya tersenyum mengerti "Ngga apa-apa, ngga semua hal bisa dibagi. Gue tau lo bisa mutusin hal yang tepat untuk masalah lo"
"Makasih atas dukungan lo"
"Kamu dimana sayang?" suara bass dari Leo membuat Cahaya berteriak pada suaminya.
"Di kolam renang Mas"
Leo tersenyum memandang istrinya, kemudian mencium kening wanita itu dengan lembut “Mas-nya pulang kok ngga disambut sih” ujar pria itu.
“Ada Naya, Mas, ngga mungkin ditinggalin kan” ujar Cahaya membuat Leo mengalihkan tatapannya pada Naya.
"Hai Nay, udah lama disini?" sapanya.
Bicara tentang Cahaya dan Leo, keduanya adalah teman semasa kuliah Naya. Cahaya adalah teman yang ia kenal ketika les untuk memasuki perguruan tinggi dan pertemanan mereka berlanjut ke jenjang kampus hingga sata ini, sedangkan Leo adalah kenalan Naya yang dikenalkan oleh Cahaya yang memang sudah dekat dengan Leo sejak SMA. Sejak kuliah dulu, Naya sangat meyakini bahwa Leo dan Cahaya memiliki hubungan lebih dari seorang teman, dan ternyata dugaannya benar ketika melihat undangan yang dilayangkan padanya atas nama Cahaya dan Leo.
Naya tersenyum membalas senyuman Leo "Sejak pulang ngajar tadi Yo, rencananya mau nginap, soalnya sabtu kan ngga ngajar"
Leo tersenyum menggoda "Jangan salahin kita ya kalo lo denger desah-desah panas?"
Cahaya mencubit lengan suaminya "Apaan, orang aku lagi bulanan" desisnya menyadarkan Leo yang sebenarnya tahu dan ingat akan hal itu. Ia hanya memiliki niat menggoda Naya yang jomlo.
Leo mengacak-acak rambut istrinya gemas "Iya-iya tau sayang, Mas kan cuma godain yang jomlo" matanya melirik Naya dengan kekehan geli.
Naya terkekeh renyah, namun tidak berusaha menanggapi sedikitpun perkataan Leo. Ia cukup sadar diri bahwa dirinya memang jomlo, jadi tidak perlu ia permasalahkan jika Leo menyebutnya seperti itu.
"Aku buatin minum dulu ya mas" ujar Cahaya pamit.
Naya berdeham sejenak sebelum akhirnya menatap Leo setelah kepergian Cahaya "Gue mau nanya Yo" ujarnya ragu.
"Nanya apa?" tanya Leo penasaran. Naya sangat jarang membuka pembicaraan dengan izin seperti barusan.
“Kalau seandainya dulu, hanya seandainya” ujarnya hati-hati takut menyinggung Leo, namun setelah melihat anggukan Leo, ia jadi merasa yakin untuk menyanyakan hal itu “Seandainya dulu Cahaya punya masa lalu yang buruk dan sangat berpengaruh ke masa depannya sampai ngga bisa menerima pria yang mengejar-ngejarnya, kita contohkan itu kamu. Apa yang kamu lakuin waktu dia mengatakan alasan dia terus menolak kamu?”
Leo tampak berpikir untuk sejenak, tapi jujur ia bingung karena tak ada contoh yang pasti dari masa lalu yang Naya sebutkan, tapi ia mencoba menanggapi dengan sebijak mungkin “Jujur, sebenarnya masalah seperti ini agak sulit dinilai karena hal itu tergantung kepada pribadi seseorang. Aku bisa bilang iya sekarang, tapi mungkin aku bilang enggak jika dulu Cahaya memang memiliki masa lalu seperti yang kamu bilang, karena untuk beberpaa alasan, pasti ada pertimbangan dari orang yang menyampaikan masa lalu dan orang yang mendengar masa lalu tersebut” jelasnya sebagai seorang pria.
“Bahas apaan nih, sampai seserius itu?” Cahaya memecah keheningan antara Leo dan Naya.
“Ngga apa-apa, hanya sesuatu yang Naya pusingin” jelas Leo.
“Makasih atas jawaban kamu Yo” ujar Naya.
“Jawab apa? Kamu nembak suami aku?” tanya Cahaya sambil membulatkan matanya.
Naya mencubit perut Cahaya “Jangan ngawur” desisnya kesal.
Segila apapun Naya dalam kehidupannya, tidak pernah ada niatan untuk menikung teman sendiri, apalagi jika hubungannya sudah suami istri seperti Cahaya dan Leo, tapi ia bisa memahami pemikiran Cahaya yang seperti itu karena sifat Cahaya ini sebelas dua belas dengan Viona yang balk-blakkan.