Gara-Gara KTP

1136 Kata
Bu Aan dan Pak Sumitro kembali mengenang saat-saat pertama kali mereka mulai “berteman", warung kaki lima ayam bakar cap Jago adalah salah satu saksi bisunya. Waktu kembali flashback saat KTP Bu Aan sudah selesai diproses, setelah menunggu berbulan-bulan lamanya, karena antrean pembuatan KTP sedang cukup banyak. Pak Sumitro sendiri yang mengantarkannya, dengan alasan kontrakan Pak Sumitro, yang ditinggalinya hingga saat ini bersama istri dan anak-anaknya, satu arah dengan kediaman keluarga Bu Aan. Kala itu Pak Sumitro belum memiliki kendaraan roda dua yang sekarang ia pakai setiap pagi untuk berangkat ke kantor desa. Jadi, dari kantor desa sampai di rumah Bu Aan harus berjalan kaki. Jaraknya sejauh 700 meter, menggunakan jalur biasa, dapat menggunakan becak jika sedang beruntung, karena sangat jarang, dan agak memutar. Sedangkan jalan alternatif hanya 300 meter jika menggunakan jembatan menyebrangi sungai, yang relatif cukup membuat jantung berdebar saat naik di atasnya. Kenapa tidak, setiap kaki melangkah suara darit kayu saling beradu cukup memilukan. Jembatan ini salah satu jembatan proyek pengembangan desa, yang dananya masih tertahan. Sedangkan menuju kontrakan Pak Sumitro, hanya tinggal berbelok dari pertigaan sebelah utara, dan lurus sekitar 200 meter lagi. Melewati aliran sungai yang sama, namun jalur ini jembatannya sudah bagus dan menggunakan beton. Konon sungai ini adalah sungai buatan yang sudah ada sejak jaman Belanda. Bukan tanpa perjuangan, Pak Sumitro meraih rumah Bu Aan saat itu. Jalanan yang becek karena hujan rintik yang tak kunjung reda, membuat sepasang sepatu Pak Sumitro penuh tanah, dan menjadi cukup melelahkan saat digunakan berjalan. Belum lagi, Pak Sumitro yang lupa membawa payung membuat rambut dan bajunya menjadi lembab. Meskipun hanya hujan rintik-rintik yang tipis, jika terus menerus mengenai pakaian dan tubuh tentu akan basah juga. Agar tidak kebasahan, KTP yang akan diserahkan kepada Bu Aan diselipkan di saku jaket bagian dalam, sehingga selamat dari basah, sementara tas jinjingnya ia gendong menutupi bagian d**a di mana saku tadi itu berada. Begitu besar perjuangan Pak Sumitro, demi bertemu dengan calon istri, dan sudah menjadi istri sahnya sekarang. Terdengar suara pintu diketuk dari luar, kebetulan saat itu yang membukakan pintu adalah Bu Aan sendiri, tapi dia tidak tahu bahwa Pak Sumitro akan datang. “Waalaikumsalam,” Bu Aan menjawab salam. Dan dibukakannya pintu kayu dengan ornamen ukir cantik sebagai pemanis. Tampak wajah Pak Sumitro begitu sumringah melihat Bu Aan yang ada dibalik pintu itu, lalu diikuti senyuman manis di bibirnya. Sejenak mereka saling berpandangan, terdiam, dan tak berkata-kata, sudah berasa seperti sedang beradegan penuh cinta di serial drama remaja. “Cari siapa ya?” tanya Bu Aan polos, membuat rontok semua bunga-bunga yang tadi bermekaran di hati Pak Sumitro. “Eh..anu..eh maksudnya ini betul rumahnya Aan Komariah ya?” suara Pak Sumitro gugup. Entah karena pertanyaan Bu Aan yang menohok barusan, atau karena memandangi rambut Bu Aan yang indah, hitam, panjang, terikat model buntut kuda poni. “Iya, betul, saya sendiri,” Bu Aan menampakkan ekspresi agak terkejut sekaligus bingung. Pak Sumitro mulai kikuk dan salah tingkah, apa lagi sudah sejak tadi berdiri di ambang pintu, tanpa dipersilahkan masuk. Tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara, “Saha, Neng? (Siapa, Neng?) Suruh masuk atuh!” teriak orang dari dalam. “Ini ada petugas kantor desa!” seru Bu Aan membalas teriakan. Bu Aan dapat menebak dari pakaian seragam yang dikenakan laki-laki itu, ditambah lagi emblem yang terjahit rapi di saku dan bagian lengannya. “Oh, sok atuh masuk, Cep! Sok calik! (Silahkan duduk!)” kata orang itu mempersilakan, orang yang belakangan ia kenal sebagai Ibu mertua. “Makasih, Bu,” kata Pak Sumitro sopan. Lalu meletakan tasnya di bawah kursi. “Ada apa ya?” “Ini, Bu, KTP atas nama Aan Komariah sudah jadi,” Pak Sumitro merogoh saku, dan mengeluarkan kertas persegi berukuran kecil dari dalamnya, dan memberikannya pada ibu itu. “Oh... makasih atuh!” senyumnya. “Sama-sama, Bu! Kalau begitu saya mohon pamit.” Pak Sumitro kembali berdiri. “Aduh, mau kemana buru-buru? Gak minum dulu?” pertanyaan yang memiliki makna ambigu, antara tidak enak atau hanya basa-basi saja. “Lain kali saja, Bu. Sudah malam.” Jawab Pak Sumitro diplomatis. Setelah mengantarkan Pak Sumitro ke gerbang halaman, Bu Tatang segera masuk dan menutup pintu. Tidak banyak pembicaraan saat itu, apa lagi antara Pak Sumitro dan Bu Aan. Setelah ibu nya menerima Sang Tamu, alih-alih ikut duduk di ruang tamu, ia malah pergi begitu saja masuk ke dalam kamar. Setelah Pak Sumitro berpamitan, diam-diam dari balik jendela kamar, yang langsung mengarah ke jalan, Bu Aan mengintip dan memandangi kepergian Pak Sumitro dari dalam. *** Betapa kagetnya Pak Sumitro saat hendak berangkat kerja keesokan harinya, didapatinya tas hitam berbentuk persegi itu tidak ada di lemari biasa dia menyimpan. Dan baru menyadari, mungkin tas nya masih tertinggal di rumah Bu Aan, saat mengantarkan KTP kemarin. “Dasar bodoh!” gerutu Pak Sumitro sambil menepuk kening. Sebetulnya tidak masalah kalau dia harus kembali lagi ke sana, justru ia malah senang karena mendapat alasan, namun apa yang akan dikatakan orang rumah Bu Aan mendapati seorang petugas kantor desa sembrono, sampai-sampai meninggalkan tasnya begitu saja di rumah orang. Ia sangat malu. Mungkin begitulah takdir Tuhan ingin mempersatukan Pak Sumitro dan Bu Aan, setelah kejadian tas tertinggal itu, Pak Sumitro jadi bisa bertemu beberapa kali dengan Bu Aan. Tentu saja awalnya karena Bu Aan mengantarkan tas milik Pak Sumitro yang tertinggal di rumahnya, ia mengantarkannya ke kantor desa, sekalian berangkat sekolah di SMEA. “Kang, kehilangan sesuatu gak?” tiba-tiba Bu Aan remaja muncul di depan loket di mana Pak Sumitro sedang bertugas. “Eh, Neng Aan ya?” sapa Pak Sumitro pura-pura lupa, agak canggung, namun senyum kebahagiaan penuh cinta tak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Ini punya, Akang, bukan ya?” tanyanya lagi. Sambil menunjukan sebuah tas. “Oh iya betul, makasih Neng, maaf jadi merepotkan.” Pak Sumitro salah tingkah, mungkin Bu Aan memang benar-benar cinta pertamanya di Kota Bogor. “Gak Apa-apa, Kang, malah aku yang makasih, KTP nya sudah diantar sampai ke rumah. Padahal rencananya A Dadang udah mau ambil ke sini.” “Ah sudah biasa, Neng. Namanya juga aparat harus mengayomi masyarakat,” kata Pak Sumitro tampak canggung. “Ya sudah atuh, saya pamit dulu, Kang.” Bu Aan teringat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, dia hanya punya waktu setengah jam lagi sebelum lonceng sekolah berbunyi. Namun sebelum pergi, Pak Sumitro sempat berbasa-basi menanyakan di mana sekolah Bu Aan. Tak disangka saat jam istirahat makan siang, Pak Sumitro betul sengaja menyempatkan bertandang ke sekolah Bu Aan tersebut, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor desa. Kebetulan waktunya berbarengan dengan bubar SMEA. Pak Sumitro juga awalnya bingung mencari alasan kenapa ia datang ke sekolah Bu Aan, apalagi di sana sudah barang tentu banyak juga siswi-siswi lainnya, yang pasti akan menganggap aneh pada Pak Sumitro. Tapi kaki cinta lah yang mengarahkannya hingga sampai ke gerbang sebuah SMEA yang saat itu adalah satu-satunya sekolah tinggi di desa. Dan jarang yang sekolah hingga sampai ke jenjang ini tentunya, terutama gadis remaja desa itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN