BAB 3 [PART 1]

1118 Kata
Langkah Arthur melambat, melihat Reon yang tumben-tumbenan ada di rumah. Biasanya, kakaknya itu tidak pulang dan menghabiskan waktunya untuk berkencan dengan para gadis cantik yang ditemuinya di bar. Tetapi entah ada angin apa, Reon sedang duduk di meja makan bersama Raja dan Ratna. Mereka masih terdiam—belum memulai sarapan karena Arthur belum turun dari kamarnya. Dengan langkah malas, Arthur pun terpaksa menarik kursi disamping Reon. Keduanya saling buang muka, Reon malas harus bertatapan dengan Arthur. Begitupula Arthur yang tidak ingin membahas apapun dengan Reon. Hidupnya berantakan setiap kali berurusan dengan Reon. "Kalian ada masalah apa, sih?" Tanya Raja dengan intonasi nada tinggi. Dia tidak suka sarapannya terganggu. Ini bukan kali pertama suasana paginya buruk karena kedua anaknya. "Tanya aja sama anak Daddy yang satunya," ucap Reon kesal dan menunjuk Arthur yang terlihat tenang. Raja menatap Arthur yang sedang meminum susunya sambil memakan roti bakar yang baru saja disajikan di piringnya. Emosinya mereda, tidak mau mencari masalah dengan Arthur. Adu mulut di pagi hari dengan anak keduanya itu tidak akan ada habisnya. Bukannya jera, Arthur hanya akan menyangkal dan memojokkannya balik. Apalagi mood berdebatnya sedang tidak ada. Reon tampak kecewa karena Raja tidak menegur Arthur sama sekali. Reon ingin Raja menghukum Arthur karena sudah mempermalukannya di depan manajernya kemarin. Arthur selalu menggunakan mulutnya sesuka hati. Tidak ada yang Arthur takuti dari semua anggota keluarganya. Jadi, begitulah! Arthur hidup mengikuti kemauannya sendiri. Sesekali Ratna menatap Arthur yang tampak santai duduk bersama semua anggota keluarganya. Bahkan terlihat sekali jika Arthur tidak peduli kepada siapa saja orang yang sedang duduk bersamanya. Bahkan setelah selesai makan, Arthur beranjak tanpa ada kata pamit sama sekali. "Arthur," panggil Raja ketika Arthur hendak berjalan meninggalkan meja makan. Arthur menoleh sebentar, "ada apa lagi sih, Dad?" "Bisa lebih sopan sama Daddy dan Mommy? Kami sedang sarapan dan kamu tidak pamit sama sekali untuk pergi ke sekolah. Daddy tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat sesuka hati," dengus Raja tidak terima diperlakukan seperti itu oleh sang anak. Arthur tersenyum sinis, "memangnya apa yang sudah Daddy ajarkan dan berikan kepadaku atau Reon? Kami tidak belajar atau mendapatkan pelajaran dari Daddy. Kalau pun Reon bicara hal lain, dia hanya berusaha mempertahankan miliknya agar tidak jatuh padaku." Reon hendak beranjak dari kursinya, tetapi Ratna menghalanginya. Ratna tidak mau terjadi masalah yang akan membuat semua rencananya gagal. Apalagi Reon terlihat sedang tidak baik karena ucapan Arthur kemarin. Lagipula, Arthur tidak akan bicara seenaknya jika memang Reon tidak memancingnya. "Kamu memang tidak bisa dikasih tahu! Selama ini Daddy dan Mommy berusaha untuk banting tulang agar kamu dan Reon bisa hidup dengan baik. Kenapa kamu tidak pernah melihat sedikit saja kebaikan kami untuk kamu!" Marah Raja kepada Arthur karena sudah bertindak seenaknya. "Dad, banting tulang untuk merawat anak itu memang kewajiban. Daddy tidak berhak memaksa aku karena memang ini yang Daddy dan Mommy harapkan. Ketika kalian punya anak, maka kalian sudah memikirnya dengan matang. Bagaimana bisa membuat kehidupanku dan Reon menjadi lebih baik. Sama halnya dengan Reon, seharusnya dia berpikir terlebih dahulu, jika ingin menebar benih, harusnya mempersiapkan semuanya dengan matang. Jangan melimpahkan kesalahannya kepada orang lain!" Sindir Arthur. "Sialan!" Teriak Reon menggebrak meja makan. Ratna memejamkan matanya tidak tahan. Dia sudah mewanti-wanti Reon untuk tetap tenang. Karena karirnya hanya bergantung kepada Arthur saat ini. Raja memegang lengan Arthur agar tidak keluar dari ruang makan. Tapi Arthur dengan kasar melepaskan tangannya. "Aku mau berangkat sekolah," ucap Arthur dengan tatapan dinginnya. Raja menghela napas panjang lalu mengangguk singkat. Toh, memberi tahu Arthur tidak akan ada gunanya. Anak keduanya itu memiliki sebuah pendirian yang tidak mudah untuk dipatahkan. Mungkin itulah alasan terbesar Raja mempertimbangkan Arthur sebagai penerus perusahaan. Arthur meninggalkan meja makan tanpa pamit, seperti biasanya. Tidak ada salaman, cium tangan, apalagi adegan romantis ala-ala keluarga bahagia pada umumnya. Semuanya hanya khayalan yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Di depan rumah, motornya sudah terparkir setelah dikeluarkan oleh satpam yang berjaga. Setelah mengenakan jaket dan helm, Arthur memacu motornya ke sekolahnya. Namun, tujuannya berbelok. Dia tidak ingin berangkat ke sekolah hari ini. Arthur melajukan motornya dengan kecepatan sedang ke sebuah jalanan menuju pantai. Mungkin, pantai bisa membuatnya merasa lebih nyaman dan tenang tanpa adanya gangguan siapapun. Sekolah pun tidak akan senyaman dulu karena kabar antara dirinya dan Seina sudah menyebar. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk mencari tahu kapan acara pernikahan itu dilaksanakan. Arthur bosan dengan pemberitaan yang tidak ada habisnya. Dia merasa, jika orang-orang itu tidak perlu tahu tentang urusannya walaupun sudah direncanakan sebelumnya. Dia tahu jika ibunya sudah mengatakan rencana pernikahannya kepada pihak sekolah agar Arthur maupun Seina aman. Namun tetap saja, Arthur tidak suka semua masalah ini berpengaruh pada sekolahnya, pendidikannya. Waktunya bahkan dihabiskan untuk membaca, menghafal, dan berlatih dengan sungguh-sungguh. Dia tidak mau jika usahanya gagal total lagi—seperti impiannya untuk bisa masuk sastra yang ditolak habis-habisan oleh ayahnya. Arthur sudah meluangkan waktunya untuk belajar lebih keras dan total, jadi jika semuanya gagal karena pernikahan itu—mungkin Arthur akan sangat membenci Seina. Jajaran pantai terlihat menggoda di matanya, setelah membayar karcis masuk ke area pantai, Arthur segera memarkirkan motornya di sana. Dia tidak sempat membawa baju ganti karena tidak ada rencana datang. Tetapi tidak lengkap rasanya jika tak menceburkan dirinya ke dalam air. Arthur membeli dua setel pakaian—untuk dipakai ketika bermain air dan satunya lagi untuk dipakai pulang. Arthur tidak mau pulang memakai seragam sekolah. Sewaktu kecil, Marni sering mengajak Arthur untuk bermain air. Menemani Arthur melakukan study tour ketika SD yang seharusnya dilaluinya dengan orang tuanya. Ratna maupun Raja tidak pernah punya waktu untuknya sama sekali. Jadi, hanya Mirna yang bisa mereka tugaskan untuk menjaganya. Pantai selalu membuatnya merasa tenang, Mirna menjaganya dan selalu mengajaknya bermain walaupun ada banyak mulut teman-temannya yang mengata-ngatainya anak pembantu—karena bersama dengan Mirna. Bukan bersama dengan orang tuanya seperti teman-teman yang lainnya. Walaupun hanya seorang pembantu, tapi Mirna adalah perempuan yang merawatnya dengan tulus sejak dia masih bayi. Mencintainya layaknya seorang anak kandung. Arthur tidak akan pernah lupa bagaimana sikap Mirna yang begitu tulus dan sangat menyayangkan perpisahan diantara mereka. Arthur memesan salah satu tempat duduk untuk menikmati pantai. Tak ada yang menemaninya sekarang—hanya dirinya sendiri yang tersisa. Sebenarnya Arthur ingin masuk ke dalam pantai, berenang dan menatap langit biru. Sayangnya, tidak ada yang bisa menjagakan barang-barangnya. Arthur tidak mau dirinya sampai kecolongan dan barangnya raib untuk kedua kalinya. Ya, Arthur pernah kehilangan barang ketika pergi study tour waktu itu. Saat dirinya sedang bermain air dengan Mirna. "Bibi di mana sih? Kenapa pergi gitu aja? Arthur kangen sama Bi Mirna. Tolong kembali lagi ya, Bi." Lirih Arthur menatap hamparan pantai yang begitu indah. Ombak menggulung-gulung dan udara panas tergantikan dengan udara sepoi-sepoinya. Arthur duduk sambil menatap pantai yang tampak indah. Tidak lama kemudian ada beberapa pesan yang dikirimkan Seina. Arthur hanya menatap nama Seina saja, tetapi tidak bergegas membuka pesannya. Arthur tidak peduli, dia hanya butuh waktu sendiri. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN