BAB 2 [PART 2]

1140 Kata
Ratna Triatama—perempuan karir yang tidak pernah tahu tentang apa itu pekerjaan rumah, tugas seorang istri dan ibu, tidak tahu bagaimana mengurus suami dan anak, dan tidak bisa pula meruntuhkan dinding ego serta kekerasan hatinya. Ratna tidak tahu bagaimana harus bersikap pada remaja umur 17 tahun yang berbeda sekali dengan Reon. Siapa lagi jika bukan Arthur, si pemberontak. Mencari pengganti Mirna dalam dua hari ini ternyata lebih sulit. Bahkan tidak ada satu pelayan pun yang mau mengurus Arthur. Mereka takut dan tidak berani mendekati laki-laki itu. Apalagi jika sudah marah, tidak ada yang bisa mengendalikannya selain Mirna. Itu saja sudah banyak sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Ketika Ratna membawa beberapa pelayan baru untuk mengurusnya—yang dilakukan Arthur pertama kali adalah membentaknya, mengusir dengan kasar, atau membanting pintu kamarnya keras-keras. Jadi, khusus untuk pagi ini, Ratna lah yang harus turun tangan untuk membangunkan Arthur. Kegiatan yang biasanya dilakukan Mirna, harus dilakukannya jika memang ingin membuktikan bahwa Ratna juga bisa menjadi ibu yang baik. Sayangnya, belum sempat mengetuk pintu kamar anaknya, Arthur sudah membuka pintu. Ratna mundur dan tersenyum ke arah Arthur. Senyuman yang tidak pernah diharapkannya di pagi hari—terlalu kaku, dipaksa, dan penuh dengan intimidasi. "Ngapain?" Tanya Arthur dingin lalu memasukkan sapu tangan ke dalam kantung celana seragamnya. "Hm, Mommy mau bangunin kamu sebenarnya," ucap Ratna kikuk. Dia tidak pernah membangunkan Arthur sejak kecil. Mungkin ini adalah kali pertamanya. Arthur menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Laki-laki tersenyum sinis. "Mommy mau bangunin aku jam enam lebih dua puluh menit? Apa itu yang Mommy sebut bangunin anak yang mau berangkat sekolah?" Tanya Arthur tajam. Ratna menghela napas panjang lalu menatap jam tangan Arthur yang memang sudah menunjukkan angka enam lebih dua puluh satu—saat ini. "Mommy baru belajar lho, tolong lah dihargai sedikit." Ketus Ratna tidak terima. Arthur mengangkat kedua bahunya acuh lalu segera berjalan melewati Ratna begitu saja. Semakin lama dia dan Ratna berada dalam satu ruang yang sama, maka akan terjadi lebih banyak keributan. Bukankah Ratna suka sekali membesar-besarkan masalah? "Kamu kenapa sih, kurang ajar sama Mommy? Memangnya apa kelebihan Mirna dibandingkan Mommy? Kamu sama Mirna bisa patuh banget. Giliran sama Mommy, kamu kurang ajar. Kamu dikasih apa sama dia, yang Mommy enggak bisa kasih sama kamu?" Tandas Ratna sambil mengikuti langkah Arthur dari belakang. Arthur tidak peduli dengan apa yang Ratna katakan. Toh, ibunya itu akan diam dengan sendirinya jika sudah lelah memarahinya atau bertanya. "Arthur berangkat," ucapnya singkat setelah mengambil roti di piringnya dan bergegas menuju motornya yang sudah terparkir di depan rumah karena dikeluarkan oleh satpamnya. Sebelum benar-benar pergi dengan menggunakan motornya, Arthur memakan sarapannya terlebih dahulu di atas motor. Dia hanya tidak mau makan sambil diceramahi atau diomeli oleh Ratna. Setelah selesai menghabiskan rotinya, Arthur bergegas memacu motornya untuk segera sampai ke sekolahnya. Walaupun masih cukup pagi, tetapi Arthur bisa memanfaatkan waktu untuk pergi ke perpustakaan. Masih banyak buku yang perlu dia baca dan masih banyak soal yang perlu untuk dikerjakan. Di parkiran tampak sepi, hanya ada beberapa motor yang terparkir dan dua mobil yang berada di parkiran depan. Karena sekolah ini elite, maka tidak heran jika beberapa siswanya sudah memakai mobil. Arthur bisa saja membawa mobil, tetapi tidak efisien waktu—katanya. Arthur berjalan masuk, menembus lorong-lorong sekolahnya untuk menuju perpustakaan yang masih sangat sepi. Dia malas harus duduk sendirian di kelasnya, mendengarkan banyak ocehan tidak penting dari teman-temannya, atau mendengar keluhan tentang tugas, ulangan, dan kisah percintaan alay yang sangat membosankan. Ada baiknya Arthur menatap buku fisika atau kimianya untuk belajar, persiapan ujian minggu depan. Ada juga buku sastra terbaru yang baru datang kemarin, katanya. Mungkin, selepas pulang sekolah baru Arthur datang kembali ke perpustakaan dan membaca buku sastra itu. Meja Arthur berantakan dengan beberapa buku fisika dan kimia—menyalin beberapa rumus dan mencari beberapa referensi buku terbaik. Setelah cukup lama berada di perpustakaan, Arthur bergegas pergi ke kelasnya sebelum bel berbunyi. Namun, sepanjang lorong ramai. Arthur menatap ke kanan dan ke kiri karena sesekali mendengar namanya disebut-sebut. Mereka yang tadinya sibuk membicarakannya langsung diam dan menundukkan kepala. Tidak berani menatap Arthur. "Hah, si Tuan es itu akhirnya bakalan dijodohin sama Seina?" "Tapi cocok juga sih mereka, Arthur 'kan ganteng. Seina-nya juga cantik. Jadi, pas banget kalau mereka berdua dijodohkan." "Siapa yang bilang?" Bentak Arthur kepada kedua perempuan yang baru saja bicara berdua di dalam kelasnya. Semua orang yang berada di kelas XII IPA klasifikasi Matahari, menatap ke arah pintu—di mana Arthur berdiri sambil menenteng tas ranselnya dan membawa beberapa buku di tangan kanannya. "Siapa yang bilang? Aku tanya sama kalian," ketus Arthur menatap semua temannya. "Anu, tadi sempat dengar beberapa temannya Seina bilang. Kita baru aja tanya-tanya aja kok, enggak maksud untuk ngomong—" Arthur mengangkat tangannya ke udara, "udah! Aku enggak butuh penjelasan apapun dari kalian semuanya." Mereka semua diam, apalagi ketika Arthur masuk ke dalam kelas dan meletakkan tasnya. Setelah itu Arthur buru-buru keluar dari kelasnya dan menuju kelas XII IPA klasifikasi Merkurius. Semua orang yang berada di dalam kelas itu menatap Arthur yang masuk ke kelas mereka. Dengan kasar, Arthur menarik lengan Seina yang sedang duduk bersama dengan teman-temannya. Seina yang tidak siap hampir saja jatuh, namun tidak Arthur hiraukan. Baru setelah ingat jika Seina sedang hamil, Arthur menghentikan langkahnya. Menatap Seina yang sedang kesakitan. Raut Arthur berubah khawatir. "Apa yang sakit?" Tanya Arthur yang merendahkan suaranya. Seina yang diperlakukan dengan sedikit lembut langsung menunjuk lututnya yang sempat terkena ujung kursi. Arthur berjongkok dan melihat luka ringan di lutut Seina. "Sorry, aku enggak sengaja." Ucap Arthur yang menarik pelan tangan Seina untuk duduk di dekat lorong. Seina mengangguk lalu tersenyum tipis, "enggak pa-pa, Lo ngapain narik gue?" "Aku enggak mau ya, kalau semua rencana pernikahan kita sampai bocor kemana-mana. Aku dengar omongan mereka semua, jadi kamu jangan menguji kesabaranku juga. Pernikahan kita hanya atas dasar paksaan, bukan karena aku rela menikah sama kamu. Aku harap, kamu sadar diri. Kamu bisa 'kan membedakan mana yang ikhlas, mana yang cuma terpaksa?" Tandas Arthur sambil mengambil plaster luka di kotak P3K yang ditempelkan di setiap sudut sekolah. Seina menatap Arthur yang sedang mengobati lukanya. Setelah selesai, Arthur kembali berdiri di depan Seina. Perempuan itu menarik tangan kanan Arthur dan menempelkannya di perutnya. "Apa?" Tanya Arthur bingung ketika tangannya di tempelkan di perut rata Seina. "Kita bakalan menikah, apa setelah anak ini lahir, Lo bakalan punya anak juga sama gue? Anak kandung kita?" Tanya Seina yang membuatnya sedikit kaget. Arthur menarik tangannya, "jangan pernah bermimpi melakukannya denganku. Aku sama sekali tidak pernah tertarik melakukan hubungan seperti itu dengan orang yang tidak aku cintai. Lagipula jangan senang dulu, siapa tahu kita tidak jadi menikah." Arthur beranjak pergi meninggalkan Seina sendirian. "Gue bakalan membuat Lo jatuh cinta sama gue." Teriak Seina namun tidak membuat Arthur menoleh sama sekali. Arthur bisa jatuh cinta, namun bukan dengan Seina. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN