Bab 2

2009 Kata
Perempuan bermata cokelat itu merentangkan kedua tangan. Meregangkan tubuh di bawah matahari yang bersinar hangat pagi ini di sekitaran menara Eiffel. Membuang kekesalan karena dia melewatkan bridal shower sepupunya yang sudah dilaksanakan kemarin. Seandainya dia tiba beberapa jam lebih cepat, atau mungkin Toba beberapa hari sebelumnya, pasti salah satu upacara penting sebelum pernikahan itu dapat dihadirinya. Membuang napas dari mulut, Shreen menengadah. Menatap matahari musim gugur yang menerangi Paris. "Paris, I'm in love," (Paris, aku jatuh cinta) gumam Shreen. Perempuan muda itu memejamkan mata, menikmati sinar matahari yang menerpa wajahnya. Hanya sesaat, sebelum ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Nama sepupunya tertera di layar. Segera Shween mengangkat panggilan itu, dia tak ingin sepupunya yang mempunyai kemanjaan dilevel akut merajuk. Lagipula Angel sedang hamil, mungkin saja ada yang diinginkan calon ibu muda itu. "Shween di mana? Kok nggak ada di kamar? Angel di kamar Shween lho sekarang." Shreen menjauhkan ponsel dari telinga mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi itu. "Nggak pake salam langsung ngomong nggak pake koma!" Terdengar ringisan di seberang sana. "I'm sowwy." Shween menggeleng pelan. "I'm in Eiffel. Wanna join?" (Aku di menara Eiffel. Mau bergabung?) tawarnya asal. "Sure! Wait for me, okay?" (Tentu saja! Tunggu aku, ok?) Shreen terbelalak mendengar jawaban itu. Sungguh, dia hanya bercanda tadi, tidak sungguh-sungguh mengajak Angel kesini. Bagaimanapun dia tak ingin dituduh membawa kabur calon pengantin perempuan. Tergesa Shreen merapikan barang-barangnya. Setelahnya perempuan cantik itu berlari untuk segera mendapatkan taksi. Dia harus lebih dulu sampai di mansion Scholandvan sebelum Angel menyusulnya ke sini. . . . . . . . . . . Shreen menangkap buket bunga mawar merah muda yang dilemparkan Angel. Mendahului Pai dan Greysia yang juga ikut berebut. Shreen menjulurkan lidah pada kedua gadis itu setelah buket berada di tangannya. "They are mine!" (Bunga-bunga ini milikku!) ucap Shween dengan senyum mengejek terpatri di bibirnya. Mengabaikan Pai dan Greys yang bertingkah seolah mereka akan muntah, Shreen melenggang ke arah meja yang diduduki keluarga besarnya. Perempuan itu menunjukkan buket bunga yang berhasil didapatnya pada Nana. "Nana, Shween dapet ini." "Cantik banget, Sayang. Semoga kamu juga cepat dapat jodoh ya." Nana mengusap pucuk kepala bersurai hitam cucunya. Mata cokelat Shreen melebar, doa Nana sedikit mengerikan untuknya. Dia tak ingin menikah muda. Menatap Nana horor sekilas, Shreen hanya berani tersenyum tanpa membantah. Dia sangat menyayangi Nana dan tak ingin mengecewakan neneknya dengan memprotes ucapan tadi. Semoga cepat dapat jodoh? Shreen tersenyum kecut dalam hati mengingat ucapan Nana barusan. Jodoh? Siapa jodohnya? Entahlah. Tak terbayang siapa pun saat ini. Dia baru putus dengan kekasihnya beberapa hari yang lalu. Tepatnya beberapa saat sebelum dia bertolak ke Singapura. Sungguh miris, tapi Shreen tak peduli. Toh dia tak mencintai Yash, hanya sekedar menyukai saja. Pemuda India itu hanya pengisi kekosongan sesaat saja. Walaupun Yash pria pertama dalam hidupnya tapi bukan berarti cinta sejatinya kan? Lagipula dia yang memutuskan hubungan, bukan karena tidak ingin berhubungan jarak jauh tetapi alasannya lebih dari itu. Perasaannya pada Yash hanya sebatas suka saja, tidak berkembang lebih meski dia sudah memaksanya. Jadi, berpisah sebelum meneruskan ke jenjang yang lebih serius lebih baik bagi Shreen. Perasaan tidak bisa dipaksa. Permata cokelat itu menatap ke depan, di mana sepupunya sedang berdansa dengan sang suami. Shreen tersenyum manis melihatnya, Angel terlihat sangat bahagia. Shreen hanya berharap kebahagiaan sepupunya bertahan selamanya. Dia juga berharap semoga mendapatkan kebahagiaan yang sama besarnya seperti sepupunya. . . . . . . . . . . "Kok cepet banget baliknya?" Shreen mendengus mendengar protes itu. Dia sebenarnya juga tak ingin cepat pulang, ingin terus di sini menikmati Paris di musim dingin. Namun sungguh semua itu tak bisa. Dia harus segera kembali ke tanah air. Pekerjaan Daddy tak bisa menunggu lebih lama. Juga dia harus mempersiapkan diri untuk bekerja. Dia akan melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan di Singapura, dan dia belum membuat surat lamaran apalagi mengirimnya. Belum sempat. "Shween pulangnya nanti aja. Bareng Angel kalo bisa." Angel berusaha membujuk. "Berarti habis Angel lahiran dong." Shreen meringis. Angel mengangguk manis. "I wish I can." (Seandainya saja aku bisa) Shreen tersenyum masam. Guratan kecewa tak bisa disembunyikan dari wajah cantiknya. "You already know the answer, cous." (Kau sudah tahu jawabannya, Sepupu) Angel cemberut, bibir mungilnya mengerucut. Melihatnya, Shreen mengembuskan napas lelah. Sepupunya merajuk. Namun mau bagaimana lagi, dadddy sudah memesan tiket pesawat kelas bisnis untuk mereka. Penerbangan nanti sore. "I'm sowwy," ucap Shween penuh sesal. Memeluk erat Angel yang masih menggembungkan pipinya. "Hiks Shween jangan hiks pulang sekarang." Shreen makin mengeratkan pelukannya mendengar isakan itu. Mereka hanya saudara sepupu tapi kedekatan mereka melebihi kakak-adik. Dia bagaikan ibu kedua bagi Angel yang manja dan cengeng, padahal Angel lebih tua beberapa jam darinya. Angel juga yang pertama kali memanggilnya Shween saat mereka balita, sehingga sekarang nama itu menjadi nama panggilannya. Yeah, meskipun hanya untuk orang-orang terdekat saja. "Jangan nangis dong, kan mau jadi mommy bentar lagi." Shween merangkum wajah Angel, mengusap air mata di pipi perempuan itu. "I will call you when I arrive. I promise!" (Aku akan meneleponmu kalau aku tiba. Aku janji!) Shween tersenyum, menghapus kasar air mata yang tiba-tiba menuruni pipinya. "Beneran ya?" "Sure!" (Tentu saja!) Shween mengangguk pasti. . . . . . . . . . . Pria muda itu melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Sesekali tangan kirinya dengan lincah memindah-mindah tuas. Deru napasnya berpacu dengan suara mesin mobil yang meraung. Dia perlu menumpahkan kekesalan hatinya. Kesabarannya yang memang sedikit kembali diuji oleh kedua orang tuanya dengan lagi-lagi membicarakan rencana perjodohan dirinya dengan anak teman Mami. Seolah dia bocah ingusan yang masih belum bisa menentukan masa depan sendiri, seenaknya mereka mengatur hidupnya. Dia sudah dewasa, usianya dua puluh tiga tahun. Dia bisa mencari istri sendiri, tak perlu dijodohkan. Memangnya dia tidak laku apa? Orang tuanya tidak tahu saja, ribuan perempuan di luar sana mengantri walau hanya sekedar menjadi penghangat ranjang satu malamnya. "Fvck!" Dav Raymond meremas rambut hitamnya frustasi dengan sebelah tangan, yang berarti dia menyetir hanya menggunakan sebelah tangan yang lain. Dia tahu sangat berbahaya mengendarai mobil hanya dengan sebelah tangan, tapi dia sudah terbiasa. Predikat pembalap jalanan yang disandangnya membuatnya tak takut pada apa pun. Baginya, jalan raya adalah rumah kedua setelah apartemen tercinta. Lalu bagaimana dengan rumah tempat tinggalnya sendiri? Itu bukan rumah bagi Dav, melainkan penjara. Di mana dia harus menuruti semua yang diinginkan orang tuanya. Dering ponsel membuat Dav mengalihkan perhatian dari jalanan hanya untuk melirik benda persegi panjang tipis yang tergeletak di dashboard. Sedetik, dan itu sudah cukup untuk mengetahui siapa yang menelepon. Ada sedikit kelegaan saat dia melihat nama penelepon. Segera Dav meraih ponsel dan menggulir tombol hijau ke atas sebelum menempelkannya ke telinga. "Malam ini. Di tempat biasa, bro." Tanpa menjawab Dav langsung mematikan sambungan. Sekarang dia mempunyai tujuan. Tempat di mana dia biasa memacu adrenalin. Tempat yang membuatnya merasa bebas tanpa masalah apa pun. . . . . . . . . . . "When?" (Kapan?) "Tonight of course, babe." (Tentu saja malam ini, Sayang) Shreen terdiam, menggaruk pelipisnya berpikir. Dia baru kembali dari Paris tadi siang, dan malam ini Mikha sudah mengajaknya keluar. Entah ke mana, perempuan itu tak mengatakannya. Samikha Pradipta adalah seorang perempuan berdarah India sepertinya, hanya saja dia memiliki darah Indonesia dari sang ibu sementara Mikha sepenuhnya India tetapi tinggal dan menetap di Jakarta. Mikha adalah sahabatnya dan Angel yang sayangnya tidak bisa menghadiri pernikahan Angel karena suatu alasan. Dan mendengar dia sudah kembali ke tanah air, perempuan berusia dua puluh satu tahun itu langsung mengajaknya keluar. "How?" (Bagaimana?) Pertanyaan Mikha di telepon kembali membuat Shween terfokus pada ponselnya yang masih menempel di telinga. "Kita mau pergi ke mana emang?" Pertanyaan dibalas pertanyaan. Great, Shween! Perempuan muda itu tersenyum manis. Dia tidak akan menuruti ajakan Mikha semudah itu. Masih jetlag dan lelah adalah alasan yang sangat tepat seandainya Mikha memaksanya nanti. "It is secret!" (Rahasia!) sahut Mikha terkekeh. "No secret! Atau kita nggak jadi pergi!" (Tidak ada rahasia-rahasiaan!) Terdengar Mikha mengerang di seberang sana mendengar ancamannya. Oh ayolah, dia sangat tahu kelemahan sahabatnya itu. Mikha tidak akan pernah mau pergi keluar tanpa dirinya. Karena tanpa dia, keluar tak akan ada artinya. Dia seorang bintang di mana pun dia berada. Shween memukul kecil kepalanya, merasa bodoh dengan kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi. "Ugh okay..." (Uh baiklah) "So?" (Jadi?) potong Shween. Menurutnya, Mikha terlalu lambat dalam menjawab pertanyaannya. "We will go to watch illegal street racing tonight!" (Kita bakalan nonton balapan liar nanti malam) Dan setelahnya Shreen mendengar pekikan kegirangan Mikha menggema di ponselnya. Segera perempuan cantik itu menjauhkan ponsel dari telinga atau pendengarannya akan bermasalah selama beberapa jam ke depan. "Shut up you, bish! Berisik tau nggak!" bentak Shween kesal. (Diam kau!) "Tapi kita jadi pergi kan?" "Well, I don't know." (Entahlah tapi aku tidak tahu) Shween memutar-mutar ujung rambutnya menggunakan telunjuk. Senyum menggelayut di bibirnya. Menggoda Mikha beberapa saat lagi sepertinya menyenangkan. "Masih jetlag nih..." "Shween, please..." Shween terkikik tanpa suara. Dia dapat membayangkan bagaimana wajah memelas Mikha saat ini. "Nggak seru nggak ada kamu..." Shween memutar bola mata bosan. Alasan tak masuk akal, dengusnya dalam hati. "Really? Bukannya kamu bakalan kayak anak hilang ya kalo nggak ada aku?" Shween yakin Mikha pasti meringis di seberang sana setelah mendengar kata-katanya barusan. Dan jangan lupakan garukan tak etis di kepalanya. "Yeah you know lah..." (Ya kau tahu lah..) See? Shween menghela napas. "Up to you lah." Shween mengedikkan bahu malas. Sungguh, saat mengatakan masih jetlag dia tidak berbohong. Namun menolak ajakan Mikha juga rasanya tak bisa dilakukannya. Kata-kata balapan liar sungguh membuatnya penasaran. Jadi sedapat mungkin dia akan menekan jetlag yang madih dirasakannya. Bodoh memang, padahal tadi dia mati-matian dia ingin menolak tetapi justru mengiakan ajakan Mikha. Shreen hanya menolak di dalam hati saja. Dia terlalu suka dengan sesuatu yang berbau tantangan, dan balapan liar terdengar sangat menantang di telinganya. Dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Shreen mengerang, menyumpahi dirinya di dalam hati yang bisa dengan mudah tergoda hanya karena kata-kata balapan liar. Astaga! Shreen memang sangat menyukai tantangan, karena itu dulu dia mendekati Dav. Meski hanya di dunia maya, tetapi dia merasa sangat tertantang untuk menaklukan seorang Dav Raymond yang cuek tapi butuh. Sesuai perkiraannya, tak mudah membuat Dav bertekuk lutut padanya. Meski mereka sudah bersama, Dav masih sering bermain api bahkan secara terang-terangan. Beruntung hanya di media sosial, seandainya saja di dunia nyata dan mereka dapat bertemu, pasti sudah dihajarnya kedua orang itu. Mereka tidak tahu saja bagaimana kalau harimau betina India mengamuk. Shreen terkikik. Perjumpaan dirinya sebagai seekor harimau betina sepertinya sedikit berlebihan. Dia tidak seganas binatang karnivora itu. Dia lembut dan keibuan. Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Angel sepupunya. Shreen membaringkan tubuhnya kasar di atas tempat tidur. Mata cokelatnya terpejam rapat. Dia perlu istirahat dan tidur beberapa saat sebelum pergi bersama Mikha. Lagipula ini masih sore, masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum Mikha dan Arnavh menjemputnya. Arnavh Raj adalah kekasih Mikha yang juga merupakan sahabatnya sejak mereka bersekolah di sekolah taman kanak-kanak. Setahunya Arnavh adalah tipe pemuda posesif, tidak mungkin Arnavh membiarkan Mikha pergi sendirian, apalagi ke tempat yang berpotensi penuh dengan sesuatu yang mengundang ... kejahatan? Shreen membuka mata. Benarkah arena balapan liar tempat yang tidak baik? Lalu kenapa dia menuruti ajakan Mikha untuk pergi ke tempat yang mengundang kejahatan? Shreen menggeleng pelan. Tentu saja tempat itu bukan tempat yang baik, dari namanya saja sudah menggambarkan suasana tempat itu. Kata ilegal yang berarti tidak sah pastilah berhubungan dengan sesuatu yang melanggar hukum. Shreen mengembuskan napas, semoga tidak terjadi sesuatu pada mereka nanti malam. Dia tidak ingin terlibat kedalam hal yang melanggar hukum. Keluarganya tentu tidak akan membiarkannya kalau tahu. Dia juga tidak akan melakukan hal buruk yang akan mencoreng nama keluarganya. Keluarga Roshan memang tidak sekaya keluarga Jensen yang memiliki perusahaan di mana-mana. Daddy hanya memiliki satu perusahaan di ibukota dan satu di luar kota. Namun begitu cukup untuk menghidupi keluarga mereka dan beratus-ratus keluarga lain bekerja di sana. Meskipun begitu nama keluarga Roshan tidak pernah tercoreng, nama keluarga mereka selalu baik dan bersih. Shreen bersyukur akan hal itu. Shreen kembali memejamkan mata. Kali ini dia benar-benar akan tidur sebentar, dia mengantuk. Tadi beberapa kali dia menguap. Tak lama terdengar dengkuran halus darinya. Napas Shreen juga mulai teratur pertanda dia sudah mulai berkelana ke alam mimpi. Waktu tidur yang hanya sebentar, karena beberapa menit kemudian Mikha sudah menjemput Shreen dan siap mengajaknya pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN