"Larriant, apa kamu sadar nilai ulangan kamu jadi yang paling rendah di semester ini? Kenapa?"
Lova mencurahkan fokus penuhnya pada seorang anak bermata abu gelap yang kini tengah duduk di depannya dengan sikap acuh.
"Takdir kali, Bu," jawabnya terdengar malas.
Bukan hal baru jika Larriant bersikap kurang ajar seperti ini. Sebagai wali kelas, Lova jelas tahu bahwa Larriant adalah siswa paling angkuh yang pernah ia kenal. Dari awal Lova tidak menyukai muridnya, walaupun terkesan tidak rasional karena seharusnya seorang guru tidak membeda-bedakan muridnya namun lova memiliki alasan tersendiri kenapa dirinya tidak pernah menyukai Larriant.
"Saya tahu engga akan ada gunanya bicara sama kamu, jadi saya sudah menghubungi orang tua kamu untuk datang kesini," balas Lova.
Bisa ia lihat bagaimana Larriant terkejut mendengar ucapannya, muridnya itu bahkan langsung berdiri dengan tatapan menghunus tajam.
"Harusnya Ibu engga lancang ngelakuin itu," desisnya.
Lova mendongak angkuh, tidak merasa terintimidasi sedikitpun dengan sikap anak muridnya itu.
"Harusnya kamu tahu cara bersikap sebagai murid dan tidak mengancam gurumu sendiri," ujar Lova tenang.
Pria muda di depannya itu berdecih hingga beberapa orang guru menatap terkejut ke arah mereka.
"Cuma pegawai biasa yang gajinya engga seberapa tapi berani ngusik saya. Ibu akan menyesal karena sebentar lagi Ibu akan jadi pengangguran," ancam Larriant.
Mendengar ucapan itu, darah Lova mendidih. Rasanya dia ingin langsung menjatuhkan anak muridnya itu dengan jurus karate yang dia punya, namun akalnya masih berjalan karena saat ini dirinya masih di sekolah dan tidak ingin membuat masalah yang berarti. Maka yang ia lakukan justru tertawa pelan dengan tatapan menantang yang ia arahkan pada muridnya itu.
"Saya akan tunggu itu terjadi, Larry. Atau mungkin sebelum itu terjadi, kamu malah sudah mendapat masalah lebih dulu?"
Lova sadar betul jika ucapan dan tindakannya sudah membuat putra mahkota itu geram. Namun Lova sama sekali tidak takut, dia justru semakin ingin membuat anak ini merasakan pelajaran hidup yang sebenarnya. Bukan hanya mengangkat wajah tinggi-tinggi hanya karena dia berasal dari keluarga kaya.
"Dasar rendah."
Ucapan lirih itu nyaris membuat akal sehat yang Lova pertahankan beberapa menit belakangan itu musnah kalau saja kepergian Larriant tidak segera digantikan oleh kedatangan Anzelo, murid yang paling pintar di kelasnya.
"Apa dia buat masalah lagi, Bu?" tanya Anzelo.
Tangan anak itu menaruh tumpukan kertas di atas meja wali kelasnya.
"Ibu cuma memberitahu kalau Ibu sudah memanggil orangtua Larriant terkait nilai Larriant yang merupakan paling rendah di kelas," jawab Lova.
Dia tidak heran saat mendapati raut terkejut dari Anzelo saat mendengar ucapannya itu.
"Apa..ibunya akan datang?" tanya Anzelo pelan.
Lova diam-diam tersenyum tipis, "Ibu kurang tahu, mungkin seperti biasanya Ibunya akan sibuk. Yang datang mungkin Neneknya atau mungkin juga Ayahnya," jawabnya kemudian.
Anzelo mengangguk pelan dengan kaku. Kemudian setelah mengatakan tujuannya tadi datang menemui Lova, Anzelo pamit untuk kembali ke kelasnya.
Meninggalkan Lova yang terdiam dengan kedua tangan terkepal kuat.
Sulit rasanya saat dirinya harus bertahan dari apa yang paling dia benci di dunia ini. Namun untuk sekarang tidak ada yang bisa Lova lakukan selain melakukan tugas yang ia miliki sebaik-baiknya.
Bagaimana pun dia tidak ingin membuat kakaknya kesulitan dan terlibat dengan masalah miliknya. Itu karena hanya dia yang tahu 'ini', dia sengaja tidak melibatkan Livya karena kakaknya tidak akan bisa memiliki pemikiran yang sama dengan apa yang ia miliki saat ini.
Setidaknya Lova tidak ingin apa yang sudah ia rencanakan gagal begitu saja saat kakaknya tahu.
__
"Tante engga nyangka kalau kamu mau datang. Kenapa engga telepon dulu? Tante kan bisa siapin makanan yang kamu suka karena kita udah lama engga makan bareng," Diva tersenyum hangat pada gadis yang digadang-gadang akan menjadi calon menantunya itu.
Sedangkan Gema tidak beraksi apapun semenjak Venus datang tanpa kabar ke kediaman mereka.
"Tadinya aku mau ngajak Gali makan siang bareng, tapi katanya dia ada janji sama client penting jadi Gali minta aku buat kesini aja ketemu sama Tante," jawab Venus ceria.
Diva mengangguk sambil mengunyah pelan makanannya.
"Iya, belakangan ini Gali memang lagi sibuk banget karena akan ada pembangunan resort baru di puncak. Ayahnya engga bisa kasih proyek itu ke kakak-kakak nya, makanya Gali yang jadi repot. Tolong dimaklumi ya, Ven," balas Diva.
Mendengar kalimat Diva, Venus langsung memasang wajah manis sebagai jawaban.
"Iya, Tan. Aku bisa ngerti kok, aku juga engga mau terlalu jadi beban buat Gali. Apalagi sampai bikin dia kelelahan karena harus bagi waktu antara aku sama kerjaannya, walaupun sekarang kami jadi jarang ketemu karena aku juta harus keliling dunia tapi itu engga masalah. Toh nantinya kalau sudah menikah kami bisa ketemu setiap hari," timpalnya percaya diri.
Melihat bagaimana teman masa kecil adiknya itu berbicara dengan penuh rasa percaya diri membuat Gema merasa kesulitan untuk menikmati makan siangnya.
Bukan dia membenci Venus, dulu dia juga sering bermain bersama dengan Venus yang merupakan teman akrab Gali, adiknya. Namun semenjak ada rencana perjodohan dan menyadari bahwa Galilleo tidak menyukai Venus lebih dari teman, membuat Gema otomatis kehilangan rasa simpatinya pada Venus.
"Gali belum mau menikah buat sekarang, tanggung jawabnya di perusahaan lumayan besar. Apalagi ada Kak Betrand dan Kak Noel bersaing buat ambil alih perusahaan, bukan waktunya Gali untuk santai dan memikirkan pernikahan," sahur Gema tanpa menatap ke arah Diva ataupun Venus.
Senyum yang dipertahankan Venus sedei tadi langsung hilang setelah mendengar ucapan dari wanita yang ia yakini akan menjadi kakak iparnya itu.
"Tapi Kakak sendiri juga tahu kan kalau pernikahan aku sama Gali malah akan berguna untuk perusahaan? Jadi aku pikir Gali akan dengan senang hati memikirkan tentang pernikahan ini," balas Venus.
Gema tersenyum miring, dia menggeser piring miliknya menjauh dan memposisikan tubuhnya menghadap ke arah Venus yang duduk berdampingan dengan Ibunya.
"Sepertinya kamu salah mengerti, Ayah melakukan perjodohan antara kamu dengan Gali bukan semata-mata karena perusahaan. Ayah berpikir kamu orang yang pantas untuk Gali, dalam hal ini mungkin tentang status yang kamu miliki. Tapi sekalipun tidak ada perjodohan diantara kalian, perusahaan kami akan tetap baik-baik saja," bantah Gema.
Venus membulatkan matanya. Bibirnya bergetar, terkejut mendengar ucapan dari Gema tadi. Ia berbuat membalas, tapi Diva yang menyadari ada hawa yang tidak pantas di meja makan tempat mereka sekarang, langsung berdeham keras.
"Ibu rasa kita disini untuk makan siang, bukan untuk menentukan apa yang pantas dan tidak pantas. Dan soal perjodohan, ini sudah ditentukan sejak kalian masih kecil. Tapi ucapan Gema benar, kalau Ayah Gali tidak melakukan perjodohan ini untuk mengambil keuntungan dari perusahaan Papa kamu Venus. Jadi Tante minta tolong, jangan berpikir seperti itu karena Tante kurang nyaman mendengarnya," ujar Diva dengan senyum keibuan yang ia tunjukan.
Venus mengangguk lemah, "Baik, Tante. Maafkan Venus," balasnya.
__
"Apa kamu akan langsung kembali ke kantor setelah ini?"
Galilleo yang sedang menyesap kopi dari cangkirnya itu mengangguk.
"Masih banyak yang harus aku kerjakan di kantor, Mas," jawabnya.
Pria berpenampilan rapi di depannya itu tertawa kecil.
"Kamu selalu sibuk sejak kakak-kakak kamu memilih pasangan hidup yang salah," sahutnya dengan senyum jahil.
Galilleo mendengus pelan dengan senyum kecil.
"Makanya Mas seriusin dong deketin Kak Gema, biar seenggaknya aku punya satu kakak ipar yang normal," katanya.
Kenan, seorang Dokter bedah yang bekerja di rumah sakit milik keluarga Abraham itu tertawa dengan pipi yang merona.
"Kamu pikir kakak kamu itu gampang didekati? Dia terlalu banyak melihat kelakuan gila dari kedua kakak ipar mu sehingga dia juga ketakutan menikah karena takut salah pilih pendamping hidup," ujarnya masam.
Galilleo mengangkat bahunya, "Itu tugas Mas dong buat yakinin Kak Gema kalau Mas berbeda. Atau kalau Mas engga berhasil, bisa-bisa Kak Gema jadi perawan tua beneran."
Kenan mendelik mendengar ucapan ngawur Galilleo.
"Sembarangan banget kalau ngomong! Sayang banget kalau cewek secantik kakak kamu itu malah engga nikah sama sekali," tegur nya.
Galilleo terkekeh geli melihat raut tidak terima dari pria di depannya.
Beruntung dia bisa bertemu dengan Kenan di tempat ini setelah menemui kesulitan saat bertemu dengan salah satu client miliknya. Setidaknya pikiran yang tadinya kacau itu bisa sedikit mencair saat berbicara dengan Kenan.
"Tapi kenapa Mas Kenan suka banget sama Kak Gema sih? Bukannya di rumah sakit banyak juga dokter koass yang cantik-cantik?" Galilleo menaik-turunkan alisnya bermaksud menggoda.
Namun pria tampan di depannya itu malah berdecak keras sambil mengibaskan tangan.
"Engga ada yang secantik kakak kamu, Gal. Dan bukan cuma itu, aku suka sikap tegas dan engga gampang goyahnya itu loh. Kakak kamu itu cewek yang punya prinsip kuat, susah cari cewek yang begitu di jaman sekarang," balasnya yakin.
Galilleo mengulum senyum, jika pria lain yang mengatakan seperti itu depannya mungkin Galilleo akan menganggap itu hanya upaya menjilat agar Galilleo mau merestui pria itu dekat dengan kakaknya. Namun karena yang berkata seperti itu adalah Kenan yang sudah sejak dulu ia kenal dengan baik, maka yang Galilleo rasakan adalah rasa haru yang sulit dijabarkan karena ada pria yang begitu menyukai kakaknya hingga seperti ini.
"Maju aja, Mas. Aku dukung kok. Ayah juga akan kasih restu kalau itu Mas Kenan," ujar Galilleo yakin.
Kenan tampak salah tingkah dengn menggaruk belakang kepalanya.
"Ini juga maju terus kok, Gal. Tapi kakak kamu itu malah kerjaannya jalan mundur terus, kapan aku bisa sampai di depan dia kalau dia cuma mundur dan menghindar," jawabnya lesu.
Galilleo tertawa, dia bangun dari duduknya dengan tangan mengancingkan tuxedo yang dipakainya.
Kakinya melangkah mendekat hingga sampai di samping Kenan dan menepuk pundak pria itu pelan.
"Jangan nyerah, aku akan bantu supaya Kak Gema engga nikah sama cowok lain selingkuh Mas," katanya memberi semangat.
__