T U J U H

2135 Kata
“Ayah, Ayah, bangun. Ini udah pagi.” Samar-samar Faiz mendengar suara anak kecil. Ia membuka mata dan melihat Noah yang berdiri menghadapnya. Anak kecil itu bahkan sudah berseragam sekolah. Faiz mendudukkan dirinya. Ia rupanya tertidur di sofa panjang kamarnya. “Ayah kenapa tidur di sini?” tanya Noah. “Sekarang jam berapa?” tanya Faiz. Ia mengabaikan pertanyaan putranya. Pertanyaan Noah tidak penting baginya. Noah melihat jam tangannya. “Jam 7, Ayah,” jawabnya. “Apa!” Faiz segera bergegas. Ia kesiangan. Ia pergi begitu saja meninggalkan Noah. Sepeninggalan Faiz. Noah beranjak keluar kamar dengan wajah yang ditekuk. Dia merasa sedih karena dia merasa ayahnya tidak memperdulikannya. Ayahnya bahkan tidak menjawab pertanyaanya. Ayahnya hanya sibuk soal kerjaan. Ayahnya terlalu sibuk dan melupakan dirinya. Dia sedih. Dia seakan terlupakan. Ayahnya lebih mementingkahan perkerjaan dari pada dirinya. Dia diacuhkan sang ayah. “Loh kok pag-pagi cemberut?” tanya Khadijah saat Noah sampai di meja makan. Dia melihat cucunya itu murung, tampak sedih. Noah menggeleng. Dia kemudian duduk di kursi sebelah Omanya. Dia tidak mau bilang soal rasa sedihnya. Dia mau pendam saja. Dia tidak mau bercerita apapun kepada omanya. Khadijah menghadap Noah. “Pasti ada sesuatu kan, ayo cerita sama Oma.” Khadijah curiga cucunya ini memandam sesuatu. Tak baik anak kecil menyimpan masalah. Entah masalah apapun itu. Makanya khadijah ingn cucunya bercerita kepadanya. “Enggak ada,” ucap Noah sambil meraih sarapannya. Noah merasa rasa sedihnya tak perlu dia bicarakan. Dia sudah merasa sudah besar dan lebih baik memendam rasa sedihnya. “Jangan bohong. Nanti hidungnya panjang loh kalo bohong.” Khadijah mencoba membuat lelucon agar cucunya tertawa. Supaya terhibir dan wajah murung cucunya itu memudar. “Aku bukan pinokio.” Khadijah tertawa. “Kalau bukan pinokio terus apa?” Noah menoleh. Dia menatap Omanya. “Kenapa sih, ayah gak sayang sama aku? Kenapa sih, ayah gak suka sama aku? Kenapa sih, ayah selalu sibuk dan lupa sama aku? Aku salah apa sama ayah Oma? Kenapa ayah gak kaya ayah temen-temen aku yang baik, yang perhatian?” tanyanya. Dan air mata Noah pun menetes jatuh begitu saja. Sudahlah, dia katakan saja. Toh omanya ingin tahu. Dia juga butuh jawaban kenapa ayahnya mengabaikannya? Khadijah terdiam. Dia terkejut mendengar pertanyaan Noah. Dia tidak menyangka Noah akan mempertayakan hal tersebut. Dan Khadijah pun jadi tahu ternyata dibalik kesedihan Noah penyebabnya adalah Faiz. “Kenapa Oma?” tanya Noah lagi. “Kenapa? Hiks___” Khadijah tersenyum. Dia sedih sebetulnya namun dia tidak ingin cucunya melihat dia menangis. Khadijah menggapai pipi Noah. Dia mengapus air mata Noah. Lalu memeluk Noah sambil mengusap kapala Noah. Dia memberikan ketenangan. “Noah, ayah itu sayang banget sama Noah. Noah tau, saat Noah masih bayi. Ayah Noah selalu menjaga Noah. Gendong Noah saat nangis. Buatin s**u untuk Noah. Ayah Noah sangat sayang sama Noah. Noah gak boleh ngomong kaya tadi ya. Kalau ayah Noah denger, nanti ayah Noah sedih.” Noah melepaskan pelukan Omanya. “Tapi itu dulu, gak sekarang,” katanya dengan kekecawaan. “Ayah gak sayang Noah lagi. Hiks___” Khadijah tersenyum. “Dulu dan sekarang sama Noah. Mungkin sekarang ayah Noah sibuk. Oma janji, nanti Oma akan bilang ke ayah kamu supaya gak terlalu sibuk dan bisa main sama kamu. Ayah Noah itu sayang banget sama Noah. Peduli sama Noah. Pokoknya Oma janji akan bilang ke ayah kamu agar gak sibuk lagi, bisa main lagi sama Noah, dan ajak Noah jalan-jalan juga. Noah jangan sedih lagi ya.” “Janji,” ucap Noah sambil menunjukkan jari kelingkingnya. “Iya, Oma janji,” balas Khadijah sembari menautkan jari kelingkingnya dengan Noah. Lalu ia memeluk Noah dengan erat sambil mengusap kepalan cucunya itu dengan cinta dan kasih sayang. *** Faiz menuruni anak tangga. Ia sudah bersiap untuk berangkat kerja. Ia sudah terlambat sebetulnya jadi ia sangat terburu-buru. “Faiz,” panggil Khadijah saat dia melihat Faiz yang melintas begitu saja melewati meja makan. Faiz berhenti melangkah dan ia menoleh melihat ke arah mamanya. “Iya,” sahutnya. “Sarapan dulu.” “Udah gak ada waktu Ma, Faiz udah telat.” “Ya udah. Tapi kamu tunggu Noah dulu, dia belum selesai sarapan.” “Faiz juga gak bisa nganterin Noah ke sekolah. Faiz udah gak ada waktu. Noah diantar sama supir papa aja.” “Tap---” Khadijah tak sempat menyelesaikan ucapnnya, Faiz langsung memotong omongnya. “Faiz berangkat, assalammualaikum.” Faiz beranjak pergi. Ia tidak memikirkan perasaan anaknya yang mungkin akan sedih kerena tidak mengantarnya ke sekolah. Yang ia pikirkan hanya soal pekerjaanya. Ia ada jadwal pembedahan hari ini. Dan harusnya operasi pembedahan itu sudah harus dilakukan sesuai jadwal yaitu pukul 7 pagi. Namun jadi tertunda karena ia kesingan. Sepeninggalan Faiz. Khadijah memandangi wajah Noah yang tampak murung. Dia tahu cucunya itu pasti sedang sedih karena hari ini ayahnya tidak mengantarnya ke sekolah. “Faiz benar-benar keterlaluan,” benak Khadijah. “Noah,” ujar Khadiah. Noah menoleh. “Iya Oma, kenapa?” tanyanya. “Hari ini Oma anterin kamu ke sekolah ya.” “Gak usah Oma.” “Kenapa?” “Noah diantar sama pak supir aja.” “Noah sedih ya gak dianterin sama ayah?” “Enggak.” “Tapi kenaapa wajahnya ditekuk gitu.” “Noah kecewa aja,” ucap Noah jujur. Dia turun dari kursinya. Dia memandangi wajah Omanya sebentar sebelum dia beranjak pergi meninggalkan meja makan. Khadijah tidak menyusul Noah. Dia hanya terdiam. Dia merasa kasihan pada cucunya. Sepertinya dia memang harus berbicara pada Faiz. Kalau dibiarkan terus menurus, bisa-bisa nanti Faiz dan Noah akan menjadi seperti Faiz dan ayahnya. Tidak ada keakraban dan jadi berselisih paham. Tidak ada kehangatan dalam hubungan ayah dan anak. Khadiah tidak mau hal seperti itu terjadi pada Noah. *** Faiz telah sampai di rumah sakit. Ia segera menuju ruang operasi. Sampai di sana ia dan rekan kerjanya memulai pengoperasian. Sekitar satu jam lebih, operasi selesai. Operasi berjalan dengan lancar. Saat Faiz ke luar ruangan tak sengaja ia berpapasan dengan Humairah. Entah kenapa saat ini rasanya berbeda. Jika biasanya ia bertemu Humairah maka ia tidak akan peduli. Namun hari ini ia melirik wanita itu hingga tak berkedip. Humairah ingin menghindarinya, tapi saat wanita itu ingin pergi Faiz mencekal tangannya. “Tunggu,” ucap Faiz. Langkah Humairah terhenti namun ia tidak menoleh untuk melihat Faiz. Faiz berjalan menghampiri Humairah, ia berdiri di hadapan Humairah. “Ada yang ingin aku katakan.” Humairah diam saja-menunggu Faiz berbicara. “Aku mau, hubungan kita tidak diketahui orang lain. Jangan pernah kamu berani bercerita tentang aku yang melamar kamu. Cukup diantara kita saja yang tau.” Perkataan Faiz membuat Humairah bingung. Ia tidak mengerti kenapa Faiz ingin merahasiakan hubungan mereka. “Tap---” Baru saja ingin Humairah tanyakan alasannya kenapa. Tetapi Faiz sudah keburu pergi. *** Beberapa hari telah berlalu. Pada sore hari ini. Faiz kembali datang seorang diri untuk menemui Humairah. Ia datang tiba-tiba tanpa memberitahu dulu ke Humairah ataupun ke Hasan. Ia datang menemui wanita itu karena atas permintaan papa dan mamanya. Tidak mungkin ia datang karena niatnya sendiri. Mustahil jika hal itu terjadi. Saat Humairah mendengar ketukan pintu dari luar rumah. Ia segera membuka pintu dan ia langsung berpapasan dengan wajah pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Rupanya yang bertamu itu adalah Faiz. Pria tampan dengan gelar seorang dokter muda yang jenius. Humairah sedikit kaget saat melihat Faiz di hadapannya. Jujur saja perasaannya tiba-tiba jadi gugup dan detakan jantungnya meningkat. Apalagi pria tampan itu menatap tepat di matanya. "Maaf, menggangu waktu kamu," kata Faiz tidak ada manis-manisnya. "Gapapa," balas Humairah seadanya. Bukan ia pelit untuk mengeluarkan suara. Namun ia belum terbiasa berbicara banyak dengan Faiz. "Ini, bunga untuk kamu," ujar Faiz dengan ekspresi datarnya sembari memberikan Humairah sebuket bunga mawar merah yang begitu indah. Bunga itu tentu saja bukan Faiz yang membeli khusus untuk Humairah. Tapi bunga itu pembelian orang tuanya untuk diberikan kepada Humairah dengan kesan bahwa Faiz lah yang membelinya untuk Humairah. Seharusnya Faiz mengucapkan kalimat romantis pada wanita itu saat ia memberikan bunga itu. Tapi Faiz boro-boro berucap romantis. Ia hanya berucap seadanya saja. Humairah menatap Faiz sebentar. Belum Humairah terima bunga yang terlihat cantik itu. Setelah ia memantapkan hatinya, baru ia raih bunga pemberian Faiz. Humairah maklumi sikap Faiz yang terkesan dingin. Karena memang ia tahu sikap Faiz seperti itu. Dingin, dan kadang terkesan sinis. Mungkin hal itu adalah karakter Faiz. Namun entah kenapa ia yakin, sebenarnya Faiz itu pria yang baik. “Makasih,” ucap Humairah. Faiz tersenyum sebagai bentuk balasan ucapan terima kasih dari Humairah. Setelah itu. Humairah mempersilakan Faiz masuk ke dalam rumahnya. Faiz menerima ajakan Humairah. Humairah permisi sebentar untuk memanggil abinya. Tak lama kemudian Humairah muncul kembali bersama Hasan dan mereka semua pun berkumpul di ruang tamu dan saling mengobrol. "Maaf Om, saya baru bisa datang sekarang. Soalnya banyak pekerjaan yang gak bisa ditinggal. Dan maaf juga orang tua saya tidak bisa datang, karena ada kesibukan yang sangat penting," kata Faiz kepada calon mertuanya yang duduk di sebelah calon istrinya. "Gapapa, om maklumi kok," ucap Hasan, pria paruh baya yang berjenggot panjang itu. "Orang tua saya sudah mempersiapkan tempat pernikahan saya dan Humairah. Rencananya akad nikah akan dilaksanakan di masjid An-Nur dan resepsinya di Hotel. Apa Om setuju?" tanya Faiz. "Saya setuju," jawab Hasan. "Semua tempat baik, apalagi di masjid. Tempat yang mulia." "Kamu Humairah?" tanya Faiz pada calon istrinya sekaligus rekan kerjaanya itu. Humairah mengangguk pelan. Kemudian ia tersenyum. Ia melarikan pandangan matanya pada Faiz. Pria itu terlihat santai tapi seperti terbebani dengan satu hal yang tentu saja Humairah tidak tahu terbebani oleh apa. Apa mungkin dengan pernikahannya? Setelah membahas tempat pernikahan. Faiz pun memberikan seserahan sebagai perlengkap lamaran yang kemarin belum sempat ia berikan. Karena lamaran kemarin itu dadakan. Tanpa senyum Faiz memberikan cincin, peralatan ibadah, perhiasan, pakaian, sepatu, alat kosmetik, serta makanan kepada Humairah. Humairah pun menerimanya dengan senang hati. Doa pun dipanjatkan setelah Faiz menyerahkan seserahan itu kepada Humairah. Hasan memimpin doa tersebut dan semua mengaminkan. Doa dipanjatkan agar Sang Pencipta meridhoi niat baik mereka dan melancarkan niat tersebut sampai hari H. Dan juga sebagai wujud rasa syukur serta berharap mendapatkan pahala serta dijauhi hal buruk. Saat doa telah dipanjatkan. Hasan sengaja berpamitan pergi dengan beralasan sakit perut. Dia sengaja ingin meninggalkan Humairah dan Faiz di ruang tamu. Dia bermaksud memberikan waktu untuk Faiz agar bisa mengobrol berdua dengan putrinya. Agar Faiz dan Humairah tidak canggung lagi dan supaya lebih dekat. Jadi kalau sudah menikah nanti sudah akrab. Hasan berdiri. “Om permisi dulu ya,” katanya ingin pamit. “Abi mau kemana, Bi?” tanya Humairah. “Abi mau ke belakang sebentar, abi sakit perut,” jawab Hasan lalu pergi begitu saja. Humairah sedikit cemberut. Abinya kemana sih pakai sakit perut segala. Ia jadi bakal berduan sama Faiz jadinya. Ia malu. Kini tinggal Humairah dan Faiz. Sudah lima belas menit kepergian Hasan. Namun mereka sampai sekarang sama sekali tidak bicara. Faiz diam dan Humairah pun sama. Faiz hanya sesekali menggenggam tangannya dan mengusap lututnya. Ia bingung mau ngapain. Ia pun curiga kalau abinya Humairah berbohong kalau sakit perut. Soalnya kalau gak bohong pasti gak selama ini ke belakang. Pasti sudah kembali. Sedangkan Humairah hanya menunduk. Hanya sesekali melirik Faiz. Ia kini ingin melihat Faiz lagi. Tapi saat ia mengangkat pandanganya tiba-tiba secara kebetulan Faiz juga tengah melihatnya. Kini mata mereka berdua bertemu dan secepat kilat mereka langsung melarikan pandangan mereka. Seketika jantung mereka berdua berdetak-detak tidak karuan. Mereka pun berdua bertanya-tanya pada diri mereka sendiri. Kenapa jantung mereka tiba-tiba berdebar-debar? Faiz mengusap tengkuknya. Mau sampai kapan ia terus diam kaya gini. Ia harus bicara pada Humairah. Ia harus berani. Ia harus menghilangkan gengsinya. Ia juga ada yang ingin ia tanyakan pada Humairah. “Maira,” ujarnya memulai pembicaraan. “Iy-iya,” balas Humairah agak gugup. Faiz menghela nafasnya. “Apa alasan kamu menerima lamaran aku?” “….” “Kenapa diam?” Humairah menunduk. “Kalau kamu keberatan menerima lamaran aku, sebaiknya kita batalkan saja rencana pernikahan kita,” Humairah mengangkat kepala-memandangi Faiz. “Aku gak keberatan sama sekali.” Faiz melarikan pandangannya. “Wahhh, kayanya kalian sudah akrab sekarang,” ucap Hasan yang tiba-tiba muncul. Dia langsung duduk setelah berucap. Faiz tersenyum sedikit. Dalam hatinya bimbang, ia takut abinya Humairah mendengar percakapannya dengan Humairah. “Gimana? Udah ngobrol banyak hal, kan?” tanya Hasan. Faiz dan Humairah saling memandang. Lalu mereka sama-sama memberikan anggukan ringan kepada Hasan. Hasan tersenyum. “Baguslah kalau gitu,” katanya. Faiz bernafas lega. Syukurlah jika abinya Humairah tidak tahu apa yang sebenarnya yang ia bicarakan dengan Humairah. Setelah tidak ada lagi urusan yang harus diperbincangkan. Faiz pun ingin berpamitan pulang. Karena Faiz tidak betah berlama-lama di rumah Humairah. “Om, Faiz pamit pulang dulu ya,” pamit Faiz. “Kok buru-buru,” ujar Hasan. “Emm, soalnya saya ada urusan lain lagi Om.” Alasan itu tentu saja bohong. Tapi kalau ia tidak memberikan alasan bisa-bisa ia akan ditahan berlama-lama di rumah ini. “Ya udah, kalau gitu mari Om antar.” Humairah dan Hasan mengantar Faiz sampai di depan rumah. Saat berpapasan dengan Faiz, Humairah hanya melempar senyum dan Faiz hanya senyum sedikit saja. Jujur, semenjak Faiz melamar Humairah. Ia jadi gugup di hadapan wanita itu, begitu juga yang dirasakan Humairah saat berhadapan dengan Faiz. Mereka jadi salah tingkah dan Humairah memilih menjauh dari Faiz dan berdiri di belakang abinya. Faiz bersalaman dengan orang tua tunggal Humairah dan gak sengaja selesai bersalaman Faiz terpandang wajah Humairah dan Humairah cepat memalingkan pandangannya. "Assalamualaikum," pamit Faiz. "Waalaikumsalam," sahut Hasan. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN