3. RENUNGAN MALAM

1123 Kata
Setelah masalah semalam yang membuat Yoga pusing dan penuh emosi. Tepat pukul tiga pagi, mereka membangunkan peserta dan menyuruh mereka berkumpul di area api unggun. Mereka membentuk lingkaran, dengan berpegangan tangan. Di bagian tengah api unggun, ada Candra dan beberapa panitia lainnya. Mereka sedang menjelaskan pada peserta mengenai jati diri. Mereka juga membuat peserta merenungkan apa yang sudah mereka capai di usia saat ini, dan apa yang mereka jalankan sudah semua benar? “Sekarang, kalian perkenalkan satu persatu nama dan jurusan. Kalau perlu nomor hape, dan alamat, biar lengkap kita kalo pas lewat depan rumah, bisa mampir,” ujar Candra sembari bergurau. Beberapa tertawa dan menanggapi candaan Candra. Hingga Candra melanjutkan ucapannya dan satu persatu peserta menyebutkan nama mereka. “Erinda, Ekonomi.” “Surya, Ekonomi.” Setelah selesai dengan perkenalan. Sekarang Candra mulai dengan permainan. Mereka sudah memiliki data untuk peserta yang berulang tahun di hari ini, atau beberapa hari dalam minggu ini. Candra dengan sengaja menyuruh peserta itu untuk mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya. Bingung, tentu saja … peserta itu ketakutan dan tidak mengerti dengan permainan yang sedang berjalan. Sampai akhirnya Candra membuat peserta itu menangis, dan mereka membuat peserta lainnya seperti ikut merasa bersalah atas penjelasan dari Candra. Sedangkan di area tenda, Yoga terlihat santai dan memainkan game cacing yang ada di ponsel androidnya. Yoga mendengar ucapan temannya dari tenda,  di dalam pikiran Yoga … jika peserta masuk ke dalam permainan itu, tandanya tugas panitia berhasil. Yoga tidak sendirian di dalam tenda, dia bersama Ucok yang juga sedang bermain permainan di dalam ponsel miliknya. “Yo, balik dari sini mau kemana lagi?” tanya Ucok. “Tunggu mood baik, kita ke Arjuno lagi aja,” ujar Yoga. “Hmm, semua aja gimana, Arjuno – Welirang?” “Oke lah, berapa hari?” tanya Yoga. “Tiga aja, jangan lama-lama, nanti kamu nggak ngerjain tugas lagi,” jawab Ucok. “Hahaha, tau aja kalo aku malas. Rasanya nggak mau lulus, tapi kalo nggak lulus nanti dikira cinta kampus,” celetuk Yoga. “Alah … bilang aja emang kamu cinta sama rektornya UNTAG.” *UNTAG adalah singkatan dari Universitas Tujuh Belas Agustus. “Miapa? Aku cinta rector? Ogah! Rektornya aja nggak mau kasih diskon selama aku kuliah di sini.” “Heh, emang kamu pinter? Ngapain juga kasih diskon buat kamu.” “Aku udah bawa nama PATAGA sampek BASARNAS loh, *Cok!” #Ucok=Cok (bukan u*****n) “Iya tahu. Tapi kata rector itu dedikasi yang kamu kasih ke kampus.” “Matane … sing onok UNTAG makin dikenal.” *Karena latar berada di wilayah Surabaya, akan ada bahasa jawa di cerita ini. “Hahaha, okelah!” Setelah itu, mereka mendengar suara tangisan dari peserta yang mengikuti renungan malam. Yoga dan Ucok terlihat menahan tawa mereka mengingat kembali masa dimana mereka baru saja menjadi mahasiswa baru di UNTAG. “Heh, kamu inget nggak masa dulu kita awal masuk PATAGA?” tanya Yoga. “Iyo, inget banget lah. Kan kamu sing nangis golek I ibu.” “Asem, nggak lah! Aku kaget iku.” “Hahaha, ngeles!” Dari luar terdengar suara memberikan peringatan pada Yoga untuk tidak berisik, karena suara mereka terdengar sampai luar tenda. Akhirnya Yoga dan Ucok kembali terdiam. Matahari pun menyambut mereka dari timur. Sebuah pemandangan alam yang begitu indah, kini terlihat di gunung Panderman. Semua terdiam menikmati keindahan itu, dan mereka mengucap syukur karena masih diberikan kesempatan bisa melihat indahnya matahari terbit hari ini. “Oke, sekarang kalian bersih-bersih. Ambil sampah yang ada, terus masak buat makan pagi! Logistic bisa ke tenda konsumsi seperti semalam.” Seorang Panitia menjelaskan. Satu persatu anggota regu datang ke tenda konsumsi untuk mengambil bahan makanan. Karena alat sudah ada di tenda mereka semalam. Kembali memasak, mereka hari ini harus memasak nasi, telur, dan mie instant. Tidak hanya itu, panitia sendiri menyiapkan sayuran untuk mereka, Riska yang memasak kini membagikan sayuran itu pada peserta. “Kak, nggak suka sayur,” keluh seorang peserta cewek. “Makan! Kalo nggak mau, regu kamu dihukum!” ujar Dian. Semua menelan ludah kasar, tidak ada yang berani menyisakan makanan di sana atau membuangnya. Mereka menghabiskan makanan yang sudah mereka masak, dan disiapkan panitia. Sampai akhirnya waktu untuk mereka turun dari puncak tiba. Yoga kembali memberikan arahan untuk berhati-hati saat turun, meski waktu yang dibutuhkan jauh lebih sedikit, tetapi keselamatan mereka adalah yang terpenting. Akhirnya mereka kembali membentuk barisan setelah selesai berkemas dan membersihkan area camp. Satu persatu regu dan panitia pendamping menuruni jalanan setapak itu. Sementara tim panitia kembali berjalan dengan jalur mereka berangkat. Saat mulai turun, Yoga berlari lebih dulu dan hanya memakan waktu tiga puluh menit saja untuk sampai di bawah. Yoga terlihat duduk di warung kopi bersama Ucok. Menikmati nikmatnya kopi yang tidak mereka dapatkan di atas. Tidak hanya itu, Yoga pun memesan makanan dan juga memakan beberapa gorengan seperti tahu isi, dan bakwan. “Teko endi, Mas?” tanya ibu penjual. “Surabaya, Bu,” jawab Yoga. “Owalah, akeh men. Opo latihan?” tanya Ibu itu lagi. “Nggeh, Bu.” Setelah itu, Yoga kembali melanjutkan kegiatannya untuk makan makanan di sana. Tidak lama kemudian, terlihat Dian datang bersama Riska. Mereka ikut bergabung dengan Yoga di warung itu. “Enak e … ngene iki gak eleng koncone!” ujar Dian kesal. “Loh, yo monggo! Kene loh cak, ojok ngadek jegrek nak kunu, koen engkok kesel.” “Kalian ini ngomong apaan? Aku nggak ngerti. Padahal semalem udah enak pakek bahasa indo, sekarang balik lagi pakek bahasa planet,” sahut Riska kesal. “Loalah … eman e , Ning!” ujar Ucok. “Namaku Riska, bukan Ning!” “Hahahaha.” Semua yang ada di warung itu tertawa mendengar ucapan Riska. Tidak lama kemudian, terlihat peserta berdatangan dan duduk di tepi pos jaga. Yoga menyuruh Dian untuk memberitahu mereka agar tidak menghalangi jalan umum di sana. dan Yoga memberikan waktu pada peserta yang ingin membersihkan diri di kamar mandi umum yang tersedia di sana. “Jam berapa trucknya datang?” tanya Ucok. “Udah aku telepon, mungkin bentar lagi,” ujar Yoga. “Nah, gini kan enak. Banyak yang ngerti.” Riska kembali membenarkan ucapan ke dua temannya. Setelah dua jam menunggu di sana, akhirnya truck yang menjemput mereka datang. Para peserta mulai naik satu persatu ke atas truck. Sedangkan Yoga kali ini tidak ikut bersama mereka. Ucok dan Yoga akan menggunakan kendaran sendiri. “Bang, udah sampek mana?” tanya Ucok di telepon. “Udah deket, mampir ke pom dulu.” “Oke. Tak tunggu.” Ya … mereka akan dijemput oleh Kakak dari Ucok. Dan mereka tidak langsung kembali ke Surabaya, melainkan menuju ke pos perijinan Arjuno – Welirang yang ada di Tretes, Pandaan. “Yo, nanti titip sate kelinci ya?” ujar Dian yang pulang bersama peserta. “Oke.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN