BAB : 3

1282 Kata
Mata Hana melotot, mendapati siapa yang menghampirinya kini. Sontak, dengan cepat ia mendorong Justin yang masih berada di atas badannya, hingga menyingkir. Setelah itu ia segera beranjak dari tempat tidur dengan tampang cemas. "Papa," ujarnya menghampiri. "Apa yang kamu lakukan?!" tanya laki-laki paruh baya itu dengan wajah penuh emosi. Bagaimana ia tak emosi, mendapati anak gadisnya malah beradegan seperti itu di depan matanya. "Aku nggak lakuin apa-apa, Pa," jawab Hana. "Dia yang bikin masalah buatku," tambahnya menunjuk kearah Justin yang masih duduk di pinggiran tempat tidur dengan ekspressi santai, seolah tak sedang terjadi masalah. Emil, papanya Hana menatap tajam kearah Justin. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut saat memikirkan sesuatu. "Kamu Justin, kan?" "Benar," jawab Justin singkat. Rasanya ia ingin meluapkan rasa emosinya pada Justin saat mengingat kejadian barusan. Tapi seketika seolah terhenti ketika mengingat siapa sosok Justin sebenarnya. "Ada masalah?" tanya Justin balik pada Emil. "Apa yang kamu lakukan pada putri saya?" Justin beranjak dari duduknya, kemudian berdiri dihadapan Emil. "Saya nggak melakukan apa-apa dan ini juga bukan salah saya. Tanya pada putri Anda, kenapa ini semua bisa terjadi?" "Yang benar saja kalian menyalahkan Justin untuk masalah ini. Sudah jelas sekali kalau gadis ini yang menggodanya. Kalian benar-benar membuat masalah dalam keluarga saya!" Alice lagi-lagi tak terima kalau Justin berurusan dengan Hana. Apalagi sampai cowok itu malah memilih dia. Lalu, bagaimana nasibnya selanjutnya. "Diam! Ini bukan urusanmu!" bentak Justin pada Alice. "Justin, aku berhak ikut campur untuk masalah ini, karena aku ..." Perkataan Alice terhenti seketika saat tatapan tajam itu mengarah padanya. Seperti sebuah badai yang menghentikan langkahnya tiba-tiba. "Justin, jangan membentak Alice seperti itu lagi. Ingat, dia itu ..." "Semuanya bisa diam, tidak! Atau silahkan keluar dari kamarku?!" Oke ... semuanya diam saat Justin sudah mengeluarkan suaranya. Bahkan, orang tuanya dibuat terdiam. Bukan apa-apa, hanya saja mereka tahu seperti apa watak putra mereka yang kalau semakin dilawan dan dibantah, justru akan semakin menjadi-jadi. "Han, jelasin sama Papa apa yang sebenarnya terjadi?! Dan jangan katakan kalau kamu sudah melakukan kesalahan terbesar itu." Ia pastikan dirinya akan habis kena marah sama papanya. Ini bukan hanya larangan pacaran yang dilanggarnya, tapi lebih parah lagi. Jangan sampai dirinya didepak dari silsilah keluarga. "Hana!" "Aku nggak lakuin apa-apa, Pa. Beneran," ungkapnya memastikan. Tapi entahlah, ia juga tak tahu apa yang sudah terjadi. "Apa yang kamu katakan!? Kamu mau membuat nama orang tuamu dan keluargamu buruk di mata semua orang. Begitukah?" "Papa ... semalam aku mabuk dan salah masuk kamar. Tapi aku pastikan antara aku dan dia," tunjuknya kearah Justin yang masih diam tanpa rasa cemas. "Nggak terjadi apa-apa." Mendengar penjelasan putrinya, langsung saja ia layangkan tamparan kearah wajah gadis itu. Tapi terhenti saat Justin justru menahannya tangannya. "Jangan lakukan itu pada Hana," ujar Justin. Kalau Hana salah, mungkin ia akan biarkan tamparan itu mendarat di pipi gadis itu, tapi di sini dia hanya melakukan kesalahan kecil. Hanya salah masuk kamar. Kebayang, kan, gimana tampang juteknya Alice saat mendapati sikap baik Justin pada Hana? "Saya tahu kalau ini salah, tapi jangan melakukan kekerasan itu padanya. Lagian, saya juga nggak melakukan apa-apa pada dia. Itu saya pastikan." Justin meyakinkan Emil. Emil memandang ketus kearah Justin. "Mendapati putrinya berada di dalam satu kamar dengan seorang laki-laki, bahkan sedang beradegan ..." Ia tak bisa mengucapkan perkataan itu. "Apa menurutmu sebagai orang tua, saya tak merasa cemas? Dia itu seorang gadis, masih SMA ... meskipun tak melakukan hal yang lebih, tetap saja namanya sudah buruk!" jelas Emil. Hana mulai menangis. "Tapi beneran, Pa ... aku nggak lakuin apa-apa." "Diam! Pernyataanmu bahkan tak mempengaruhi penilaian Papa, Hana!" "Sudah saya katakan, jangan membentaknya lagi!" Kali ini ia merasa tak rela saja kalau Hana dimarahi, meskipun oleh orang tuanya sekalipun. Emil menarik lengan Hana dengan kasar dari pegangan Justin, kemudian memandang dingin pada cowok itu. "Saya tahu kalau kamu punya pengaruh besar dalam bisnis, tapi untuk urusan pribadi, tetap saja itu beda arah!" Setelah menyatakan rasa sakit hatinya itu, Emil membawa paksa Hana dari sana. "Sakit, Pa," ringisnya saat cengkeraman papanya terasa menyakitkan di lengannya. Seperginya Emil dan Hana dari sana, Alice mendekati Justin yang masih berdiri diam di posisinya. "Kamu lihat, kan, sekarang? Bahkan papanya saja memandangnya buruk. Sementara kamu seolah terus membelanya tanpa memikirkan perasaanku." Menyentuh wajah Justin dengan lembut, tapi sikapnya .alah dibalas kasar dengan menyentakkaan tangannya. Justin masih diam. "Apa yang terjadi padamu? Apa yang telah dia lakukan padamu hingga membuatmu lupa diri? Ini baru beberapa jam dan kamu sudah berhasil dipengaruhi oleh gadis SMA itu!" Tadinya tak menghiraukan ocehan Alice, tapi dibiarkan justru mulut wanita ini seakan-akan tak berniat diam. Menatap ke arah orang tuanya. "Ma, Pa ... tolong bawa dia pergi dari sini sebelum sesuatu yang buruk ku lakukan padanya!" "Justin!" Bentakan itu berasal dari papanya Alice. "Sekarang!" Matanya memerah menatap tajam kearah laki laki paruh baya yang sepertinya tak rela saat Alice ia perlakuan buruk. Iya, bentakannya itu membuat orang tuanya dan orang tua Alice segera berlalu dari sana. Termasuk Alice yang masih tak terima dengan perlakuan Justin padanya. [][][][] Sampai di kediamannya, Emil menyeret Hana hingga ke dalam kamar yang berada di lantai dua. Bahkan, Arini saja ikut bingung dengan sikap sang suami yang melakukan tindakan seburuk itu pada putrinya. "Ada apa ini? Kenapa memperlakukan Hana seperti itu?" tanya Arini pada sang suami. "Tanya pada putrimu, apa yang sudah dia lakukan," ungkap Emil menunjuk kearah gadis yang kini terduduk di lantai kamar sambil menangis. Arini menghampiri Hana. "Ada apa, sih, Han? Bilang sama Mama." "Ma, aku ..." "Putri satu-satunya di rumah ini, melakukan kebodohan yang membuat hidupnya hancur. Bahkan keluarga kita akan ikut hancur gara gara kelakuannya!" "Apa?" Arini semakin dibuat bingung. "Dia berada dalam satu kamar dengan seorang laki-laki. Dan kamu tau apa yang ku dapati saat masuk? Mereka malah sedang beradegan ..." Ia memijit pelipisnya. Kepalanya seakan mau meledak mengingat kejadian itu. Berharap penampakan itu hilang dari ingatannya. Arini kini memandang kearah Keyzia. "Apa benar itu, Han?" tanyanya seolah tak percaya. Bahkan berharap ini semua nggak benar. Tangis Hana semakin menjadi-jadi. "Enggak, Ma ... aku nggak lakuin apapun. Aku hanya salah masuk kamar dan ..." "Jadi, apa menurutmu yang Papa dapati saat masuk tadi adalah sebuah kebohongan. Begitukah?" Arini benar-benar merasa shock dengan kejadian ini. Berharap Hana akan menjadi gadis yang benar, justru malah membuat masalah besar. "Dan asal kamu tahu, laki-laki yang bersamanya adalah Justin," tambah Emil mengungkapkan. "Apa?" Arini kaget. Bukan apa-apa, hanya saja Justin bukan orang sembarangan dalam bidang bisnis. Untuk itulah, semua bisnismen pasti mengenalnya ... yang kalau bermasalah dengan dia, pasti akan dibuat kalah telak. Tapi sekarang justru Hana malah menciptakan masalah itu dengan Justin. "Apa semua orang mengetahui kejadian ini?" tanya Arini pada Emil. "Keluarga dia ada di sana saat kejadian." "Astaga, Hana! Jujur saja, Mama kecewa sama kamu. Karena masalah ini, kamu sudah membuat keluarga kita bermasalah dengan orang yang tak tepat. Semuanya hancur!" Saking kesalnya, Arini sampai mengumpat pada Hana habis habisan. Ia seolah melupakan kalau gadis yang masih menangis itu adalah putrinya. "Tapi aku nggak lakuin hal apapun sama dia, Ma. Bahkan sampai saat inipun ku pastikan kalau aku masih gadis," jelas Hana memastikan. "Meskipun begitu kenyataannya, tapi tetap saja tak semua orang bisa berpikiran positive!" "Mulai sekarang, kamu nggak boleh keluar dari kamar! Nggak akan ada lagi shooping, jalan-jalan, apalagi sekolah! Diam di kamar adalah hukuman yang harus kamu jalani, Hana!" Arini melangkah keluar dari sana diikuti oleh Emil. Tak hanya itu, dari luar keduanya bahkan mengunci pintu kamar. Apalagi yang ia lakukan kini kalau bukan menangis. Ya, menangisi kebodohan yang telah dilakukannya. Menyesal karena menghubungi papanya. Berharap membantu, justru masalahnya bertambah besar. Sekarang apalagi kalau bukan hanya diam di kamar layaknya seorang penjahat yang di penjara karena sudah melakukan tindakan kejahatan. Menghabiskan hari-hari penuh kebosanan sampai mati. Ia akan mati konyol di kamar ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN