02

1024 Kata
Tak terasa sudah hampir dua Minggu dirinya masuk di sekolah baru itu, semuanya berjalan dengan normal. Aruna juga dapat menjalani hari-harinya dengan lancar seperti biasanya. Dan hari ini, merupakan hari di mana ulangan harian di adakan, semalam suntuk Aruna belajar dengan serius. Hal itu membuat dirinya jadi kurang tidur, dan sedikit mengantuk di kelas. Saat tengah berada di tengah-tengah waktu ulangan, entah mengapa Aruna merasakan kantuk yang begitu besar. Sesekali dia menepuk-nepuk pipinya agar tetap tersadar, tapi sayangnya usaha yang dia lakukan sia-sia. Ujung-ujungnya Aruna tertidur juga di tengah-tengah jam ulangan. "Aruna..." "Aruna?" Terdengar suara bisikan, suaranya cukup kecil. Mungkin hanya Aruna saja yang dapat mendengarnya, dengan perlahan dia pun bangun dan membuka matanya. Kemudian dia mendapati saat itu Ravin tengah mencoba membangunkan nya dengan mendorong pelan pulpen miliknya ke arah Aruna beberapa kali. Aruna yang terkejut karena sadar sudah tertidur pun langsung bangun, dan duduk dengan tegak. "Astaga, aku ketiduran ya?" Tanya Aruna berbisik kepada Ravin. Ravin awalnya hanya diam, akhirnya dia pun mengangguk ragu tanpa menatap ke arahnya. Setelahnya Aruna pun kembali melanjutkan mengerjakan soal ulangan itu dengan cermat. Dan seperti biasa, setelah selesai Aruna akan pergi menuju ke kantin dengan Tasya dan yang lainnya. Tapi sebelum kembali ke kelas, dia menyempatkan untuk membeli risol isi ayam dan saus mayonaise. "Kamu belum kenyang Ru?" Tanya Tasya. Aruna menoleh ke arahnya, kemudian menggeleng pelan. "Nggak, cuma mau nyobain aja." Jawabnya. Tapi itu semua hanyalah kebohongan belaka, sebenarnya Aruna membeli risol itu untuk dia berikan pada Ravin. Saat sampai di kelas, Aruna langsung duduk tepat di samping Ravin yang tak sedikitpun bergerak dari tempat duduknya itu. Kemudian tangannya mulai menyodorkan risol yang sudah dibelinya. "Ini, buat kamu makan. Kamu belum makan kan?" Ucapnya dengan senyuman. Raven awalnya hendak menolak, tapi dengan cepat Aruna memasukkan risol itu ke dalam laci meja milik Ravin. Tak lama dari situ, jam masuk pun kembali berbunyi. Dan pelajaran kembali berjalan normal seperti biasanya, hingga jam pulang pun datang. Aruna lagi-lagi menunggu ayahnya tepat di depan gerbang sekolah sembari melihat ke arah sekitar. Saat itu juga, dia kembali melihat ke arah Ravin yang baru keluar kelas juga. Hari itu ada yang aneh dengannya, di mana Aruna melihat Ravin tengah tersenyum lebar sembari bersenandung riang. Tapi saat Ravin menyadari keberadaan Aruna, dengan cepat dia diam dan menundukkan kepalanya. "Dia kenapa?" Gumam Aruna pelan. Tak lama ayahnya pun datang, dengan cepat Aruna pun langsung masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya, mobil itu langsung melaju dengan cepat untuk kembali ke rumah Aruna. "Hari ini lancar ulangannya cantik?" Tanya sang ayah. Aruna mengangguk. "Lancar yah, soal-soalnya gampang." "Syukur deh. Oh iya, tadi ayah ada lihat anak laki-laki yang lewat di deket kamu sebelum kamu masuk ke dalam mobil, kamu kenal?" Aruna terdiam sejenak, dia sempat berpikir siapa laki-laki yang ayahnya maksud itu. Tapi kemudian dia kembali teringat akan Ravin. "Oh... mungkin yang ayah maksud tuh si Ravin, iya dia temen aku. Kenapa?" "Oh temen kamu, satu kelas juga sama kamu?" Kali ini Aruna menoleh ke arah ayahnya, kemudian menatapnya dengan serius. "Bukan cuma satu kelas aja yah, tapi kita satu tempat duduk." Seketika itu juga ayahnya pun balik menoleh ke arah putrinya itu sekilas. "Eh, satu tempat duduk juga?" Aruna mengangguk, "ya mau gak mau sih, soalnya gak ada tempat duduk lain. Di tambah gak ada juga yang mau duduk sama dia." Kali ini ayahnya terlihat sedikit kebingungan dengan ucapan Aruna, alisnya terlihat saling bertautan. "Kok gak ada yang mau duduk sama dia, emang kenapa?" Aruna mengangkat bahunya sedikit, "ntah, tapi dia emang agak pendiam sih. Di tambah dia juga..." Aruna terdiam sejenak. "Kenapa?" Tanyan ayahnya semakin penasaran. "Dia tuh kayanya gak suka bersosialisasi yah, makanya banyak anak-anak yang nganggep dia tuh aneh. Ditambah nilai akademis nya juga kurang." Ayahnya mengangguk mengerti, kemudian mengusap kepala Aruna pelan. "Tetep temenan sama dia ya, meskipun mungkin menurut beberapa temen-temen kamu dia itu aneh." Aruna mengangguk mengerti, cara berpikir kedua orang itu benar-benar sama. Aruna memiliki rasa empati yang besar, tapi jarang sekali menunjukkan nya secara langsung ataupun mengungkapkan nya secara lisan. Dia lebih sering melakukan beberapa hal yang mungkin saja dapat membantu orang yang mungkin sedang kesusahan. Sama juga dengan ayahnya. ... Beberapa hari berlalu, hari ini adalah hari Senin. Hari di mana semua murid harus menjalankan upacara. Dan saat itu, kebetulan adalah tugas dari kelas Aruna untuk menjadi petugas upacara. Kali itu Aruna ditugaskan untuk menjadi pemandu upacara, dia sendiri tak keberatan dengan tugas itu. Yang kebetulan saat itu dia juga berdiri tepat di samping Ravin, yang bertugas menjadi pembaca teks Undang-undang Dasar. Saat upacara di mulai, semuanya berjalan dengan lancar. Hingga akhirnya saat itu bagian Ravin membacakan teks miliknya. Ada satu hal yang Aruna sadari saat itu, di mana tangan Ravin bergetar pelan, sepertinya dia begitu gugup kali ini. Dengan cepat Aruna pun meraih tangan Ravin pelan. "Santai aja, semuanya bakal berjalan lancar kok." Ucap Aruna sembari tersenyum tipis. Ravin yang mendengarnya tak merespon apa pun, tapi setelah itu dia dapat membaca semua teks itu dengan lancar dan lantang. Setelah upacara selesai, semua murid pun kembali menuju ke kelasnya masing-masing. Begitu pula dengan Aruna, dia yang sudah masuk ke dalam kelas, tentunya langsung duduk di bangkunya. Saat tengah fokus meletakkan beberapa buku pelajaran miliknya, tiba-tiba saja Ravin menyenggolnya pelan. "Maaf..." Ucapnya sedikit terbata. Aruna hanya mengangguk, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Tapi kali ini Ravin kembali mengeluarkan suaranya. "Anu..." Seketika Aruna pun menoleh ke arahnya. "Ada apa?" Ravin terdiam cukup lama, untungnya Aruna sudah mengerti Ravin pribadi yang seperti apa. Jadi dia menunggu dengan sabar untuk mendengar Ravin menyelesaikan kalimatnya. "Makasih buat tadi ya," ucapnya pelan. Aruna kembali mengangguk, kemudian tangannya terangkat dan mulai menepuk bahu Ravin beberapa kali. "Santai aja, lagi kaya sama siapa aja sih." Ucapnya. Setelahnya pelajaran kembali berjalan normal seperti hari-hari sebelumnya, tapi meskipun begitu. Ravin masih saja terus sama seperti sebelumnya, kikuk dan pendiam. Padahal sebelumnya dia sudah memberanikan diri untuk berbicara dengan Aruna. Awalnya Aruna kira itu akan jadi awal yang baik dari hubungan pertamanan satu bangku mereka. Tapi ternyata Ravin sama sekali tak berubah, sepertinya dia lebih nyaman menjadi dirinya yang lama. Sedangkan Aruna sendiri, dia juga tak bisa memaksakan apa yang Ravin mau hanya untuk kenyamanannya sendiri saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN