Keesokan harinya saat di jam istirahat, di kantin, Aruna hanya pergi berdua dengan Tasya. Karena memang teman yang lainnya sedang ada urusan sendiri di tempat lain. Saat tengah berbincang, tiba-tiba saja datang anak dari kelas lain menghampiri mereka.
"Halo? Kamu Aruna kan?"
Seketika itu juga Aruna menoleh, dia sedikit kebingungan melihat gadis itu. Wajahnya cukup asing baginya, meskipun Aruna sendiri sudah lumayan lama bersekolah di sana, dia masih belum terlalu mengenal banyak anak-anak dari kelas lain.
"Oh Caca, kenapa Ca?" Tanya Tasya ikut menimpali.
Aruna yang mendengar namanya mendadak kembali mengingat sesuatu, tapi dirinya lupa.
"Aruna lupa ya sama aku, aku Caca. Kalo gak salah tiga hari yang lalu aku chat kamu malem-malem."
Aruna seketika itu juga kembali mengingat isi pesan yang sudah dia kirimkan kepadanya. "Oh, yang waktu itu soal Ravin ya?"
Caca mengangguk pelan, Tasya yang saat itu ikut mendengarnya sedikit terkejut. "Lho Ca, bukannya kamu sama—"
"Biar aku aja yang ceritain ke Aruna Sya, aku takut dia marah sama kamu kalo kamu yang cerita." Potong Caca dengan cepat.
Tasya mengangguk mengerti, setelahnya Caca mulai meminta waktu luang untuknya berbicara empat mata saja. Awalnya Aruna memintanya untuk berbicara di sana saja, tapi Caca menolak. Menurutnya apa yang akan dia bahas penting sekali, jadi mereka butuh tempat yang memang benar-benar sepi, dan hanya ada mereka berdua saja.
Karena kebetulan Aruna juga tak terlalu mengerti banyak tempat, akhirnya dia mengajak Caca untuk pergi ke rumahnya saja. Saat jam pulang sekolah, mereka berdua menunggu ayah Aruna bersama di depan gerbang. Saat tengah menunggu, Ravin lewat di depan mereka.
"Mau pulang ya?" Sapa Aruna basa-basi.
Ravin hanya menunduk dan mengangguk kikuk. Tapi saat dia tak sengaja menyadari keberadaan Caca, seketika itu juga Ravin mengangkat kepalanya dan menatap Caca dengan lekat. Aruna melihatnya juga, dengan cepat dia pun menoleh ke arah Caca. Aruna kira Caca akan tersenyum atau semacamnya, justru saat ini dia memasang wajah seperti tak suka dengan Ravin.
Tak berselang lama ayah Aruna sampai di depan sekolah, mereka berdua pun bergegas masuk ke dalam mobil.
"Yah, ini temen satu sekolah aku. Namanya Caca, hari ini dia mau main ke rumah, boleh kan?"
"Halo om..." Sapa Caca dengan ramah.
Ayah Aruna terlihat begitu bahagia saat mendengarnya, dengan senang hati dia menerima Caca untuk datang ke rumahnya. Di sepanjang perjalanan, dia juga sesekali menceritakan beberapa cerita konyol saat Aruna kecil. Sesekali mereka juga tertawa terbahak-bahak bersama-sama.
"Nah udah sampe," ucap sang ayah setelah memarkirkan mobilnya tepat di sebuah garasi mobil.
Aruna pun dengan cepat mengajak Caca untuk turun dan segera masuk ke dalam. Setelah menyapa dan mengenalkan Caca kepada ibunya, Aruna langsung mengajak Caca lagi menuju ke kamarnya. Saat di dalam, Aruna sempat beberapa kali mondar-mandir keluar masuk membawa camilan serta minuman. Sebelum akhirnya mereka berdua duduk bersama di dalam satu ruangan.
"Minum dulu Ca,"
Caca mengangguk, tangannya kemudian meraih gelas berisi minuman dengan sari jeruk itu. Dengan perlahan Caca meminumnya, dan menyisakannya setengah gelas.
"Jadi, apa yang mau kamu obrolin sama aku?"
Caca sedikit menghela nafas, seolah hal ini akan begitu berat dia ucapkan. Setelahnya tiba-tiba saja dia meraih tas nya, lalu membuka dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
"Ini."
Satu tumpukan kertas dia letakkan di atas meja kecil itu. Aruna yang tak mengerti isi di dalamnya tentu kebingungan.
"Apa ini?" Tanyanya.
Dengan perlahan Caca mulai membuka lembar pertama dari kertas itu, kemudian menunjukkannya kepada Aruna. Kertas itu berisi sebuah pesan singkat, bertuliskan sebuah kata yang tak senonoh.
"Kalo kita punya anak, aku mau anak kita dikasih nama Brian."
"Kalo laki-laki dikasih nama Brian ya, kalo perempuan kayanya pake nama Cica aja, biar lucu kaya kamu."
"Ahhh... Aku gak sabar hamilin kamu"
Aruna mengernyit heran melihat pesan itu, rasa jijik dan tak suka bercampur jadi satu saat itu juga.
"Ini siapa sih yan kirim?"
Caca sempat diam sejenak, sampai akhirnya dia kembali mengangkat suaranya.
"Ravin."
Dengan cepat Aruna menoleh ke arahnya, wajahnya benar-benar tak percaya mendengar nama tersebut diucapkan di mulut Caca. Dengan cepat dia menggeleng pelan.
"Gak mungkin Ca, gak mungkin di—"
"Kamu bisa lihat bukti yang lain Runa." Potongnya dengan cepat.
Aruna yang mendengarnya, langsung meraih kertas-kertas itu dan melihat isu-isi di dalamnya. Beberapa lembar lainnya berisi pesan singkat yang tak senonoh juga, sisanya berisi surat-surat cinta yang terdengar aneh.
"Tapi kamu tau darimana kalo dia yang kirim?"
"Kamu bisa lihat di lembar terakhir, di situ ada kalimat yang ngungkapin kalo pengirim surat-surat sama pesan gak pantes itu Ravin."
Dengan cepat Aruna mencari kertas yang Caca maksud barusan. Hingga akhirnya dia berhasil menemukan kertas itu, tangannya sedikit bergetar karena tak percaya dengan apa yang tertulis di atas kertas itu.
Aku gak akan lepasin kamu sampai kapanpun, mau kamu pergi kemanapun aku akan mencari kamu. Menemukan kamu lagi, sampai akhirnya kita bisa bersama-sama lagi.
Penuh cinta : Ravin
...
Keesokan harinya saat di dalam kelas, Aruna terus diam dan memikirkan kertas-kertas itu. Entah mengapa ada sedikit keraguan di dalam hatinya, apalagi saat mengingat apa yang Caca ucapkan kepadanya sebelum akhirnya dia pulang ke rumahnya.
"Kamu laporin dia ke guru bk?"
Caca mengangguk, tapi terlihat wajahnya seketika itu berubah menjadi sedih.
"Kenapa?" Tanya Aruna setelah menyadari ekspresi wajah Caca yang berubah.
Caca menggeleng pelan, "dia gak mau ngaku." Ucapnya pelan.
Saat ini Aruna terus melamun, sampai Tasya yang saat itu berniat untuk mengajaknya pergi ke kantin sedikit kesusahan mendapat perhatian darinya.
Brak!
Suara kencang terdengar dari meja Aruna yang dipukul oleh Tasya, seketika itu juga Aruna tersadar dari lamunannya dan menatap bingung ke arahnya.
"Ada apa Sya?"
Tasya berdecak pelan, kemudian dengan cepat meraih tangan Aruna dan membawanya pergi ke kantin seperti biasa. Saat tengah asik berbincang setelah selesai makan, tiba-tiba saja Tasya mengajaknya untuk pergi dari sana.
"Aku mau ikut juga dong..." Rengek yang lain.
Tapi dengan cepat Tasya melarang mereka, kemudian Tasya kembali menarik tangan Aruna untuk ikut bersamanya. Hingga sampailah mereka berdua di sebuah tempat yang berada di belakang taman. Tempat itu lumayan sepi, dan jarang juga ada murid lain yang berlalu lalang.
"Kenapa kita ke sini?"
Tanpa basa-basi Tasya langsung menanyakan soal kejadian kemarin, di mana Caca yang mengajaknya untuk berbicara hanya berdua saja. Tapi saat itu Aruna nampak ragu untuk menceritakannya pada Tasya. Dia pikir, Caca saja sampai niat datang ke rumahnya untuk bercerita, bagaimana bisa dia menceritakannya dengan santai di depan Tasya. Tapi sepertinya Tasya lebih paham akan hal itu, dengan cepat dia berkata.
"Aku udah tau, Caca juga gak bakal keberatan kalo kamu cerita ke aku."
Seketika itu juga Aruna terkejut. "Eh, kamu udah tau?"
Tasya mengangguk pelan, "orang pertama yang diceritain soal masalah itu, ya aku Runa."
"Aku juga yang nemenin dia buat lapor ke guru BK, aku yang maksa dia buat lapor. Tapi sayangnya Ravin gak mau ngaku, justru dia malah milih buat fitnah beberapa anak yang lain, sampai akhirnya mereka ikut keseret juga." Sambungnya lagi.