Masalalu Yang Membekas ~~

1294 Kata
Seorang gadis berusia dua puluh sembilan tahun, berperawakan kecil dengan rambut sebahu, mengenakan kacamata berbingkai kotak dan kemeja merah yang dipadukan rok span diatas lutut berwarna hitam, nampak berlari dengan cepat, membawa beberapa berkas di tangannya. Dia … Dyra Adenaya. Gadis cantik bertubuh kecil, pekerja keras, periang dan ahli dalam beberapa bidang pekerjaan, sering kali diajak oleh sang kepala tim divisi analis sistem untuk menjadi asisten saat adanya meeting penting bersama pemimpin perusahaan, ataupun rapat besar. Tetapi sayangnya, gadis yang bekerja di perusahaan ShadowTech tersebut selalu mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari beberapa karyawan yang merasa iri karena kedekatannya dengan Prayoga Sadewa yang tak lain kepala timnya. Dan hari ini, Dyra yang datang terlambat karena selama akhir pekan, ia tinggal di sebuah panti jompo untuk menemani ibunya, membuat Dyra sedikit keteteran. Gadis itu berlarian memasuki lobby gedung ShadowTech untuk mengejar pintu lift yang akan menutup. Tetapi beruntungnya, hanya kurang dari sepersekian detik, tangan Dyra bisa menghadang pintu tersebut hingga lift kembali terbuka. Tatapan mata orang-orang dalam lift yang menatap sebal padanya membuat Dyra seketika menundukkan kepalanya seperti biasa. "Kebiasaan banget sih, Dyra! Giliran lift hampir tertutup, lo baru mau masuk!" gerutu seorang wanita dengan nametag Alana. "Maaf," ujar Dyra. Dyra pun kembali berbalik menghadap ke depan dan menatap pantulan bayangan dirinya pada pintu lift. Tetapi tiba-tiba matanya membelak, saat ia mendapati sosok pria yang berdiri di belakangnya, sedang menatap padanya dengan dahi berkerut. "A-Aze," gumam Dyra setengah berbisik. Tepat setelah menggumamkan nama itu, kapsul lift berhenti dan pintu pun terbuka di lantai tiga. Empat orang yang berada di dalam sana segera keluar, sedangkan Dyra yang hendak ke lantai lima masih tetap berada dalam lift tersebut. Sesekali Dyra meremas sisi rok spannya, berusaha menetralkan rasa gugup yang saat ini sedang ia rasakan. “Gimana kabar lo, Dyra?” Satu pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari mulut Aze seketika membuat kaki Dyra melemas dan hampir terjatuh, jika saja ia tidak berpegangan pada sisi lift. Bayangan menyakitkan semasa sekolahnya kembali hadir. Bullyan yang dilakukan teman-temannya semenjak ia diputuskan Azeil, sangat membekas dalam ingatannya, membuat rasa benci Dyra pada mantan kekasihnya itu kembali menyeruak dan membuat Dyra semakin sulit mengontrol emosinya yang akan meledak. Ting. Suara dentingan lift pun memecah keheningan. Dyra menghela napas dalam-dalam, dan mulai melangkahkan kakinya keluar saat pintu lift terbuka dan berjalan meninggalkan Azeil tanpa menjawab pertanyaan yang pria itu berikan padanya. Sudah cukup jauh Dyra berjalan, tiba-tiba kakinya kembali melemas dan akhirnya jatuh terduduk di atas lantai, hingga berkas yang sedang dipegangnya seketika berjatuhan dan berserakan. Napasnya tersengal-sengal dengan d**a yang tiba-tiba terasa sangat sakit ketika bayangan itu muncul. ‘Dasar penghianat!’ ‘Cewek murahan!’ ‘p*****r!’ ‘Sekolah ngandelin beasiswa aja … belagu!’ ‘Lo gak pantes sekolah di sini!’ ‘Dasar gak punya harga diri!’ Umpatan dari teman-temannya itu kembali terngiang pada telinganya. Bayangan saat teman-teman satu kelasnya melempari remasan kertas padanya, saat para gadis yang menaksir Azeil melemparinya dengan sampah-sampah yang sudah berada dalam tempat daur ulang, bahkan tatapan-tatapan jijik dan menghina pada Dyra, kini kembali berputar dalam ingatannya. Dan saat gadis itu harus dipertemukan kembali dengan Azeil, yang paling pertama ia ingat hanya satu, yaitu perkataan terakhir Azeil padanya dan juga sikap ketidakpedulian Azeil saat teman-temannya memperlakukan Dyra selayaknya orang paling hina di sekolahan tersebut. “Aku hanya berharap … pertemuan kita barusan adalah pertemuan terakhir, Azeil!” gumam Dyra dengan kedua tangan terkepal, dan setetes air mata jatuh di atas wajahnya. *** Pria tampan bersetelan jas hitam, dengan garis wajah tegas, dingin dan datar itu adalah Azeil Valerio Auberon. Pria berusia tiga puluh tahunan, anak dari pemilik ShadowTech ini selesai mengambil gelar masternya di Universitas Harvard beberapa tahun yang lalu, tetapi Azeil langsung di tarik untuk bekerja di salah satu perusahaan besar di Inggris. Namun karena sang Ayah terus memaksanya segera kembali ke Indonesia, untuk melanjutkan perusahaan yang sudah dirintis oleh almarhum kakeknya. Azeil akhirnya menyerah, dan memilih keluar dari perusahaan besar tersebut demi menggantikan sang Ayah mengelola perusahaan ShadowTech. Setelah pintu lift kembali tertutup, Azeil yang masih merasa terkejut seketika memegang pinggiran lift dengan keras. Rasa sesak dalam dadanya kembali terasa begitu menyakitkan saat ia harus kembali di pertemukan dengan mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya itu. Hingga saat ini, Azeil masih mempercayai penglihatannya, jika Dyra telah mengkhianati cintanya dan berselingkuh dengan Leo, rivalnya. Walaupun sudah tiga belas tahun berlalu, tetapi rasa sakit saat itu masih terasa sangat membekas dalam hati Azeil. Pria tampan itu mencoba mengatur perasaannya hingga pintu lift pun akhirnya terbuka. Azeil segera melangkahkan kaki keluar dari dalam lift dan berjalan menuju ruangan yang berada tepat di ujung lorong. Pria itu berdiri di hadapan pintu kaca yang sangat tinggi dan cukup besar, bertulisan DIrektur Utama. Azeil menarik handle di hadapannya hingga pintu tersebut bergerak terbuka secara otomatis. Ia kembali melanjutkan langkahnya dan tersenyum saat sang ayah menyambut kedatangannya dengan senyum lebar di wajah tuanya. “Selamat datang di perusahaan, Aze.” Sambut Oris dengan bangganya. Azeil berusaha melupakan sejenak perasaan yang mengganggunya, lalu tersenyum pada ayahnya. “Terima kasih, Ayah,” sahutnya. Azeil berjalan mendekat pada Oris yang kini tengah berdiri di samping mejanya, lalu memeluk sangat erat tubuh kekar sang Ayah yang sangat Azeil rindukan. “Bagaimana kabar Ayah?” tanya Azeil. Oris mengusap punggung anaknya itu lalu melepas pelukannya untuk menatap wajah lelakinya. “Ayah baik-baik aja. Bagaimana kabar kamu?” tanya Oris. “Aze juga baik, Yah,” sahut Azeil. Mereka berdua pun kini duduk di atas sofa. Oris menekan tombol merah di bawah meja kecil di sampingnya, hingga seorang wanita muda bertubuh tinggi dan seksi, dengan dress navy melekat sangat pas di tubuhnya, masuk ke dalam ruangan tersebut. Wanita itu melirik pada Azeil yang nampak tak tertarik padanya, lalu membungkukkan tubuhnya. “Buatkan dua cangkir cappuccino panas!” Perintah Oris. “Baik.” Wanita itu pun kembali keluar dari ruangan Direktur Utama. Setelah sekretaris Oris keluar, Azeil kembali menatap sang ayah lalu tersenyum. “Gimana kabar Zeira?” tanya Azeil. “Kamu belum temuin Bunda kamu dan Zeira di rumah?” tanya Oris dengan dahi berkerut. “Udah, Yah. Tapi, Zeira gak ada di rumah. Kata bunda sih lagi ada keperluan di perusahaannya,” sahut Azeil. Oris menganggukkan kepalanya. “Kapan kamu sampai di Indonesia?” tanya Oris lagi. “Aze sampai di Indonesia jam sebelas malam dan langsung pulang ke apartement, Yah. Maaf, Aze gak kabarin Ayah dan Bunda.” Oris menggelengkan kepalanya. “Yang terpenting … kamu kembali dengan selamat sampai Indonesia.” Azeil kembali tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Tepat saat pria itu ingin menanyakan sesuatu pada Oris, sekretaris tadi kembali mengetuk pintu dan berjalan masuk dengan membawa sebuah nampan berisikan dua cangkir cappuccino di atasnya. Wanita itu pun menaruh gelas-gelas tersebut di atas meja, lalu membungkuk untuk berpamitan. Setelah pintu benar-benar kembali tertutup dengan sempurna, Azeil menghela napasnya perlahan-lahan, dan memberanikan diri untuk bertanya pada Ayahnya. “Yah, apa harus Aze yang gantiin posisi Ayah?” tanya Azeil dengan wajah serius. Oris yang sedang menyesap cappucinonya segera menaruh kembali cangkir tersebut di atas meja, lalu duduk menghadap putranya. “Ya, Aze. Hanya kamu yang bisa gantikan posisi Ayah di perusahaan ini, dan hanya kamu yang bisa Ayah percaya untuk mengelola, perusahaan ShadowTech,” sahut Oris. “Kenapa Ayah menyerahkan posisi Ayah?” tanya Azeil. “Ayah udah cukup tua untuk mengelola perusahaan,” jawab Oris. “Dan Aze masih muda?” tebak Azeil. Oris tertawa kecil mendengar perkataan anaknya itu. “Ya, dan kamu masih muda dengan pikiran dan ide-ide yang fresh. Ayah yakin, kamu bisa mengelola perusahaan ini dengan baik sesuai kemampuan kamu,” ujarnya. Azeil terdiam mendengar perkataan Ayahnya. Ia mulai mempertimbangkan tawaran Oris untuk mengambil alih perusahaan rintisan keluarga Auberon tersebut. Pria itu menghela napas cukup dalam lalu kembali menatap wajah sang Ayah. “Baiklah, Aze akan mengambil alih perusahaan ShadowTech!” ujar Azeil dengan yakin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN