[5]

678 Kata
MATI lo, Tor! Mati! Lo kudu mati di tangan gue! Mati! Sumpah, gue kesel banget! Sial banget gue punya temen namanya Tora! Punya dosen namanya Satria! Kerja di rumahnya pula! Yang lebih ngeselin kalau inget kejadian pagi tadi! Rasanya pengen muntah! Gue nyium Pak Tria! “Enggak! Enggak! Lupain, Ken! Lupain!” “Kenapa lo?” tanya Tora yang baru aja kelar giliran jam kerja, dan sekarang nyimpen apronnya di loker kafe tempat kami kerja part time. “Sialan lo!” maki gue, langsung narik kerah kemeja Tora dan ngedorong tubuhnya. “Kenapa lo enggak bilang kalau itu rumahnya Pak Tria? Lo sepupuan sama dia?” “Lha, gue pikir lo udah tahu?” “Mana gue tahu, Setan!” “Ya, kan lo anak bimbingannya. Masa enggak pernah bimbingan di rumahnya? Atau kafe-kafe deket sana?” “Kagak! Dia itu dosen baru, gue satu-satunya anak bimbingan dia! Gue bimbingan selalu di kampus! Dan setau gue, dia itu tinggalnya di apartemen!” “O iya, gue lupa,” cengir Tora santai, sambil berusaha lepas dari cengkeraman gue. “Lupa lo bilang?” Tora ngangguk. “Ya, lagian lo juga enggak nanya, kan?” Gue mencebik, terus duduk di bangku panjang yang ada di ruang loker. Berulang kali menghela napas, sampai mirip orang bengek. “Ya, kali gue mesti ketemu dia tiap hari, sih? Enggak di kampus, enggak di rumahnya!” Tora masih sibuk ganti baju, terus pakai sepatunya. “Malesin banget! Dia itu dosen paling rese!” Tora duduk di sebelah gue, sambil ngiket tali sepatunya. “Ya, bagus. Lo jadi gampang bimbingan, kan? Eh, tumben banget dia ada di rumah. Biasanya dia jarang ke rumah lho. Ya itu tadi, kayak kata lo. Dia tinggalnya di apartemen.” “Aldo kangen sama dia,” jawab gue lemas. “Lo juga kangen, enggak?” Gue langsung pelototin Tora. “Sori. Ngomong-ngomong, dia itu most wanted di keluarga besar kita lho, Ken,” jelas Tora sambil benerin kerah bajunya, padahal gue enggak nanya. “Banyak orang tua yang pengen jadiin dia menantu. Masih muda, ganteng, sukses, dosen, arsitek, mapan. Eh, kenapa muka lo merah?” Gue langsung gelagapan. Emang merah ya muka gue? Sialan! Ini gara-gara, pas Tora jelasin tentang Pak Tria, gue malah inget kejadian yang iya-iya sama Pak Tria tadi pagi! Ah, Sebel! “Enggak!” elak gue. “Perfect banget, kan? Suamiable! Kurang apa lagi, coba?” “Kurang hati!” balas gue, yang bikin Tora ngakak. “Tapi gue rasa dia enggak minat sama cewek deh.” “Maksud lo?” “Denger-denger dia itu gay!” “Hah?! Gay?” “Ssssttt … mulut lo kalau ngangak enggak usah kayak terowongan gitu!” kesal Tora sambil bekepin mulut gue. “Tapi ini gue baru denger-denger doang sih. Kabar dari beberapa om dan tante yang beberapa anak ceweknya udah ditolak sama dia.” Omongan Tora, bikin gue mau enggak mau mikirin kejadian tadi pagi lagi. Sialan! Tapi setelah gue inget-inget dengan pasti, tadi pagi pas bibir gue ketemu sama bibir Pak Tria, emang tuh cowok enggak ada reaksi apa-apa sih. Lempeng, kayak jalan diaspal. “Coba deh lo pikir. Selama lo bimbingan atau kuliah sama dia, pernah enggak denger dia jalan sama cewek atau minimal dia keliatan naksir sama cewek?” Gue coba mikir. Iya juga sih. Pak Tria emang dosen baru, belum ada setahun. Dia bersih dari gosip jalan bareng wanita. Sopan. Galak, pelit nilai, disiplin, katanya enggak mau nerima anak bimbingan. Eh, tapi ini kenapa mau nerima gue?! “Tapi, Ken. Saran gue buat lo, tetep jaga hati ya.” “Maksud lo?” “Ya, siapa tahu kayak pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino, cinta ada karena terbiasa. Saking seringnya lo ketemu, eh, lo cinta sama dia,” kekeh Tora. Sialan! Kalau aja tuh cowok enggak kabur duluan, udah gue tempeleng pake sepatu deh! Sekarang gue enggak ada pilihan lain selain nerima keadaan ini. Terjebak bersama Pak Tria atau mending gue resign aja, ya? Tapi … duitnya dari Tante Yuni lumayan gede, sayang banget. Sabar, Ken … sabar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN