Siuman

1875 Kata
Tubuhku terasa kaku seperti tak bertenaga saat perlahan mata terbuka. Warna putih dan bau obat-obatan mulai tercium jelas. Aku bisa mendengar suara beberapa orang yang ada di dalam ruangan, tapi bibirku terasa kaku saat berucap. Aku ada di rumah sakit, itulah informasi pertama yang ada di kepalaku. Banyak selang yang menusuk tangan, alat bantu pernapasan pun masih terpasang. Aku ingin memberitau mereka, orang-orang yang ada di ruangan ini kalau aku sudah sadar. Suaraku lagi-lagi tidak bisa keluar. Sangat sulit, seperti bayi tiga bulan yang ingin bicara lancar. “Ana, kamu sudah sadar?” Mamaku menangis. Aku mendengarnya berteriak bahagia lalu memanggil dokter dengan menekan tombol yang ada di samping tempat tidur. Orang-orang yang duduk jauh dari tempatku berbaring kini mendekat. Aku bisa mengenali wajah mereka semua. Mama, papa dan … Alex? Dia ada di sini? Bagaimana bisa? Aku masih ingat dia pergi tiga tahun yang lalu menyusul Melody. Kepalaku terasa berputar, suara mereka bercampur aduk dalam pikiranku. Aku tidak ingat apa alasan Alex menyusul Melody. Ingatanku seperti ada yang membatasi. Denyutan di kepala semakin terasa saat aku mencoba mengingat kejadian yang membuat diriku berada di tempat ini. Namun, semakin aku mencobanya, kesadaranku terasa direnggut paksa. “Ana, kamu harus tetap sadar.” Itu suara papa. Mataku terpejam, tapi telingaku tetap mendengar apa yang mereka katakan. Suara Alex menyahut, tidak kalah paniknya. Aku tidak merasakan apa pun sampai dokter mulai memeriksaku. Mataku terasa berat untuk terbuka lagi. Entah sudah berapa lama aku tertidur lelap. Saat aku terbangun hanya ada Alex di ruangan . Pria itu sedang tidur meringkuk di sofa. Alat bantu pernafasan masih terpasang seperti sebelumnya. Tanganku berusaha bergerak, tapi terasa sangat sulit. “Ana,” panggilnya dengan suara lembut. Aku berusaha tidak menoleh, rasa sakit saat Alex pergi masih membekas. Tanpa sadar air mataku menetes.Alex beranjak dari sofa dengan rambut acak-acakan. Dia terlihat lelah, ada lingkaran hitam yang samar-samar terlihat di kelopak mata. Alex mengusap sudut mataku dengan ibu jarinya. Kupejamkan mata berusaha tidak melihat wajahnya lagi. Dia sudah menyakitiku. “Saya senang kamu sudah sadar,” kata Alex dengan suara tercekat. Aku bisa mendengar bagaimana sulitnya ia bicara. Apa Alex menyesal telah meninggalkan aku? Apa dia menyesal lebih memilih Melody? “Sa-saya… ma-mau … se-sen-diri.” Hanya tiga kata yang keluar dari bibirku. Masih sulit untuk berbicara, tapi aku yakin Alex mendengarnya. Pria itu melepas genggaman tangannya lalu menekan tombol yang ada di samping tempat tidur. Seorang dokter dan perawat datang memeriksa diriku. Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh dokter yang menurtku aneh. Ia bertanya apakah aku ingat namaku? Itu konyol, tapi aku tetap mengangguk. Dokter tahu aku masih kesulitan bicara. “Ibu Ana harus banyak istirahat, ada beberapa pemeriksaan yang akan kami lakukan setelah ini, untuk lebih lengkap kita akan bicara setelah hasil pemeriksaan keluar,” kata dokter. Alex mengangguk lalu duduk di samping tempat tidur setelah dokter keluar. “Ana,”panggil Alex. Aku tidak menjawab, lebih memilih memalingkan wajah. Tiga tahun yang lalu Alex sudah mengecewakan aku. Ia sendiri yang memilih untuk pergi. “Ana.” Alex masih memanggil namaku. Tangannya yang besar kembali menggenggam tanganku. “Pe-per-gi.” Suaraku terbata, tapi kali ini aku rasa Alex mendengarnya dengan baik. Alat bantu pernapasanku sudah dilepas, aku tidak memerlukannya lagi. Genggaman tangannya mulai mengendur, perlahan terlepas. Alex tidak banyak bicara. Ia berdiri membuat kursi berderit. Aku tidak bisa menatap bagaimana ekspresi wajahnya yang jelas ia melangkah keluar. Suara sepatunya menggema di ruangan yang sepi. Aku menoleh tepat saat pintu tertutup. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku bisa berbaring di rumah sakit? Pertanyaan yang sampai saat ini belum mendapat jawaban. Aku harus bertanya pada papa dan mama ketika mereka datang. Cincin yang melingkar di jari membuat pikiranku berkelana. Apa aku sudah menikah? Dengan siapa? Seingatku setelah Alex pergi aku tidak punya pacar. Apa mungkin aku sudah menikah dengan pria lain? Kembali kutatap cincin itu. Kepalaku berdenyut nyeri saat aku mencoba mencari kepingan ingatan dari masa lalu. Kejadian yang menyebabkan aku berada di rumah sakit pun raib dalam memori. “Ana.” Aku menoleh saat mama memanggil. Aku larut dalam pikiran sampai tidak menyadari kedua orang tuaku masuk ke kamar inap. Wajah mereka terlihat lelah, tidak jauh beda dengan keadaan Alex. Mereka pasti tidak tidur selama aku dirawat. “Ma-ma.” Air mata jatuh dari pipi yang semakin tirus. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau saja aku tidak segera sadar. Mama pasti sakit, begitu juga dengan papa. “Mama senang kamu sudah sadar lagi.” Mama memelukku dan kubalas tidak kalah erat. Tanganku mulai bisa digerakan dengan leluasa, tapi kedua kakiku masih terasa kaku. Mama melepas pelukan kami, lalu papa bergantian memelukku. Seperti biasa papa tidak akan memperlihatkan kesedihannya di depanku. Ia hanya mencium keningku setelah pelukan kami terurai. Aku ingin bicara banyak, tapi belum bisa. Aku harus bersabar untuk itu. “Mama dan papa hampir putus asa, tapi Tuhan menjawab doa-doa kami. Akhirnya kamu sadar, Ana, setelah 6 bulan kritis,” kata Mama membuat aku kaget. Kritis selama 6 bulan? Apa yang terjadi? Apa aku kecelakaan? Mama tidak menjelaskan lebih lanjut, ia menangis dalam pelukan papa. Aku tahu sangat berat bagi mereka menjalani hari-hari selama 6 bulan. Papa pasti kerepotan mengurus mama yang kadang masih labil seperti remaja. Mirip seperti diriku. Hari itu mama menemani aku di rumah sakit sementara papa kembali bekerja. Alex tidak datang lagi setelah aku usir. Biarlah dia pergi, aku ingin menata hatiku lagi tanpanya. Apa dia pikir aku berbaik hati memaafkan dirinya atas kejadian di masa lalu? “Kamu mau makan buah sayang?” tanya mama. Aku menggeleng. “Enggak, Ma.” Setelah beberapa saat akhirnya suaraku kembali. Tidak banyak yang bisa kuucapkan, tapi setidaknya aku bisa bicara lebih lancar. Mama menyalakan televisi sebagai hiburan. Aku rindu kamarku dan ingin cepat pulang. Aku sudah bilang pada mama, tapi katanya aku harus menunggu hasil pemeriksaan dokter. “Ma, ini cincin apa?” tanyaku sembari mengangkat tangan untuk memperlihatkan cincin itu pada mama. Tatapan mama berubah sendu, ia tersenyum tipis lalu mencium keningku. “Kamu benar nggak ingat apa-apa?” tanya mama seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan. “Ma, aku tidak ingat tentang cincin ini. Apa aku sudah menikah ?” tanyaku dengan pelan-pelan. Itulah yang aku pikirkan sejak tadi, ada rasa takut karena mungkin saja aku tidak mencintai pria itu. Sejak awal aku membuka mata tidak ada sosok asing yang terlihat. Aku harap bisa mendengar kabar baik dari mama. “Kamu tidak ingat kenangan tentang cincin itu?” Mama menatapku sendu, ia berusaha untuk tidak menangis. Aku tahu, dia sedih dengan keadaan anaknya yang lupa ingatan. “ Cincin itu pemberian Alex,” ucapnya. Aku tersentak. Cincin dari Alex. Aku teringat kami pernah pacaran seminggu sebelum akhirnya putus. Alex pergi bersama Melody. Aku tidak ingat lebih jelasnya apakah Alex pernah memberikan cincin ini sebelum pergi? Rasa sakit itu kembali muncul, selama tiga tahun aku masih mengenakan cincin ini? Aku segera melepasnya paksa lalu memberikannya pada mama. “Tolong kembalikan pada Alex, Ma. Aku tidak mau lagi berurusan dengan pria itu.” Mama menerima cincin itu lalu meraih tanganku. Tatapannya terluka, aku tahu mama merasakan sakit hatiku. Sebagai anak satu-satunya mama lebih perhatian padaku, ketika anaknya tersakiti mama pun merasakan hal yang sama. “Kenapa sayang? Alex baik kok, dia nungguin kamu terus sampai siuman,” kata Mama. Aku sudah tidak mau mendengar semua tentang pria itu. Alex kadang baik, juga menyebalkan. Dia pria yang tidak bisa kutebak, sayangnya aku pernah mencintainya. Itu salah satu kesalahan yang kulakukan dan tidak akan kuulangi. “Mama bilang dia baik? Kalau benar dia pria baik tidak mungkin Alex meninggalkan aku selama tiga tahun. Dia pergi tanpa kabar, dan sekarang dia muncul tiba-tiba. Aku gak mau dijadikan boneka,” ucapku sedikit bertenaga supaya mama bisa memahami betapa sakitnya hatiku saat itu. “Oke, mama akan kembalikan, tapi mama mohon kamu jangan terlalu cuek sama Alex, ya. Kasihan dia sudah nungguin kamu berbulan-bulan.” “Tergantung,” ucapku singkat. Aku tidak tahu apa yang membuat mama sangat menyukai Alex meski pria itu sudah menyakiti anak perempuannya. Alex hanya menunggu 6 bulan sedangkan aku menunggu 3 tahun. Apakah itu adil? Aku berusaha melupakannya, tapi dia kembali tanpa rasa bersalah. Seakan dialah yang paling tersakiti. Keesokan paginya aku terbangun karena gemericik suara air. Saat mata terbuka yang pertama kali kuperiksa adalah jam. Kulihat jam dinding berbentuk persegi tertempel di tembok di atas televisi.Ini baru jam setengah enam, tapi sudah ada yang mandi. Aku tebak itu pasti mama atau papa. Setelah menunggu cukup lama, pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok pria tampan bertelanjang d**a. Celana pendek hitam yang dikenakannya menambah kesan seksi dan bahaya. Itu Alex. Aku mengenalnya meski dia sedang mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ruang inapku memang terlihat seperti kamar hotel, tapi ingat ini rumah sakit bukan penginapan. Alex sepertinya tidak peduli akan hal itu, dia sangat santai keluar dari kamar mandi tanpa pakaian lengkap. “Eh? Kamu sudah bangun? Apa saya membangunkan kamu?” tanya Alex sembari mengalungkan handuk yang dipakainya. Ia berjalan ke sofa di mana ia meletakkan tasnya. Alex mengeluarkan setelan jas lengkap dari tas punggung hitam. Aku tidak tahu kalau semalam ia menginap. “Pak Alex tolong sopan. Apakah baik kalau keluar kamar mandi seperti itu?” tanyaku. Tubuhnya terbentuk sempurna, terlebih perutnya yang tidak buncit sama sekali. Aku coba mengendalikan diri supaya tidak tergoda dengannya. “Kenapa? Ada yang salah?” tanya Alex dengan wajah kebingungan. Dia sudah dewasa kenapa masih bersikap seperi anak-anak. “Saya wanita single, jadi Anda harus bersikap lebih sopan di hadapan wanita. Ingat, kita tidak punya hubungan apapun.” Aku menekankan setiap kata yang kuucapkan agar pria itu mengerti. Alex hanya mengangguk, tapi tidak mengidahkan ucapanku. Entah apa yang dipikirkan pria itu, Alex mencoba melepas celana pendeknya. Aku menjerit, menutup wajahku dengan selimut. “Bapak jangan kurang ajar, ya!” bentakku. Pagi ini adalah yang terburuk, Alex membuat hariku menjadi tidak baik. “Apa yang salah?” tanya Alex seakan apa yang dilakukannya adalah hal normal. “Jangan buka-bukaan di depan saya!” Aku masih membentak, tapi Alex tidak membalas. Langkah kakinya mendekati tempat tidurku. Kuturunkan sedikit selimut yang kugunakan sampai menutupi hidung. Sekarang aku bisa melihat sosok tampan itu berada di sampingku. Alex menunduk membuat aku takut. Jantungku berdebar kencang, bau harum sabun menggelitik hidungku. “Kita sudah pernah melakukan lebih dari ciuman. Saya tahu di mana saja letak t**i lalat dan tanda lahir kamu yang tersembunyi. Saya sudah melihat semuanya begitu juga dengan kamu, jadi tidak perlu ada yang disembunyikan lagi. Kamu hanya milik saya,” bisiknya di telingaku. Ekor mataku menangkap sebuah seringai tipis di wajahnya. Alex sangat bahaya untukku. Wajahku memanas, jantungku terus berdegup kencang. Sekujur tubuhku merinding merasakan napasnya menggelitik telinga dan leherku. Apa benar yang Alex katakan? Kami sudah pernah melakukan itu? Bayangan samar-samar mulai terbentuk dalam ingatanku. Ada gambaran diriku dan Alex di sebuah hotel. Aku mengingatnya, hari di mana aku mabuk dan berakhir di kamar hotel dengan Alex. Aku benar-benar malu. Aku segera menarik selimut untuk menutupi wajahku. Aku sangat malu. Kejadian yang memalukan. “Jangan pernah datang ke sini lagi. Saya tidak mau bertemu Pak Alex!” ucapku. Alex tidak menjawab. Dari balik selimut, kucoba untuk mengintipnya. Alex segera mengenakan pakaian kantor. Ia terlihat tenang dan tidak banyak bicara. Bahkan ketika ia berpamitan aku tidak merespon. Lebih cepat ia pergi itu lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN