Pertemuan

754 Kata
Max POV Aku menghela napas panjang sembari menatap di kaca jendela yang menampakan pemandangan indah. Kenapa aku harus datang ke desa ini, padahal aku ingin berlibur tapi tiba-tiba saja ada urusan di sini. Namaku Maxy Anderson, umurku 20 tahun. Walau aku muda, jangan pikir aku bekerja hanya sebagai staf atau apapun itu karena aku adalah CEO dari Anderson Coporation yang menangani bidang teknologi di bagian kesehatan. Desa Anggrek adalah Desa yang di bantu oleh perusahaanku. Aku pernah ke desa ini untuk berkunjung dan aku bersimpati melihat orang-orang yang sakit tapi tak punya puskesmas. Akhirnya aku membangun puskesmas untuk mereka plus dengan fasilitas. Aku menguap kala kepala puskesmas menerangkan apa yang mereka inginkan malah mataku lebih tertarik melihat jalanan yang di penuhi anak bermain. Kala mereka sedang asyik bermain, seorang anak gadis datang dengan membawa kucing kecil begitu anak perempuan itu dilihat oleh mereka, mereka langsung melempari anak perempuan itu dengan batu. Aku jelas saja kaget melihat peristiwa itu dan segera berlari keluar mengusir anak-anak yang melemparinya dengan batu. Begitu anak-anak itu pergi, aku bisa dengar anak perempuan itu terisak tapi tak menangis. Kuhampiri dia dan bisa kulihat perempuan itu menghapus air mata yang turun ke pipinya. Darah segar mengalir di pelipis kirinya dan banyak lagi luka yang membuatku miris. "Kau tak apa-apa, dek?" tanyaku pada gadis kecil itu. Perempuan itu melihatku sekilas kemudian melihat pada kucing kecil yang dia bawa. Dia berdiri dan memandangku, begitu matanya melihat mataku, aku terpaku atau lebih tepatnya terpana karena matanya yang indah. Matanya beda dengan perempuan lain, mata saphire biru yang berkilauan membuat jantungku berdegup kencang "Makasih ya om sudah mau nyelamatin Amira, saya pamit dulu". Begitu dia berbalik aku sadar dan secepatnya aku menghentikannya. "Tunggu dulu." Perkataanku kontan membuatnya berhenti dan menoleh memandangku. "Aku lihat kau terluka, apa kau tidak mau diobati?" tanyaku padanya sambil melihat lukanya. "Tapi..." "Tenang saja aku yang akan membayar pengobatanmu." potongku dengan senyuman. Berharap bahwa dia mau menuruti ucapanku. Gadis kecil itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk mau. Aku tersenyum lembut dan mengulurkan tanganku tanpa basa-basi dia menggenggam tanganku. Setelah selesai mengobati lukanya, mataku tak jemu menatap gadis kecil yang kini tengah asyik memakan buah apel yang ku kupas untuknya. Dia cantik sekali, matanya yang biru dan hidungnya yang mancung benar-benar menarik perhatianku. Walau kulitnya hitam dan rambut coklat pirang berantakan tapi entah kenapa membuat dia terlihat manis. Aku tersenyum padanya kala dia memandangku. "Apa enak?" tanyaku padanya. "Ya." jawabnya singkat. "Kau mau tambah lagi?" tanyaku sambil menyodorkan sebuah piring yang di dalamnya terdapat beberapa apel yang sudah terkupas. Tanpa malu-malu gadis itu kembali mengambil seiris apel yang sudah terkupas. "Adek benar tinggal di desa ini?" "Iya om, saya juga lahir di sini." "Kalau boleh tahu namanya siapa?" "Amira om," "Amira, perkenalkan namaku Max". Amira hanya menatapku datar sambil melahap apel bikin gemas aku menatapnya. Aku terheran kala Amira menatap pada pintu yang terbuka langsung menunduk. Mataku menoleh pada pintu yang terbuka melihat segelintir orang mengintip kami berdua. Begitu aku menatap mereka, mereka langsung membubarkan diri segera setelah melihatku yang memandang mereka dengan pandangan tajam. "Kenapa?" "Sepertinya Amira nggak diinginkan di sini." jawab Amira pelan. "Maksudnya?" "Amira, 'kan baru datang ke sini pertama kali." "Amira baru datang di sini jadi Amira nggak pernah datang ke sini sebelumnya?" Dia menggeleng. "Kenapa?" "Amira selalu di usir sama setiap orang kalau Amira datang ke sini." Oh, jadi begitu itu sebabnya dia tak nyaman di sini awas saja jika mereka tak memperlakukan Amira dengan baik akan kupecat mereka. Aku menepuk kepalanya sembari tersenyum. "Sekarang jangan khawatir ya, kau adalah tamu VVIP di sini kau boleh datang ke sini kapanpun kau mau biar aku yang urus." ujarku sambil tersenyum. "Benarkah?" Aku tersenyum melihat dia yang juga tersenyum sambil bersorak gembira. "Makasih ya om." ucapnya. "Sama-sama." balasku, aku senang sekali melihat dia bahagia. Matanya lalu sekilas melihat pada kucing kecil yang sedang minum s**u di bawah. "Om, kasihan ya sama kucing kecil itu tidak punya keluarga makanya Amira bawa tapi Amira tidak bisa bawa pulang nanti ayah sama ibu buang kucing itu." tuturnya. Aku melihat pada kucing kecil yang tengah minum itu. "Bagaimana kalau aku saja yang memeliharanya?" "Om nggak keberatan?" "Tidak, aku itu tinggal sendiri di rumah." jawabku. Amira yang awalnya tersenyum perlahan senyumnya menghilang kala melihat jam di dinding. "Aku harus pergi dulu titip kucing itu ya om." "Kenapa buru-buru?" "Sebentar lagi jam istirahatku akan habis maafkan Amira ya om kalau Amira buat om kerepotan oh iya makasih juga ya om untuk semuanya." Aku hanya tersenyum simpul melihat gadis itu bergegas keluar. End of Max POV
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN