Bab 17

957 Kata
Pagi itu rumah besar keluarga Gerald terasa hening, hanya suara burung di halaman belakang yang terdengar samar. Lusi bangun lebih awal seperti biasa, rambutnya masih sedikit berantakan namun wajahnya tampak berusaha tetap tegar. Dia turun ke dapur dengan langkah hati-hati, memastikan tidak membangunkan siapa pun. Rumah itu terlalu luas, dan setiap langkah terasa menggema, seolah mengingatkannya bahwa ia adalah orang baru di rumah yang masih menolak kehadirannya. Gerald sudah berangkat dua hari lalu. Katanya ada urusan bisnis di luar kota. Jadi yang tersisa di rumah hanya beberapa pelayan, ibu Gevan yang sakit dan selalu berada di kamar, dan tentu saja… Gevan. Lusi membuka kulkas dan mulai menyiapkan bahan masakan. Dia tahu Gevan mabuk semalam, kepalanya pasti sakit, jadi dia membuatkan bubur ayam lembut dengan sedikit jahe agar aromanya menenangkan. Dia juga menyiapkan teh hangat — minuman favorit Gevan dulu sebelum semua kekacauan ini terjadi. Namun kali ini Lusi membuatnya dengan sangat ragu, takut kalau kebaikannya malah dianggap menyentuh ranjau. Sambil memasak, Lusi berulang kali melirik ke arah meja makan. Dua piring yang dia tata rapi terasa menegangkan. Dia menelan ludah, menghela napas beberapa kali, mencoba menenangkan hatinya. Dia ingin membuatkan bubur juga untuk ibu Gevan sebenarnya, tetapi trauma kata-kata kasar Gevan kemarin membuatnya takut. Dia tidak ingin salah lagi. Ketika bubur hampir matang, langkah berat terdengar dari arah ruang tamu. Suara langkah orang yang pusing dan baru bangun setelah mabuk. Lusi refleks menoleh. Gevan keluar dari kamar tamu dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan satu tangan memijat pelipisnya keras-keras. Ia tampak lelah, matanya sedikit merah karena kurang tidur atau terlalu banyak minum semalam. Tubuhnya besar dan tegap, tetapi pagi ini ia tampak lebih rapuh, seperti seluruh beban dunia menindih dadanya. Lusi memaksakan senyum kecil. “Selamat pagi. Aku sudah buatkan sarapan untukmu. Ada bubur… dan teh hangat untuk mengurangi pusingmu.” Gevan berhenti beberapa langkah dari meja makan. Tatapannya langsung berubah dingin seperti es. Bibirnya terangkat sinis. “Kau pikir aku butuh makanan darimu?” Lusi tertegun. Tangannya yang memegang sendok bergetar sedikit. “Aku cuma… aku cuma ingin membantu…” “Tidak perlu.” Gevan mencibir tajam. “Jangan bertingkah seolah kau peduli. Aku tidak butuh belas kasihan dari p*****r sepertimu.” Kata itu menghantam d**a Lusi seperti pukulan. Pelacur. Dia sudah sering mendengarnya dari mulut Gevan, tapi tetap saja setiap kali diucapkan, kata itu merobek hatinya. Lusi menunduk. “Maaf kalau aku mengganggu… aku tidak bermaksud—” “Cukup,” potong Gevan. Dia berjalan ke kulkas, membuka pintunya agak keras. Suara dentingan botol memenuhi ruangan. Dia mengambil sebotol air dan meneguknya cepat-cepat. Pelayan di sudut dapur, yang sedang mencuci piring, hanya menunduk dalam-dalam. Mereka sudah terbiasa melihat pertengkaran itu. Namun karena Lusi adalah nyonya baru — meski dipanggil ‘mbak’ — mereka tidak bisa berkata apa-apa. Mereka takut pada Gevan yang selalu dipanggil tuan. Setelah minum, Gevan menutup pintu kulkas dengan hentakan kecil. “Jangan buatkan apa pun untukku lagi. Mengerti?” Lusi mengangguk pelan. “Mengerti.” Namun meski berkata mengerti, hatinya terasa hancur. Dia hanya ingin membantu. Dia hanya ingin hidup dengan damai di rumah ini. Tapi rupanya kebaikan pun dianggap salah oleh Gevan. “Gerald si tua bangka itu kemana?” tanya Gevan tiba-tiba, meski dia sudah tahu jawabannya. “Ke luar kota… ada bisnis,” jawab Lusi lirih. “Bagus,” gumam Gevan dengan nada sinis. “Berarti aku tidak perlu berpura-pura sopan.” Lusi menatapnya sebentar, tetapi Gevan langsung memalingkan wajah. Pria itu memijat pelipisnya lagi, mencoba mengabaikan rasa sakit yang semakin berdenyut. Namun ada hal lain, hal yang jauh lebih sakit dari kepala mabuk: melihat Lusi berdiri di dapur itu, memakai apron, memasakkan sarapan untuknya, namun bukan sebagai kekasihnya — melainkan sebagai istri ayahnya. Lusi memberanikan diri bicara, suaranya gemetar halus. “Gevan… aku tahu keadaan ini sulit. Aku pun tidak menginginkan semua ini. Aku… aku hanya ingin kita bisa tetap hidup baik, tidak saling menyakiti.” Gevan tertawa pelan. Tawa pahit. Tawa orang yang hatinya patah dan dikhianati oleh takdir. “Hidup tanpa saling menyakiti? Kau serius?” Dia menatap Lusi tajam. “Setiap hari melihatmu saja sudah menyakitiku.” Lusi menggigit bibir. Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. “Aku tahu… aku tahu ini sulit… tapi…” “Tidak. Kau tidak tahu apa-apa.” Suara Gevan merendah, namun justru terdengar semakin kejam. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya melihat wanita yang kucintai tidur sekamar dengan ayahku sendiri.” Lusi membeku. Itu pertama kalinya dalam beberapa hari Gevan menyebut kata cinta itu. Namun bukan dengan harapan — dengan kebencian. “Aku…” Lusi ingin menjelaskan. Ingin berkata bahwa semuanya terjadi begitu cepat, bahwa ia tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Apa pun yang dia ucapkan pasti akan terdengar salah. Gevan menatapnya lama, matanya merah bukan karena mabuk saja, tapi karena luka yang terlalu dalam. Luka yang Lusi sendiri tidak sengaja buat. “Aku keluar,” kata Gevan akhirnya sambil meraih jaketnya. “Dan jangan pernah menggangguku. Jangan telepon Gerald si tua bangka itu untuk menanyakanku. Jangan buatkan makanan untukku. Jangan bicara padaku kalau tidak perlu.” Dia melangkah menuju pintu. Tapi langkahnya berhenti ketika mendengar suara lembut itu memanggilnya. “Gevan…” Gevan memejamkan mata sejenak. Suara itu… suara yang dulu membuatnya jatuh cinta. Sekarang hanya membuat dadanya sesak. Dia menoleh sedikit. Lusi menatapnya dengan mata yang penuh luka namun tetap lembut. “Kalau suatu hari kau butuh bantuan… walaupun kau membenciku… aku tetap akan menolongmu.” Gevan menahan napas. Kata-kata itu menusuknya lebih dari apa pun. Namun ia buru-buru memalingkan wajah, menutup semua perasaan itu dalam-dalam. Karena dalam hatinya, ia tahu: Semakin ia melihat Lusi berbuat baik… semakin besar rasa bencinya pada takdir yang merebut wanita itu darinya. Dan semakin besar keinginannya untuk… merebut Lusi kembali. Dengan cara apa pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN