Bab 06

820 Kata
Rumah besar keluarga Orion begitu hening sore itu. Matahari sudah mulai turun, dan bayangan panjang dari jendela-jendela besar berjatuhan ke lantai marmer yang mengilap seperti permukaan kaca. Gerald sudah pergi sejak siang, entah kemana — pelayan hanya berkata bahwa tuannya pergi menghadiri pertemuan penting. Gevan pun tidak pulang, seperti biasa ia menghabiskan waktu di luar untuk menghindari rumah ini. Hanya pelayan yang tersisa, berjalan tenang, menunduk, seolah tidak berani mengeluarkan suara terlalu keras. Dan Lusi berada di ruang tamu, duduk sendirian dengan tangan bergetar memegang cangkir teh yang sudah dingin. Hatinya sejak tadi tidak tenang. Ada sesuatu yang terus mendorongnya sejak makan malam kemarin. Sebuah rasa bersalah yang semakin hari semakin menyesak di dadanya. Ia tahu, dirinya harus melakukannya. Menemui Mama Gevan. Wanita yang tidak pernah jahat padanya di masa lalu. Wanita yang dulu sering tersenyum lembut ketika melihat dirinya dan Gevan pulang bersama sewaktu masih pacaran. Wanita yang kini tidak lagi bisa bergerak atau berbicara. Lusi menelan salivanya. Ia berdiri perlahan, rok panjangnya menyentuh lantai marmer, berdesir pelan. Beberapa pelayan menunduk hormat saat ia lewat. "Bu Lusi… perlu bantuan?" tanya salah satu pelayan yang lebih tua. Lusi menggeleng pelan. "Tidak… aku hanya ingin… melihat kondisi Madame." Pelayan itu tampak sedikit terkejut tapi segera menunduk sopan. "Kamar utama ada di ujung koridor lantai dua, Bu." Lusi mengangguk pelan, lalu melangkah menaiki tangga besar yang penuh ukiran. Setiap langkah membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Tangannya menggenggam pinggiran gaunnya erat-erat agar tidak terlihat gemetar. Sesampainya di depan pintu kamar utama, Lusi berhenti. Pintu itu besar, tebal, dan terlihat berat. Di balik pintu itu… ada seseorang yang hidupnya hancur hanya dalam hitungan detik, seseorang yang tidak bersalah sama sekali. Lusi menarik napas panjang. Kemudian ia mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Ia memutar gagang pintu perlahan. Pintu terbuka dengan bunyi lembut, dan aroma obat-obatan langsung menyapa hidungnya. Kamar itu luas, dengan langit-langit tinggi dan warna-warna lembut yang menenangkan. Namun suasana yang terasa bukan ketenangan, melainkan kesepian yang sangat dalam. Di atas ranjang besar dengan sandaran kayu mahoni yang elegan, terbaring seorang wanita. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan rambutnya yang dulu indah kini menipis dan berantakan. Yunita. Mama Gevan. Wanita yang dulu terkenal anggun, berpendar seperti cahaya di setiap acara keluarga… kini hanya bisa berbaring tanpa gerak. Matanya memandang kosong ke langit-langit, seolah dunia sudah jauh darinya. Lusi hampir tidak bisa bernapas melihat itu. Ia melangkah mendekat pelan, berdiri di sisi ranjang. Ia menatap wajah Yunita yang dulu begitu hidup. Sekarang hanya ada kesunyian panjang. Lusi meremas kedua tangannya di depan d**a, matanya mulai berair. "Madame…" Ia duduk di kursi kecil di samping ranjang, dengan hati yang terasa berat. "Ini aku… Lusi." suaranya bergetar. "Maaf jika aku masuk tanpa izin." Yunita tidak bergerak. Matanya tidak berkedip. Hanya d**a yang naik turun pelan tanda ia masih hidup. Lusi menunduk. "Saya… saya tidak tahu apakah Madame masih bisa mendengar. Tapi saya harap… Madame bisa merasakannya." Ia mengusap lembut tangan yunita yang dingin namun lembut. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan lagi. "Saya tidak ingin menyakiti siapa pun…" bisiknya lirih. "Saya tidak ingin berada di posisi ini… tidak ingin membuat keluarga ini semakin hancur…" Lusi menggigit bibir. "Saya tahu Gevan membenci saya. Saya tahu semua orang pasti mempertanyakan keputusan saya untuk menikahi suami Madame." Ia mengusap air matanya cepat. "Tapi saya… tidak punya pilihan sama sekali." Tangannya mengusap lembut punggung tangan Yunita. "Keluarga saya… mereka bisa mati kalau saya tidak menerima pernikahan ini. Saya… saya berharap Madame mengerti… meski saya tahu ini tidak adil." Lusi terisak pelan. "Kalau Madame bisa mendengar… saya ingin meminta maaf. Saya benar-benar menyesal." Ruang kamar itu sunyi. Hanya suara angin dari jendela yang masuk melalui sela tirai. Lusi memegang tangan Yunita semakin erat. "Kalau Madame sadar… saya yakin Madame pasti sangat kecewa melihat apa yang terjadi. Bagaimana suami Madame menikah lagi… bagaimana putra Madame memusuhi semua yang berhubungan dengan pernikahan itu…" Lusi menahan tangis lagi, tapi tetap pecah. "Madame pasti benci saya… kan?" Ia mengusap air matanya, namun tangis tidak berhenti. Beberapa detik kemudian, kelopak mata Yunita bergerak… sangat pelan. Hanya gerakan kecil, samar, namun cukup membuat Lusi tersentak. Lusi langsung berbisik tergesa. "Madame? Madame bisa mendengar saya?" Namun Yunita tetap menatap kosong. Mungkin itu hanya refleks tubuh. Mungkin bukan. Tapi bagi Lusi, itu memberi sedikit harapan bahwa apa yang ia katakan mungkin sampai. Ia menunduk, kembali mencium punggung tangan Yunita dengan sangat pelan. "Saya janji… saya tidak akan menyakiti siapapun di rumah ini. Saya hanya ingin menjalani hidup ini dengan baik, tanpa mencuri apa pun." Saat ia hendak bangkit… Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Lusi membeku. Langkah berat masuk ke kamar. Dan suara yang sangat ia kenal bergema dalam keheningan. "Lusi." Gevan berdiri di ambang pintu. Tatapannya menajam begitu melihat pemandangan di depannya — Lusi duduk di samping ranjang ibunya, memegang tangan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya. Saat itu juga, udara di kamar itu berubah… menjadi terlalu dingin… terlalu tajam… terlalu berbahaya. Dan Lusi tahu… badai berikutnya baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN