Bab 03

1008 Kata
Upacara pernikahan itu mungkin berakhir, tetapi badai yang mengikuti jauh dari kata selesai. Lusi kini sah menjadi istri kedua Gerald Orion. Nama barunya bahkan sudah tertera jelas pada buku nikah. Tak ada satu pun tamu yang pulang tanpa bisik-bisik, tanpa tatapan heran, tanpa pertanyaan kejam dalam kepala mereka tentang bagaimana mungkin seorang gadis muda mau menikah dengan pria berusia 55 tahun—apalagi pria yang putranya pernah menjadi kekasihnya. Namun Lusi tidak menjawab apa pun. Tidak kepada pendeta, tidak kepada tamu, tidak kepada dirinya sendiri. Langkah kakinya tetap gemetar sejak meninggalkan gereja. Dan kini ia berdiri di depan pintu besar rumah keluarga Orion. Rumah yang dulu sering ia datangi sebagai tamu. Sebagai kekasih Gevanno. Rumah tempat ia dulu tertawa bersama Gevan, tempat ia pernah makan malam bersama keluarga itu, tempat ia pernah berpikir bahwa masa depannya mungkin akan berada. Kini rumah itu terasa seperti kandang singa, siap menerkamnya kapan saja. Gerald memasukkan kunci dan membuka pintu. “Masuklah,” kata Gerald lembut. “Ini rumahmu sekarang.” Lusi menelan ludah. Tangannya tremor. Namun ia melangkah masuk. Begitu pintu membuka lebar, aroma ruangan besar itu langsung menyambut—wangi wangi bunga segar dan parfum mahal. Ruang tengah yang luas, megah, dan penuh marmer putih langsung terlihat. Namun yang paling mencolok bukanlah kemewahan itu. Melainkan sosok yang duduk di sofa utama. Gevanno Orion. Dengan tatapan paling tajam, paling menusuk, dan paling dingin yang pernah Lusi lihat sepanjang hidupnya. Lusi berhenti di langkah pertama. Gerald tersenyum bangga, seolah membawa pulang piala. “Gevan, ini Lusi. Istriku.” Gevan tidak menjawab. Dia hanya menatap Lusi dari ujung kepala hingga ujung kaki—tatapan yang tidak mengagumi, tidak nostalgis, tidak rindu. Hanya penuh penghinaan. Lusi merapatkan kedua tangannya. “Halo, Gev—” “Diam.” Satu kata. Satu kata yang dingin, tajam, dan cukup membuat lutut Lusi melemas. Gerald mengerutkan kening. “Gevanno! Jangan kurang ajar!” Gevan akhirnya bersuara, suaranya serak oleh kemarahan yang ia tahan sejak di gereja. “Untuk apa membawa p*****r itu ke dalam rumah ini?” Seketika ruangan hening. Senyap. Lusi menahan napas. Wajahnya langsung memucat. Kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Gerald langsung meledak. “GEVANNO ORION! JAGA MULUTMU!” Namun Gevan berdiri perlahan dari sofa, menatap ayahnya dengan tatapan membunuh—tatapan yang menunjukkan betapa besar kekecewaannya. “Papa benar-benar tidak punya otak,” katanya dingin, datar. “Menikah lagi saat Mama masih hidup saja sudah keterlaluan. Tapi menikahi gadis muda?” Ia menunjuk Lusi dengan tatapan jijik. “Gadis yang pernah tidur di kamarku. Gadis yang pernah nangis di bahuku. Gadis yang dulu Papa sendiri bilang tidak pantas jadi pasangan anak Papa.” Gerald memerah dan mendekat, namun Gevan melangkah setengah lingkaran mengitari ruangan, seperti predator mengelilingi mangsanya. “Lucu sekali,” lanjut Gevan. “Dulu Papa yang marah besar saat aku pacaran dengan Lusi. Papa bilang dia hanya gadis miskin yang memanfaatkan keluarga kita. Papa bilang dia tidak bisa dipercaya. Papa bilang dia… apa kata-kata Papa waktu itu?” Ia pura-pura berpikir sejenak. “Oh, benar. Papa bilang dia wanita yang akan menjual tubuhnya demi naik kelas sosial.” Wajah Gerald menegang. “Gevan, hentikan!” “Dan sekarang Papa justru menikahi dia?” Gevan tertawa kecil—tawa gelap yang tidak memiliki humor sedikit pun. “Cih. Ironi macam apa ini?” Lusi hanya berdiri kaku, tidak mampu menahan getaran tubuhnya. Ia menunduk dalam, entah karena malu atau takut. Gerald melangkah maju, berdiri di depan Lusi seakan melindunginya. “Jangan menghina Lusi! Dia istriku! Dia wanita baik. Dan aku mencintainya.” Gevan mengangkat alis. “Cinta?” Ia mengamati Lusi dari jauh, melihat bagaimana bahunya gemetar, bagaimana matanya ketakutan. Namun ia tidak memberikan belas kasihan sedikit pun. “Tidak usah pura-pura,” ujar Gevan tajam. “Papa menikahinya karena Papa butuh pelampiasan, bukan cinta.” Gerald menaikkan suaranya, “GEVANNO!” “Papa butuh tubuh muda,” sambung Gevanno tanpa ragu. “Papa butuh seseorang untuk memenuhi hasrat kotor Papa. Mama lumpuh, jadi Papa mencari pengganti. Itu saja.” Gerald langsung menampar meja marmer, membuat suara keras memantul di seluruh ruangan. “Diam atau aku—” “Apa?” Gevan menantang. “Papa mau usir aku dari rumah ini? Silakan. Tapi aku tidak akan berhenti bicara.” Ia menatap Lusi. “Tahukah kamu?” kata Gevan lirih namun jelas. “Aku pernah membayangkan menikah di rumah ini.” Lusi menahan napas. “Denganmu.” Gerald memelototkan mata, namun Gevan melanjutkan: “Dan sekarang kau berdiri di rumah yang sama, sebagai istri AYAHKU.” Gevan mendekat dua langkah, cukup dekat untuk membuat Lusi ingin mundur tetapi ia tidak berani bergerak. “Kau memang hebat,” bisik Gevan, penuh sarkasme. “Kau berhasil naik kelas lebih cepat daripada yang kukira.” “Gevan, hentikan…” suara Lusi gemetar, lirih, hampir tak terdengar. “Kenapa? Tersinggung?” Gevan membalas tanpa ampun. “Kau tahu apa? Kalau kau tidak mau dipanggil p*****r, jangan menikahi ayah mantanmu.” Gerald akhirnya tidak tahan. Ia melangkah maju, mendorong d**a Gevan dengan keras. “JAGA UCAPANMU! LUSI ADALAH ISTRIKU. DAN KAU TIDAK BERHAK MENGHINA DIA!” Gevan berdiri diam, meskipun tubuhnya terdorong. Napasnya berat. Matanya merah. Namun suaranya tetap dingin. “Bagaimanapun, Papa tetap menjijikkan. Dan pernikahan ini tetap memalukan.” Gerald menggertakkan gigi. “Mulai hari ini, kau hormati Lusi sebagai ibu tirimu!” Gevan meludahkan tawa penuh hina. “Ibu tiri?” Ia menatap Lusi dengan jijik. “Dia? Menjadi ibuku?” Gevan benar-benar tidak bisa menahan tawa sinisnya kali ini. “Papa bermimpi.” Gerald ingin memaki, tapi sebelum itu terjadi—Gevan menatap langsung mata Lusi. Tatapannya berubah. Dingin. Dalam. Menyimpan terlalu banyak luka dan kemarahan sekaligus. “Aku hanya ingin bilang satu hal,” ujar Gevan pelan. Lusi menelan ludah. Gerald menahan napas. “Pernikahan ini akan berakhir buruk.” Gevan menunjuk mereka berdua. “Aku akan pastikan itu.” Kemudian Gevanno berjalan ke tangga. Tanpa menoleh ke belakang. Tanpa menunggu jawaban. Meninggalkan dua orang yang kini terjerat dalam badai yang ia ciptakan—dan badai yang akan semakin besar di hari-hari berikutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN