2

1011 Kata
Dalam gelapnya malam, akhirnya Pajero putih milik Adam berhenti di depan lobi apartemen Samantha. Sebelah tangan Samantha langsung meraih handle pintu. "Thank you udah nganterin aku," gumam Samantha pelan. "Sama-sama. Toh kita searah." "Kalau begitu, aku duluan," pamit Samantha. Adam mengangguk dan pandangan matanya terus terarah pada sosok Samantha yang telah keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam gedung apartemen. Setelah sosok itu menghilang dari pandangan matanya, Adam kembali menjalankan mobilnya. Dalam gelap malam yang masih menyelimuti, akhirnya ia tiba di sebuah rumah mininalis yang dikenalnya. Adam menekan sebuah nomor hingga seseorang di seberang sana menjawabnya. "Aku sudah di depan rumahmu." Selesai berkata, Adam langsung memutuskan sambungannya. Tak lama kemudian Erwin muncul dari balik pintu dan berjalan ke arahnya. "Thank you ya, Dam," ucap Erwin setelah menerima sekantung plastik dengan kotak berisi martabak yang dipesannya. "Lain kali beli sendiri. Antriannya lumayan bikin pegel," ujar Adam mengingatkan. Bukannya marah Erwin tergelak. "Kalau ada cewek cantik yang ikut ngantri, aku rasa semua pegel-itu itu hilang dalam sekejap," godanya. Adam mendengus. Sahabatnya ini seperti peramal saja yang tahu ada perempuan cantik ketika ia harus menunggu lima antrian untuk mendapatkan martabak yang dipesan Erwin. Ya benar, untung ia bertemu dengan Samantha. Setidaknya perempuan satu itu berhasil membuat Adam tidak terlalu jenuh saat menunggu pesanannya sendiri. "Sepertinya tebakanku benar," kekehnya. "It's Samantha. Dan nggak ada yang spesial dari dia." "What?" teriak Erwin tidak percaya. Lalu tiba-tiba ia memelankan suaranya. "Jangan sampai terdengar Kayla. Bisa-bisa kamu diceramahi olehnya. Tahu sendiri persahabatan mereka seperti apa. Juga jangan bicara sembarangan. Nanti kalau kau kena sihirnya baru tahu rasa." "O..ayolah Win. Aku kenal Samantha. Kami cuma teman. Nggak lebih jadi nggak ada yang perlu ditakuti," kilah Adam. "Sudah malam, aku pulang," pamitnya tanpa menunggu balasan Erwin yang akhirnya hanya busa menghela nafas setelah kepergian mobil Adam. "Bukan masalah takut, hanya saja kalau kita sudah jatuh cinta pada perempuan. Kita sendirilah yang akan kalah dan sebaliknya kita sebagai laki-laki 'lah yang akan takut kehilangan mereka," gumam Erwin pada dirinya sendiri sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumahnya. Istrinya pasti sudah tidak sabar menunggu martabaknya. *** "Sam nanti siang tolong ambilkan kue lapis Surabaya Mami di rumah Tante Inge ya," pesan mami dari ponsel milik Samantha yang di loudspeaker. "Terus jangan lupa ambili gaun Mami di laundry-nya Nesa," tambahnya. "Astaga Mi! Banyak banget sih perintahnya. Aku tuh kerja, nggak libur!" protes Samantha mengingatkan. Kebiasaan buruk maminya itu selalu memerintah dirinta tanpa bertanya-tanya apakah kondisi Samantha memungkinkan untuk melakukan perintahnya atau tidak. Hal inilah yang selalu menjadi pemicu keributan diantara ibu dan anak yang wajahnya sangat mirip. Hanya saja maminya versi sedikit lebih tua dan Samantha versi mami waktu muda. Cantik alami dari lahir. "Cuma dua Sam. Mana banyak sih. Tolong ya anak Mami yang cantik. Nanti kalau kamu anterin ke rumah terus Mami nggak ada, titip Bu Janah aja ya." Samantha menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengiyakan permintaan ibu yang telah melahirkannya. "Okay. Tapi aku nggak janji siang ini ya. Aku ada meeting siang ini." "Nggak masalah sayang. Yang penting hari ini harus kamu ambil. Soalnya gaunnya mau Mami pakai di pertunangan sepupu kamu. O iya, jangan lupa dandan yang cantik. Siapa tahu di pesta nanti kamu ketemu calon suami. Inget, kamu udah nggak muda lagi. Udah waktunya bersuami," cerocos Mami. Alhasil ucapan ibunya berhasil membuat Samantha memutar kedua bola matanya. "Udah ya Mi, aku tutup. Aku udah kesiangan." Lalu tanpa menunggu balasan dari maminya Samantha lebih dulu memutuskan hubungan. Ia menarik nafas panjang lega lalu langsung berjalan keluar dari apartemennya. Baginya suasana hening jauh lebih baik, maka dari itu Samantha memilih untuk tinggal seorang diri di apartemennya yang kecil daripada satu atap dengan maminya yang super bawel. Mungkin ia terdengar anak durhaka, tapi meski begitu Samantha tetap menyayangi ibunya. Hanya saja kehidupan tenang lebih bisa membuatnya bertahan hidup lebih lama di dunia ini. Sesampainya di kantor, dengan emosi yang masih berdiam di dalam d**a, Samantha menghiraukan semua salam dari para karyawan-karyawannya. Dalam hati ia menggerutu, kapan ibu kota bisa bebas dari yang namanya macet? Setelah mendaratkan bokongnya di kursi berkulit hitam kebangsaannya, Samantha menarik nafas panjang sebelum melakukan pekerjaannya yang telah menumpuk di meja. Seakan sedang menantangnya untuk diselesaikan. Pekerjaannya sebagai kepala bagian personalia di perusahaan milik orang tuanya selalu berhasil menguras energinya. Sorenya, tepat jam lima. Samantha memukul-mukul pelan bahunya yang terasa pegal secara bergantian. Terutama meeting siang ini, ada sedikit perdebatan mengenai karyawan baru berkualitas yang akan mereka terima nanti. Tanpa terasa sudah waktunya ia pulang dan melakukan tugas selanjutnya yang diberikan oleh maminya jika masih ingin terdaftar dalam kartu keluarga. Meraih tas dan blazer-nya, Samantha langsung berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju parkiran di mana mobilnya terparkir manis. Pertama yang harus dilakukannya adalah mengambil kue lapis Surabaya di rumah tante Inge. Lalu mengambil gaun di laundry Nesa. Ketika Samantha berhasil tiba di rumah tante Inge, perempuan yang notabene adalah teman dekar dari ibunya  sejak beliau memakai seragam abu-abu, menyambutnya dengan senyum lebarnya. "Samantha! Apa kabar?" tanyanya ketika beliau membuka pintu kayu bercat putih miliknya lebar-lebar. "Baik Tan," jawab Samantha singkat. "Mau ambil lapis Surabaya punya mami-mu ya?" tebak tante Inge. "Iya Tan." "Ayo masuk! Tante ambil dulu ya." Samantha mengangguk setuju dan memilih duduk di sofa single berwarna putih. Rumah yang keadaannya tidak berubah ini masih sesuai dengan ingatan Samantha ketika ia masih duduk di bangku kuliah. Itulah terakhir kalinya ia mampir ke rumah ini. Kenapa? Tentu saja Samantha mempunyai alasannya sendiri. Alasan di mana masa lalunya kembali muncul ke permukaan meski sudah sembilan tahun lamanya telah berlalu. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan hingga akhirnya jatuh pada sebuah bingkai foto diatas meja kecil tak jauh darinya yang terletak di sudut ruangan untuk memisahkan satu sofa dengan yang lain. Di sanalah wajah sosok yang pernah mengisi hatinya sedang tersenyum lebar sambil merangkul kedua orang tuang dengan toga yang dikenakannya. "Mengingat masa lalu?" Suara berat itu menyentak kesadaran Samantha dan memaksa keluar dari pikirannya sendiri. Dan ia sangat mengenali suara itu meski sudah lama sekali ia tidak mendengarnya. Alhasil Samantha menelan salivanya sendiri dengan sulit sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke sosok pemilik suara berat itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN