2

1085 Kata
Masih dengan muka cemberut Agnes kembali ke rumahnya. " Agnes pulang " kata nya dengan muka seperti kulit jeruk dan melihat mama nya sedang membuat kue di ruang makan . "Aduh sayang, kenapa anak mama yang cantik ini cemberut,ada apa sayang sini cerita sama mama " . Sambil melepas kaus tangan plastik yang melekat di tangan ramping nya . " Ma,tadi kan Agnes , mau pulang pas di parkiran Agnes di senggol sama cowok,terus Agnes terjungkal ke belakang ini b****g anges masih sakit,dan parah nya lagi tuh cowok nyalahin Agnes padahal dia yang nyenggol anges duluan ,Agnes juga udah minta maaf tadi , liat ma baju Agnes basah karena tersiram kopi cowok rese itu , untungnya kopi nya gak panas" kata Agnes panjang lebar ia mengadu ke mama tercinta nya , dan di mata keluarga nya Agnes masih seperti anak kecil walaupun ia suka motor gede dan suka silat ,di mata mereka Agnes anak kecil yang menggemaskan. " Ya udah anges yang sabar ya mungkin itu cowok lagi buru- buru jadi gak liat Agnes, so sekarang Agnes mandi dan ganti baju dulu ya ,mama buatkan cake kesukaan Agnes nanti turun lagi ya sayang" kata mama nya membujuk agnes. Mata Agnes pun berbinar karena sang mama membuatkan cake kesukaan nya . "Okey ma ,muach" kata Agnes sambil mencium pipi mama nya dengan sayang. Agnes menghela napas panjang saat melangkah menuju kamar tidurnya, mencoba menenangkan diri setelah kejadian di parkiran. Walaupun hari itu sudah cukup melelahkan, ia merasa beruntung bisa berbincang dengan Rena, yang sepertinya bakal menjadi teman baiknya di kampus. Setidaknya, ia punya seseorang yang bisa diajak berbicara dan bisa mengerti dirinya. Namun, saat masuk kamar dan menatap dirinya di cermin, ia merasa sedikit tidak puas. Rasa kesal akibat insiden dengan pria tampan itu masih menggelayuti pikirannya. Bagaimana bisa dia menuduh Agnes yang jelas-jelas tidak bersalah? Mungkin karena pria itu merasa punya kewenangan, atau mungkin hanya karena dia merasa dirinya lebih superior. "Dasar pria sombong," gumam Agnes, menatap pantatnya yang masih terasa nyeri. Ia pun membuka lemari untuk mencari pakaian yang nyaman, lalu menuju kamar mandi untuk mandi dan mengganti pakaian. Ketika keluar dari kamar mandi, dia merasa sedikit lebih segar. Wangi sabun dan tubuh yang bersih membuat pikirannya kembali tenang. Agnes turun ke ruang makan, tempat sang mama masih sibuk membuatkan kue favoritnya, dan ia segera duduk di meja makan, meraih sepotong cake cokelat yang sudah terhidang. "Enak, Ma, terima kasih!" seru Agnes sambil menyantap kue tersebut, senyum tipis mengembang di wajahnya. Kehangatan dan perhatian mama-nya membuatnya merasa lebih baik, walaupun masih ada kekesalan yang tersisa dalam dirinya. "Udah enakan, sayang?" tanya mama dengan lembut, matanya penuh perhatian. Agnes mengangguk sambil terus menikmati cake tersebut. "Ya, Ma. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal," jawab Agnes sambil menatap mama-nya. "Tadi... cowok yang nyenggol aku di parkiran, dia tuh kaya... sombong banget, tahu nggak? Kalau dia minta maaf aja nggak, malah nyalahin aku." Mama-nya tersenyum sabar, seperti biasa, menghadapi keluhan-keluhan Agnes yang tak pernah berakhir. "Sayang, jangan biarkan dia mengganggu pikiran kamu. Kadang orang-orang seperti itu memang nggak tahu cara menghargai orang lain. Tapi kamu bisa lebih sabar, jangan sampai hal kecil mengganggu kebahagiaan kamu." Agnes menghela napas, mencoba menyerap nasihat mama-nya. Mungkin mama-nya benar. Toh, itu cuma satu kejadian, dan dunia ini masih penuh dengan hal-hal yang lebih penting. *** Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu, dan Agnes mulai terbiasa dengan rutinitas kampusnya yang baru. Hari pertama kuliah pun tiba, dan meskipun cuaca masih terasa panas, Agnes merasa bersemangat. Ia mengenakan pakaian sederhana tapi tetap modis, rambut panjangnya diikat rapi, siap menyambut hari pertama kuliah. Sesampainya di kampus, Agnes bertemu dengan Rena, yang tampak ceria dan penuh energi. Mereka berjalan bersama menuju kelas, berbicara banyak tentang berbagai hal. "Kamu siap, kan, Nes?" tanya Rena, tersenyum lebar. "Siap banget, Ren. Aku udah nggak sabar ketemu sama dosen-dosen yang katanya killer itu," jawab Agnes, sambil terkekeh. Kelas dimulai dengan kehadiran dosen yang mereka duga sebagai salah satu dosen 'killer'—Dylan Alvano Pratama. Dosen muda berusia 26 tahun yang terkenal dengan sikap dinginnya, serta tampaknya sangat tidak peduli dengan urusan pribadi mahasiswanya. Saat dia masuk ke ruang kelas, suasana langsung menjadi serius. Pria itu mengenakan jas hitam rapi dan kacamata, tampak seperti sosok yang tak bisa diganggu. Semua mahasiswa di kelas terdiam seketika, menunggu apa yang akan dia katakan. "Selamat pagi, semua," ujar Dylan dengan suara datar, tak ada senyuman yang terlihat. "Saya Dylan Alvano Pratama, dan saya akan menjadi dosen kalian di mata kuliah ini. Jangan harap saya akan memanjakan kalian. Saya di sini untuk mengajar, dan kalian di sini untuk belajar." Agnes duduk di bangkunya, matanya mengamati sosok dosen muda itu. " Bangke,tuh orang yang nyenggol gua njir " batin Agnes, ia terkejut jika orang dingin itu dosen nya ." semogaa dia gak ingat sama gua ,okey agnes bersikap biasa aja dan lupakan kejadian itu anggap saja lu baru ketemu sama tuh dosen es sekarang " lanjut Agnes . Tanpa mereka sadari, mata Dylan sesekali tertuju pada Agnes. Tentu nya Dylan tau jika wanita itu yang ia tabrak waktu diparkir. " Sungguh menarik melihat wajah nya yang pucat dan terkejut itu " batin Dylan . Hari-hari berikutnya di kampus berjalan biasa bagi Agnes. Ia semakin dekat dengan Rena, yang sering mengajaknya berkeliling kampus dan memperkenalkan berbagai tempat makan yang enak. Namun, dalam setiap pertemuan dengan Dylan di kelas, Agnes merasakan ada ketegangan yang aneh. Meskipun Dylan selalu bersikap profesional dan dingin, ia tidak bisa menahan diri untuk memperhatikan Agnes dengan intensitas yang berbeda dari mahasiswa lainnya. Suatu hari, setelah kelas berakhir, Agnes berjalan keluar dari ruang kuliah dan tak sengaja bertemu dengan Dylan di lorong kampus. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca, dan Agnes bisa merasakan ketegangan di udara. "Agnes, kan?" ujar Dylan dengan suara rendah. "Tadi kamu tampil bagus di kelas." Agnes terkejut mendengar pujian itu, namun dia hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Saya hanya mencoba untuk mengikuti pelajaran." Dylan mengangguk, lalu dengan cepat melanjutkan, "Jaga baik-baik dirimu, ya." Agnes hanya bisa mengangguk bingung, tidak tahu apa maksud dari kata-kata Dylan. " Aneh tuh orang, ngapain juga bilang kek gitu" . Monolog anges bingung. ia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Kantin ia pun baru tersadar dengan perkataan dosen nya itu . " Bangke, tuh dosen dendam sama gua apa , cih padahal dia yang nyenggol gua , kanapa nilai gua di ancam segala, bangke emang " gerutu Agnes sambil jalan ke kantin. Untung nya koridor menuju kantin tidak terlalu ramai sehingga tidak ada yang mendengar apa yang di ucapkan nya .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN