BAB 2

2560 Kata
Washington Square West adalah lingkungan di pusat kota atau Center City, Philadelphia, Pennsylvania . Lingkungan sekitar sesuai antara 7th dan Broad Street dan antara Chestnut dan South Street. Berbatasan dengan kawasan wisata, Pasar Timur dan berbagai tempat penting lainnya di Philadelphia, selain itu Washington Square West memiliki kawasan tempat tinggal yang diinginkan tiap keluarga. Lingkungan tempat tinggal yang trendi serta menawarkan beragam toko, restoran dan kedai kopi. Beberapa alasan yang membuat Ben memilih area itu sebagai tempat tinggalnya. Selain itu Philadelphia merupakan kota terbesar di negara bagian Amerika, Pennsylvania, tempat terbaik untuk mengembangkan bisnis propertinya. Setelah mendapatkan mobil -Range Rover Sport-terbaru tahun itu, Ben meluncur senang menuju rumahnya. Kawasan perumahan yang lengkap bahkan memiliki taman serta beberapa restoran cepat saji yang sangat dibutuhkan Ben di sela-sela kesibukannya.   Ia menatap rumah satu lantai yang berdiri cantik di atas halaman berumput luas yang hijau dan beberapa pohon rindang, yang bisa digantungi ayunan. Sebuah rumah yang amat pantas didiami oleh keluarga kecil bahagia, bukannya seorang bujangan seperti dirinya. Tapi Ben menyukai rumah baru itu. Dia membuka pagar kayu yang fungsinya lebih pada hiasan saja dari pada perlindungan area, menatap sekeliling yang tenang. Melihat rumah sebelah yang sama seperti miliknya, Ben mendapati bahwa pemiliknya pasti mempunyai anak-anak kecil, terlihat jelas dari kolam renang bongkar pasang yang masih terisi selang air, bola kecil serta mobil mainan persis alat pemotong rumput. Ben menyimpulkan secara tepat bahwa halaman belakang tetangganya seperti kapal pecah. "Anak-anak yang aktif. Pasti." Dia melongok dari pagar tanaman yang membatasi tanah kedua rumah. Jarak yang amat dekat dengan salah satu jendela di rumahnya. Ben mulai membayangkan hari-hari libur di mana dia akan mendengar suara-suara teriakan bocah, entah itu saling mencebur ke dalam kolam atau memainkan mobil pemotong rumput itu. Ben bergidik.   Masuk ke dalam rumah, Ben bersiul puas pada ruang tamu, ruang tengah serta dapurnya. Membuka pintu bagian belakang, ia menemukan halaman belakang luas yang terlalu banyak bunga dan tanaman yang tepatnya dimiliki para ibu rumah tangga. Hanya dengan hitungan jam, Milo akan merusak semua itu. Maka dengan berpikir demikian, Ben membuka kemejanya, masuk kembali ke dalam rumah. Membongkar kotak yang bertuliskan perkakas. Dia sudah memesan beberapa papan dan alat bertukangnya sangat lengkap. Dengan membawa semua benda itu, Ben kembali pada halaman belakangnya. Bersama musik melalui earphone, ia mulai memangkas beberapa rumpun bunga, mengukur papan dan lainnya untuk membuat rumah bermain bagi Milo. Ben selalu keasikan tiap kali bertukang, dan mengumpat keras saat batang mawar di sampingnya, menggores lengannya. Dia membuka earphone dan mengusap peluh di wajah. Ia mendengar sesuatu di halamannya, menoleh dan tak menemukan apapun di sana. Tetapi dia mendengar suara pintu mobil ditutup keras, saat Ben melongok dari balik dinding rumah, dia melihat sebuah sedan berwarna biru terlihat menjauh dari sekitar rumahnya. Sambil mengeluarkan rokok dari bungkusnya, Ben memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tepat ponselnya berdering. Milo akan sampai sebentar lagi, dia mengerang dan menunda keinginannya berbaring. Ia melanjutkan kerjaannya membuat rumah bagi Milo. Padahal perutnya sedang kelaparan dan hanya bisa melakukan delivery pada salah satu restoran terdekat, terima kasih pada petugas jasa rumah yang memberikan daftar panggil restoran. ****   Laura sedang memesan makanan cepat saji tak jauh dari rumahnya, berada di antrian panjang makan siang. Beberapa pemesan mengenal Laura salah satunya adalah Ms. Lopez, seorang wanita tua yang tak pernah menikah dan selalu menjadi radio sukarela para ibu-ibu rumah tangga di lingkungan rumah mereka. Segala gosip yang mereka -ibu-ibu-dapatkan sebagian besar adalah dari Ms. Lopez. Bahkan pasangan gay manis Joey dan Nick senang menjadi bagian gosip Ms. Lopez. Kali ini entah apa yang akan diberitakan Ms. Lopez, melihat antrian pesanan tidak membosankan, pastilah cerita yang menarik. Laura yang berada dari beberapa orang di belakang Ms. Lopez,  mendengar bagaimana wanita itu mulai mengoceh. Kali ini topiknya adalah pria tampan yang muncul di siang bolong di lingkungan rumah mereka. Antrian maju selangkah, Laura semakin jelas mendengar suara Ms. Lopez. "Kudengar dari petugas jasa pindah rumah, pria itu datang dari New York." Itu salah satu kalimat yang didengar Laura. Antrian kembali maju. Kali ini kalimat Ms. Lopez ditimpali oleh Skyla Carpenter, ibu rumah tangga yang sangat trendi. "Aku melihat mobilnya terparkir di depan rumah keluarga Foreman." "Dia membeli rumah itu." Ms. Lopez menemukan wajah Laura. "Ah, Laura. Bukankah itu tepat di sebelah rumahmu? Apakah kau sudah bertemu pria yang membeli rumah keluarga Foreman?" "Kau bisa memberinya makanan sebagai orang lama menyambut orang baru." dengan tertawa, Skyla menyambung kalimat Ms. Lopez. Laura tergagap dan hanya tersenyum kecil. Ingatannya melayang pada pria yang sedang bekerja di halaman belakang rumah sebelah. Pada keringatnya dan kulit kecokelatan yang dimilikinya. Pasti pria itu salah satu orang yang dimintai tolong keluarga baru yang tinggal di sebelah rumahnya. "Kupikir nyonya rumahnya akan membuat pesta selamat datang... " Ms. Lopez dan Skyla berpandangan. Kemudian tawa mereka pecah. Laura maju selangkah, antriannya semakin dekat. "Ada apa?" dia bertanya bingung. Ms. Lopez menatap kasir dan menyebut pesanannya. Dia membalikkan tubuh demi menatap wajah bingung Laura. "Nyonya rumah? Kau bahkah tak melihat gantungan baju wanita saat petugas jasa rumah menurunkan semua kotak barangnya." "Dia pria lajang yang seksi!" pemilik restoran muncul mengejutkan, dia adalah Rose Walter, wanita bertubuh gempal dengan sepasang pipi seperti semerah apel. "Pegawaiku baru saja mengantar pesanannya. Dan dia mengambil pesanannya hanya dengan bertelanjang d**a. Scarla nyaris mimisan saat bercerita si dapur." Ya, asal tahu saja. Fast and Girly Restorant semua pegawainya adalah perempuan. Itu termasuk pengantar delivery. Skyla menyenggol bahu Laura. "Kupastikan bahwa pria sebelah rumahmu tinggal sendirian. Dan sepertinya setiap minggu kau harus ke gereja. Meminta ampun. Hahaha. Kau masih seksi kok sayang, meski bersama rok setelan sustermu itu. " Laura hanya bisa tertawa kaku. "Ha ha ha." ****   Ben sedang berbaring santai di kursi malas di serambi belakang, menikmati hasil karyanya atas rumah Milo, dan kini Golden Retriever itu sedang menikmati halaman berumputnya yang baru. Ben memberi tanda agar Milo tidak memasuki wilayah tetangga sebelah dan memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak sebelum mandi untuk mencari makan malam beberapa jam ke depan. Baru saja ia ingin menikmati suasana nyaman rumah barunya itu, Ben mendengar suara-suara ribut dari sebelah rumahnya. Dia membuka matanya dan mencoba mendengar percakapan ribut antar anak-anak diselingi suara lembut seorang wanita. Mungkinkah sang ibu?  Pikir Ben, kembali ingin memejamkan mata saat lagi-lagi dia mendengar suara ceriwis anak laki-laki. "Aku ingin ice cream, mommy." "Kau harus mengunci pintu, Ava." Sepertinya sang ibu sengaja mengabaikan permintaan sang anak laki-laki, terbukti suara anak perempuan melengking memotong rengekan anak laki-laki tadi. "Kau sudah mendapatkan sekeranjang croissant, dua batang cokelat dan sekarang kau meminta ice cream lagi? Kau pikir mommy mencetak uang hah?" "Bukannya mom punya toko roti? Dari laci kasirnya mengeluarkan lembaran dollar." anak laki-laki itu membantah. "Umurmu sudah 7 tapi otakmu sedangkal balita!" Senyum lebar tersungging di wajah Ben, membuatnya duduk dari kursi malas, mulai menikmati percakapan kakak adik yang semakin memanas. Terdengar suara lembut disela perdebatan itu. "Ava, Patrick. Jangan bertengkar. Oke? Mommy akan belikan kalian ice cream. Rasa cokelat dan strawberry. Sekarang masuk ke dalam. Kunci pintu. Isi kolam renang di halaman." Sebelah alis Ben terangkat, pada akhirnya mommy selalu mengalah dan menuruti kehendak anak-anak nakal itu. Ben mendengar jawaban serempak kedua anak itu. "Yes, mommy. Hati-hati di jalan." Kemudian suasana sunyi, sesekali terdengar kedua anak itu berbicara pelan sebelum masuk ke dalam rumah. Ben mendapatkan lagi ketenangannya dan bersiap tidur sejenak.   Rasanya sayup-sayup dia mendengar Milo mulai menyalak. Telinganya terganggu oleh salak Milo yang berulang kali. Kali ini disusul oleh suara berbisik. "Pattie, jangan ganggu anjing itu!" "Stt, diamlah Ava. Ini pertama kalinya aku melihat Golden Retriever." "Anjing yang sama juga dimiliki paman Joey dan Nick." "Ayolah, anjing mereka bahkan sama seperti pemiliknya yang banci." "Pattie! Mulutmu kurang ajar!" Sekali lagi Milo menyalak, kali ini terdengar gelisah. Ben membuka lebar kedua matanya. Dia turun dari kursi malasnya, berjalan berindap-indap menuju halaman samping. Hatinya ingin tertawa ngakak mendengar percakapan berbisik dua anak kecil dari balik rumpun pembatas kedua rumah. Tapi situasi Milo yang terusik membuat Ben berjaga-jaga, mengintip, ingin melihat apa yang dilakukan anak-anak tetangganya. Ben ternganga melihat apa yang menjadi gangguan Milo. Beberapa tulang plastik berserakan di halaman rumputnya. Tiap kali benda itu terlempar di depan moncong Milo, hewan itu berlari dan mengendus tulang palsu itu. Sudah pasti Milo kecewa dan itu dibuktikan dengan salaknya yang keras. Setelah itu akan terdengar suara cekikikan dari balik rumpun pembatas. Ben muncul dari persembunyiannya tepat sebatang tulang asli melayang dan sukses mengenai kepala Milo. Hewan itu hilang sabar dan menggonggong nyaring, menggeram dan bersiap menerjang anak-anak nakal yang bersembunyi di balik semak pagar.   "Woaaah... Dia marah!!" Patrick berseru girang, menampakkan wajahnya dari balik semak, berjoget kegirangan dan bersiap kabur dari kejaran anjing yang diganggunya. "Ayo kabur Ava." "Patrick!" suara Ava terdengar ngeri. "Ayo, lari sebelum pemiliknya tahu." "Pattie!" "Ho ho ho tidak semudah itu, boy. Kau harus minta maaf pada anjingku."   Tubuh Patrick terangkat tinggi dari tanah. Dalam waktu singkat, tubuhnya berbalik ke arah orang yang mengangkatnya setinggi langit, tepat bertatapan dengan sepasang mata tajam yang memandangnya tanpa berkedip. Ava menutup mulutnya menyaksikan adiknya persis tupai kecil di kedua tangan pria jangkung yang badannya seperti di dalam cerita-cerita mitologi di pelajaran sejarah. Bertelanjang d**a dan sangar bersama bulu di dagu dan rahangnya. Ben mendengar seruan anak perempuan bermata bulat di depannya. Dia menelengkan kepala menatap anak laki-laki yang sedang membeliak melihatnya. "Jadi... Pattie? Ayo minta maaf pada Milo." Senyum Ben persis seringaian, berusaha membuat si pattie nakal ini takut. Bukannya takut -walau sebenarnya takut-Patrick memberungut. "Namaku Patrick! Bukan Pattie." "Well.. Aku mendengar namamu Pattie." Ben menggoyang-goyangkan tubuh Patrick sesuka hatinya. Dia tersentak kaget saat menerima semburan air keras menuju wajah dan tubuh atasnya dari selang yang dipegang oleh si anak perempuan. "Lepaskan Patrick, raksasa!" Ava terus menyemprot air ke arah pria yang menawan Patrick. Air membasahi tubuh sang pria termasuk Patrick yang tertawa-tawa. Oke, setelah anjingnya disiksa, kini dia dikatai sebagai raksasa dan disimbur air selang! Ben mengumpat dalam hati. Milo menggonggong di sampingnya, menunggu perintah untuk menggigit dua penjahat cilik itu. Semburan air yang menerjang wajah dan tubuhnya membuat Ben terpaksa menjatuhkan Patrick dari kedua tangannya. Anak laki-laki itu bergulingan di rumput dan bekerja sama dengan kakaknya, memegang selang air dan menyerang Ben. "Mommy bilang kalau ada orang jahat, harus dikalahkan." "Demi Tuhan, dua jempol untuk mommy kalian! Aku tetangga kalian dan penjahatnya bukan aku." Ben menjauh dari air yang memancar, mengusap wajah basahnya dan mengambil aba-aba untuk mengejar dua anal nakal itu. Milo mendukungnya dan tapi hanya menyalak. Karena Ben tak memerintah untuk menyerang, hewan itu hanya bisa melakukan itu, menggonggong. Ben hendak menangkap tangan Ava yang memegang selang, tapi anak perempuan itu gesit dalam urusan mengelak. Dia berdecak kesal dan memutuskan untuk menangkap si anak laki-laki yang menjadi pokok masalah. Patrick memasang wajah ketakutan tetapi kenyataannya anak itu menggoda Ben. Ben makin dongkol dan bersiap mendapatkan anak nakal itu. Dia berlari mengejar Patrick yang tertawa ketika terdengar suara histeris seorang wanita.   "Patrick! Ava!" Laura berlari memasuki halaman rumah tetangganya tanpa permisi, mencoba menghentikan adegan tangkap menangkap dua anak kecil dengan satu orang pria dewasa. Selang air di tangan Ava masih memancarkan air deras, tertuju pada tubuh pria yang ingin menangkap Patrick. "Mommy!!" Terpujilah Bapa di surga! Batin Ben. Sekarang sang ibu pasti akan menuduhnya berlaku jahat pada anak-anaknya, dan memanggil polisi. Ben menghentikan gerakannya, merasakan serangan air telah berhenti. Selang air terletak begitu saja di rumput dan dua anak setan itu berlari menuju arah suara yang muncul. "Paman itu ingin menangkap kami!" Patrick memeluk pinggang Laura yang mengernyitkan dahi. Laura menatap tubuh basah Patrick, selang yang berantakan serta tulang-tulang plastik milik Patrick yang bertebaran di halaman rumah tetangga mereka. "Karena kau nakal? Pasti." Laura menatap semua kekacauan yang sudah pasti ulah Patrick dan Ava. Patrick dan Ava mengatupkan bibir. Mommy selalu tepat menebak apapun. "Dua anak ini melempari halamanku dengan tulang-tulang mainan untuk mengganggu anjingku. Dan terakhir menyiramku dengan air melalui selang air." Laura mengangkat matanya dan mendapati pria yang beberapa jam lalu sedang bertukang di halaman belakang, masih dalam keadaan yang sama. Bertelanjang d**a hanya saja kali ini basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung jari kakinya yang tak memakai alas. "Oh... " Laura hanya bisa mengatakan kata pendek itu dengan kikuk, mencoba mengalihkan matanya, tetapi yang terjadi adalah dia hanya terdiam di sana. Ben tak menyangka bahwa dua anak nakal bagai setan itu memiliki seorang ibu yang begitu cantik bagai malaikat. Lembut dan halus bagai boneka kaca. Bahkan Ben mendapati dirinya bagai raksasa sungguhan di hadapan wanita itu yang bertubuh mungil seperti peri.   Sejenak Ben memaku tatapannya pada sepasang mata cokelat yang bersorot keibuan dari wanita di depannya. Jantungnya berdegup kencang dan sialannya, tanpa disadarinya, dirinya berdenyut pelan ketika matanya menelusuri tubuh mungil yang dibalut rok panjang selutut. Tertutup dari pandangannya namun membuatnya penasaran, seputih apakah kulit tubuh wanita ini? Kulit lengannya putih mulus hingga Ben takut kulit itu menembus penglihatannya. "Apakah kau penghuni baru di rumah ini?" Laura merasa harus berbicara agar pria di depannya itu berhenti menatapnya demikian lekat. Tubuhnya menggigil tanpa sebab. "Maafkan anak-anakku. Untuk kekacauan yang mereka lakukan." Ben tersenyum. "It's okay. Asalkan mereka siap membersihkan kekacauan yang mereka ciptakan." Laura menunduk, memandang Ava dan Patrick yang segera menunduk. Patrick tampak meringis. "Kalian akan mengemasi semua tulang plastik itu, membereskan selang dan meminta maaf pada... " Laura menatap Ben yang masih tersenyum. Ben menyeringai. "Benjamin Cavanaugh. Kalian bisa memanggilku, Ben." Jika wanita ini memiliki suami, Ben ingin menjadi teman mereka. Si peri berambut hitam ini membuat darahnya berdesir. "Oh, aku Laura Smith. Ini Ava." Laura mendorong pelan bahu Ava. "dan ini Patrick. Ucapkan selamat datang di Washington Square West pada Mr. Cavanaugh." Ava berkata pelan, dia melirik Ben dari bulu matanya. Bibirnya berkerut saat mengucap apa yang dikatakan ibunya. "Hai, Mr. Cavanaugh." "Hai, Ava. Kau sudah membuatku mandi sore." Ben tertawa. Dia melirik Patrick yang menatapnya lekat. "Hai, Pattie." "Namaku Patrick." Patrick mengomel. "Hai, Mr. Cavanaugh." Laura akan membiarkan anak-anaknya mengemasi segala kotoran di halaman Mr. Cavanaugh ketika pria itu bertanya santai. "Aku akan dengan senang hati menyapa Mr. Smith." Laura menatap Ben seakan dia tersedak tulang ikan. Dengan susah payah, dia menjawab. "Aku menghargai itu, Mr. Cavanaugh. Tapi hanya ada kami bertiga." "Oh, maafkan aku." Ben seperti mendapatkan jackpot. Entah apa yang terjadi, kalimat itu menandakan tidak ada Mr. Smith. "Jika kau butuh sesuatu, aku bisa meluangkan waktuku. Kita tetangga kan?" Ibu dan anak-anak itu menatap Ben. Laura lebih dulu mematahkan acara tatap menatap itu dengan berkata, "Selamat datang di Philadelphia, Mr. Cavanaugh." "Ben. Aku akan memanggilmu Laura." Dia melebarkan senyumnya, melihat langkah mundur Laura. Alarm di diri Laura berdering nyaring. Pria di depannya ini salah satu tanda bahaya. Dia tersenyum singkat dan kembali ke rumah setelah memastikan bahwa dua anaknya bertanggung jawab akan kenakalannya. Ben menatap punggung mungil Laura yang menjauh dan menoleh pada dua anak yang sedang memunguti tulang-tulang plastik, diperhatikan oleh Milo. Sesekali dia melihat tatapan tajam Ava padanya. Anak perempuan itu seperti marah padanya, tampak anak itu menggulung selang dengan kasar, sengaja merusak pagar tanaman mereka.   Ben tertawa dalam hati. Dia melempar tatapannya pada jendela rumah sebelah yang terbuka. Janda yang cantik dengan dua anak nakal. Ben akan menjadi tetangga yang baik meski dia tak yakin bisa tahan seberapa baik dengan sikapnya nanti. Laura membuatnya ingin menyentuh wanita itu. Dan Ben percaya, suatu hari ia bisa mewujudkan hal itu. Suara Patrick memecah pikiran Ben. "Jangan ganggu Mommy. Oke?" anak laki-laki itu melotot. "Entahlah. Aku tidak janji." Ben menyeringai dan terbahak melihat Ava memanggil sang adik dari halaman mereka. Dua anak yang harus ditaklukkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN