16. Sendiri dalam Keramaian

2578 Kata
Jani tidak tahu harus memakai baju apa untuk pergi ke acara pertunangan resmi Dafa dan Rania nanti malam. Tentu dia datang, sudah dibilang bukan waktu makan siang sebulan yang lalu? Sebulan lebih itu juga, Andra dan Nadia tetap mendiaminya. Perempuan ini tidak paham salahnya di mana. Di saat dirinya ingin membuat semuanya lebih mudah, hasilnya malah berkebalikan.  Mungkin, Jani harus berupaya lebih keras lagi. Tapi untuk sekarang, biarkan Jani berpikir tenang memilih dress untuk pergi ke malam spesial seseorang yang wajahnya mirip Panji. Mirip ya, bukan Panji! Ya, bagi Jani, Dafa tidak lebih dari orang dengan wajah yang mirip Panji. Dan mungkin, bagi Dafa, Jani hanyalah perempuan menyedihkan karena ditinggal mati kekasihnya.  Oh ayolah, mana orang tahu apa yang dipikirkan orang lain. Tidak semua orang paham tentang sisi-sisi kemanusiaan, salah satunya berempati. Kalau berlebihan, jatuhnya bukan berempati, tapi mengasihani yang berujung merendahkan.  Bicara soal Vivi, gadis itu kembali tidak mau basa-basi dengannya. Dia kembali menggunakan selogan lo gue lo gue saat berbicara dengan Jani. Itupun hanya berbincang singkat yang menuai perdebatan. Jadi, Jani mengalah saja dan kembali menyalahkan dirinya sendiri. Sampai akhirnya, Thanks, God. Jani berhasil memilih gaun yang dia rasa pas untuk acara kali ini. Mengingat ada code dress yang harus dipatuhi. Bisa-bisa, meski membawa undangan, dia tetap tidak diizinkan untuk masuk karena salah kostum.  Dengan menggunakan dress panjang berwarna putih gading dan bertali kecil, Jani pergi menuju venue diadakannya engagement tersebut. Engagement, ya? Haha, Jani rasanya ingin tertawa. Menertawai dirinya sendiri maksudnya.  Lima tahun terakhir ini, dia sering datang ke acara entah itu pertunangan ataupun pernikahan, tapi dia sendiri tak kunjung menyebar undangan sampai sekarang. Mau bagaimana? Mempelai prianya tak kunjung pulang. Entah terdampar di pulau mana pria itu. Kenapa tidak kasihan dengan kekasihnya yang ditinggal merana sendirian seperti ini?  Baiklah, cukup sampai di sini. Jani harus pergi sekarang. Sebelum terlambat. Terlambat melihat momen bahagia seseorang yang pastinya akan membuat dia sesak. Bagaimanapun, meski Dafa bukanlah Panji, tapi dengan melihat dirinya tengah bersanding dengan wanita lain, Jani tentu tak bisa menghindar saat sesuatu dalam dirinya merasa ada yang sedih. Pasti akan terngiang-ngiang dan sampai kepikiran yang tidak-tidak. Bagaimana kalau sebenarnya Panji masih hidup dan memang sengaja sembunyi karena sudah hidup bahagia dengan wanita lain? Memikirkannya saja, membuat Jani ingin mengambil pisau dan menghabisi dirinya sendiri. Sebelum pikiran Jani semakin melantur kemana-mana, dia bergegas pergi. Otaknya tidak akan berhenti berpikir kalau dia diam saja. Ada banyak bisikan-bisikan setan yang memintanya untuk menghabisi diri sendiri. Ayo Jani, buktikan! Jani Akira bukanlah perempuan selemah itu meskipun memang kenyataannya lemah. Namun, dia masih berjuang untuk hidup sekarang. Hidup yang benar-benar hidup, bukan sekadar menghirup udara untuk bernapas.   ***  Mungkinn, hati Jani sudah mati. Karena itu dia tidak merasakan apa-apa sedari heelsnya menginjak red carpet yang memanjang menuju venue utama. Baru saja sampai di ballroom, matanya disuguhi teman-teman kantornya sedang menggandeng pasangannya masing-masing. Tahu begini, Jani bawa kucingnya betulan untuk dijadikan teman daripada terlihat paling menyedihkan di antara orang-orang yang paling menyedihkan.  Alih-alihh sembunyi, Jani terkejut disapa lebih dulu saat sibuk melamun.   “Jan! Jani!! Akhirnya datang juga, aku kira nggak jadi datang karena nggak ada pasangan.” Oh s**t! Jani hanya bisa membatin dalam hati, merutuki rekanitanya yang memang benar adanya ini.  "Apaan sih, Mbak? Anaknya Pak bos besar yang ngundang langsung, masak gara-gara belum punya gandengan aku nggak dateng.” Jani cemberut sambil memutar bola matanya malas.  Mbak Tanti, kepala stafnya malah cengengesan penuh arti. “Ya habisnya, kamu nggak peka-peka sama si Andra. Udah kebelet makan kamu dia tuh!”  "Astaga, Mbak. Kita nggak ada apa-apa serius. Orang dari kecil emang tetanggan.” Sanggahnya.  Wanita itu tersenyum. “Iya deh, percaya. Yuk, ke depan.”  YanggJani suka itu begini. Meski diawal dicibir, dinistai, pada akhirnya dia malah direngkuh oleh Mbak Tantri dan ditemani ke depan, membiarkan suaminya bercengkrama dengan teman-teman lainnya. “Mbak, suaminya kok ditinggal, nggak takut digondol orang laki mu mbak?” Jani menunjuk belakang sekali lagi, lebih tepatnya pada suami Mbak Tanti yang ditinggalnya pergi.  "Haha?” Mbak Tantri malah tertawa. “Berani berpaling, aku hajar dia.” Dan mereka malah tergelak.  Sesuai dengan konsepnya, white. Semua ornamen-ornamen yang ada serba berwarna putih. Lampu yang menyorot seolah berkelap-kelip. Sesekali ada bunga-bunga yang berwarna soft untuk mempercantik panggung. Jani tersenyum. Tidak tahu kenapa, dia hanya ingin tersenyum. Acara ini mengingatkan Jani tentang wisudanya saat SMA, saat Panji dengan khusus datang memberinya kejutan. Padahal, Jani tidak pernah berharap Panji sampai repot-repot datang ke sekolahnya di saat lelaki itu sedang sibuk-sibuknya.  Hm pernah dengar perbedaan umur yang jauh? Jani dan Panji tidak terlalu jauh perbedaan umurnya. Kala itu, Jani yang masih punya teman banyak langsung disoraki cie-cie oleh teman-temannya. Terkadang memang begitu, yang datang siapa, yang heboh siapa, yang malu siapa. Itu adalah momen yang mungkin tidak akan Jani lupakan.  Bagaimana lelaki itu datang tanpa membawa apa-apa, hanya bermodal kemeja army yang nampak pas di tubuhnya dan celana dasar hitam. Maksudnya, daripada hadiah atau apalah itu, Jani memang butuh orangnya langsung. Jadi, saat teman-temannya mengabadikan foto dengan bunga-bunga yang bikin bersin, Jani malah suka foto tanpa memegang apa-apa. Malah senang dan tertawa cekikikan sendiri saat malu-malu kucing memeluk Panji. Panji juga tidak usah ditanya. Dia agak kagok saat memeluk Jani. Ya namanya cinta, pasti ada saja yang mengganjal kalau belum diluruskan perasaannya. Dia bahkan tak peduli akan imagenya sebagai seorang pria yang sudah menjabat posisi penting di perusahaan kala itu. Yang dia tahu, melihat Jani tersenyum lebar adalah kebahagiaannya. Mereka belum menjalin kasih saat itu. Dan tebak saja, Jani sudah diolok-olok pacaran dengan yang lebih tua. Ya memang betul Panji lebih tua darinya. Untungnya, Jani tidak disebut pacaran dengan om-om kala itu. Tahun itu mah, belum ada yang namanya sugar daddy. Jani yang memeluk tubuhnya sendiri jadi tersenyum kembali.  Bagaimana bisa dia melupakan Panji? Daripada sakitnya, banyak kenangan indah yang pantas untuk dikenang. Jani bahkan tak paham bagaimana bisa dia mencintai Panji sedalam ini. Alih-alih bersedih karena mengingat Panji, Jani malah tersenyum saat melihat panggung sudah mulai sibuk. Itu tandanya, acara inti akan disebut.  Detik berikutnya, MC langsung mengambil alih acara. Sudah pasti salam-salam dihaturkan terlebih dahulu. Kemudian menyampaikan maksud dari acara ini. Jani yang ditemani Mbak Tantri, hanya diam. Menikmati setiap rangkaian acara dengan khitmad. Mungkin, tipikal Dafa adalah orang yang tidak mau ribet. Dia tidak mau acaranya terlalu sakral. Yang ada, dia hanya meminta izin dari keluarga sang kekasih.   Detik itu, semuanya masih berjalan lancar sebagaimana mestinya. Hingga, suami Mbak Tantri datang menghampiri. Dia terlihat panik dan Jani mendengar dengan jelas yang dikatakan pria itu. “Yang, pesawat SRIWIJAYA SJ 176 hilang kontak pukul lima sore tadi dan sekarang sudah dikonfirmasi meledak di perairan Banten.  Bagai tersambar petir di siang bolong, tubuh Jani langsung kaku seketika. Otaknya seolah memproses kejadian lima tahun yang lalu. Bagaimana dirinya berlari ke bandara, mencari daftar penumpang dengan nama Panji Laksana, dan nama itu terukir jelas sebagai korban. Karena tidak puas, Jani nekat pergi ke posko terdekat dari ditemukannya batang butuh pesawat beserta serpihan-serpihannya. Kemudian, karena masih tidak puas, Jani diperlihatkan langsung video yang menampilkan dasar perairan dengan bagian tubuh yang terpotong-potong, tidak utuh lagi melayang-layang di perairan, Jani histeris dan pingsan di tempat. “Enggak!” Dia menggeleng, kemudian menjauh dari Mbak Tantri dan suaminya.  “Jan, kamu kenapa?” Jani membalas menggeleng sekali lagi dengan tubuh masih berjalan mundur. Dia bahkan tidak bisa mendengar apa yang MC katakan. Yang dia tahu, rasanya bernapas begitu menyakitkan. “Panji masih hidup.” Lirihnya.  "Panji sudah meninggal, Jan. Tidak mungkin ada yang selamat di kecelakaan pesawat. Mungkin Panji tidak beruntung dengan tidak ditemukan jasadnya. Kamu tidak pernah tahu gelapnya di dasar lautan. Bisa jadi, tubuh Panji dimakan sesuatu yang ada di sana. Yang tidak ada, bukan berarti masih ada. Terima kenyataan, Panji sudah meninggal.” suara dalam kepalanya lagi.  "ENGGAK!” Jani menggeleng histeris mendengar suara dalam kepalanya sendiri, tubuhnya tidak sengaja menghantam meja kaca sampai gelas-gelas yang tertata rapi di sana jatuh, menggelinding dan pecah. Semuanya hancur berkeping-keping. Hening seolah melanda, MC bahkan turut terdiam. Semua orang langsung fokus ke arah Jani, begitupun dengan semua orang yang berada di panggung, yang tak lain adalah keluarga besar Hadiningrat dan Hutomo. Dan tentu saja, Dafa ada di sana.  Jani ketakutan saat semua orang menatap aneh kepadanya. Dia sendirian, tidak ada yang menolongnya. Hingga, suara itu lagi membuatnya ingin mati saja. “Jani habis pulang dari RSJ dia tuh, percobaan bunuh diri lagi. Jangan deket-deket!” “Jani, yang gila ditinggal mati kekasihnya itu, kan?”  "ENGGAK, PANJI MASIH HIDUP!” Dia menggeleng hebat sekali lagi, tak paham karena kepalanya selalu menyuarakan perkataan-perkataan yang menyakitkan. Hingga, kenangan acak bagaimana pria itu tersenyum, bagaimana pria itu memeluk tubuhnya erat terakhir kali di bandara. Kemudian, kenangan itu berubah menjadi nestapa. Ketika membuka mata, Jani melihat semua orang menangis. Rumah Panji dipenuhi ucapan berbela sungkawa. “Yang ikhlas, ya, Kak. Panji udah nggak ada.”  "Enggak, Panji masih hidup.” Kali ini, Jani berujar lirih. Dia menatap takut semua orang yang seperti tengah menghakiminya sedangkan dia seorang diri  "Jani—”  "Panji masih hidup!” Katanya bersikeras. Mbak Tantri yang tidak tidak tahu cerita yang sebenarnya jadi bingung sendiri. Karena memang dasarnya, dari semua orang di kantor, yang tahu hanya Nadia, Andra dan Mas Andi.  Mendengarr keributan, tentu sekuriti yang ada di luar sampai masuk dan menghampiri Jani, berniat menyentuh perempuan itu, untuk mengusir. Tapi semakin di didekati, Jani malah melepas sepatunya dan kakinya yang telanjang, menginjak tajamnya kaca akibat gelas-gelas yang dia pecahkan tadi. Gaun putihnya bahkan terlihat dengan jelas mulai digenangi merah darah. Namun, perempuan itu seolah mati rasa, dia tidak bisa merasakan apa-apa. Hingga saat dipaksa untuk keluar, Mbak Tantri yang tidak tega sampai memarahi sekuriti dan jadilah perdebatan di sana. Dia duduk, sedikit menyingkirkan beling dengan tas jinjingnya dan merengkuh Jani yang terduduk sambil memeluk lutut karena ketakutan.  Para keluarga yang ada di panggung tidak usah ditanya. Mereka bukannya iba, malah menyerapahi orang lain yang menghancurkan acara penting mereka ini. “Itu ada orang gila kenapa dibiarkan masuk?! Siapa yang mengundang?!” Pak Kana menatap sekuriti marah, “cepat singkirkan.”  Dafa ada di sana. Dia melihat semuanya, tapi dia diam saja. Namun, saat melihat dengan jelas bagaimana tangan Jani ditarik paksa kedua satpam itu sedangkan Mbak Tantri dan suaminya kualahan sendiri, Dafa langsung berjalan cepat untuk menghadang sekuriti yang jelas-jelas sudah menyakiti Jani. “Jangan dipaksa.” desisnya tajam. Kemudian, Dafa jongkok di depan Jani, meminta perempuan itu untuk melihat ke arahnya. “Jani dengar. Hei, lihat saya.” Bisiknya.  Jani yang tetap tidak mau bergerak. Dia menunduk sedalam-dalamnya. Menggeleng terus menerus karena otaknya tidak berhenti berbicara dan mengatakan kalau Panji sudah mati. “PANJI BELUM MATI!” Jani berteriak lagi. Namun detik berikutnya, saat matanya melihat lelaki yang memiliki wajah mirip dengan Panji, air matanya kembali luruh tanpa suara. Wajah itu, adalah wajah yang sangat dia rindukan. “Panji?” Jani langsung mengalungkan lengannya di leher Dafa, memeluk lelaki itu erat-erat. Kemudian berbisik, mengadu kerinduannya yang sangat menyiksa.  Dia memang gila. Gila karena ditinggal Panji. Memang itu benar adanya. Jani gila. Namun, lihat sekarang, saat perempuan itu seolah menemukan dunianya kembali, tangisan pilunya begitu menyayat hati bagi siapa saja yang mendengar. Dia meyakini semua yang terjadi adalah mimpi buruk. Karangan bunga, ucapan bela sungkawa, potongan-potongan tubuh, puing-puing menyesakkan d**a, semua melebur menjadi satu saat Jani memeluk Dafa.  Dia merindukan Panji, sangat merindukannya sampai ingin mati. Atau, Jani sudah mati sejak mendengar kabar kepergian Panji. Perempuan itu tidak hidup, dia hanya bernapas, untuk menyambung nyawa, untuk membuat tenang para hati orang-orang terkasihnya. Tanpa ada yang tahu, dia lelah dan ingin berhenti. “Jangan pergi lagi! Jangan pergi!” bersamaan dengan lirihannya, pelukan Jani mengerat. Dafa bahkan bisa merasakan jasnya mulai basah. Rania masih berdiri di mimbar dengan kaki bergetar. Dari banyaknya spekulasi, satu yang dia dapatkan. Dafa mengkhianatinya. Karena itu, tanpa mau dipermalukan lebih lama, dia berpaling dan pergi, meninggalkan acara bahagianya tanpa sempat mengenakan cincin yang seharusnya disematkan di jari manisnya sedari tadi.  Jani melepas pelukannya, dia tersenyum dengan air mata berlinang, kemudian mengusap pipi Dafa sekali lagi. “Kamu kurusan. Di sana banyak masalah, ya?” Karena Dafa tak merespon apa-apa, hanya menatapnya dalam diam, Jani mengangkat tangannya yang berdarah untuk meraih tangan Mbak Tantri yang kebetulan masih ada di sebelahnya. “Mama lihat, Panji pulang.” Katanya ceria. Dafa lantas melihat ke arah Mbak Tantri dan tanpa diminta, wanita itu pun menjelaskan.  "Jani tiba-tiba histeris saat mendengar kecelakaan pesawat, Pak.”  Rahang Dafa mengeras, matanya terpejam sesaat, merutuki pembahasan Mbak Tantri. Namun, matanya kembali terbuka saat ada telapak tangan yang begitu dingin menyentuh pipinya. “Panji, ayo kita pulang. Di sini banyak orang jahat.” kata Jani memohon. Sesekali menunduk saat ditatap tajam sekuriti yang masih berdiri di sekitarnya.  "Kalian pergi, biar saya yang urus.” Kata Dafa. Pak Kana yang sedari tadi sudah muak sampai menghampiri mereka langsung. Dia menegur Dafa. “Daf, kamu ngapain? Biarin perempuan gila ini pergi dan lanjutkan pertunangan kalian!”  "Jani tidak gila, Pa!” Pria paruh baya itu cukup terkejut dengan nada dingin yang digunakan anaknya.  'Oh, jadi kamu kenal? Sudah biarkan saja. Rania pergi melihatmu seperti ini!” Dafa menoleh dan benar saja, kekasih yang sangat dia cintai sudah tidak ada lagi di tempatnya.  Maafkan aku, Rania  ***  Hal wajar kalau kecewa sampai membuat orang lain menangis. Dalam kasus Rania, tentu dia sakit hati. Mana ada yang baik-baik saja saat calon tunangannya, di depan matanya sendiri memilih wanita lain? Kalau ada yang ikhlas, paling hanya topeng belaka. Pernah dengar kalau perempuan itu bisa merahasiakan rasa cintanya yang bertahun-tahun, tapi tidak bisa menahan cemburu satu detik pun? Itu yang Rania rasakan sekarang.  Tadi, tanpa pamit, tanpa apa, Dafa meninggalkannya begitu saja. Di depan semua orang, dia lebih memilih perempuan yang Rania sendiri tidak ingat dia siapa dan bagaimana Dafa bisa mengenalnya. Setahu Rania, perempuan itu alias Jani, bukan teman Dafa. Sebagai kekasih yang sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih, bahkan berteman sebelum itu, tentu Rania tahu siapa-siapa teman perempuan Dafa. Dan perempuan barusan, tidak ada dalam daftar temannya.  Amarah yang dilontarkan Pak Hutomo membuat Rania meringis, tentu hatinya sakit. Bukan karena malunya, tapi lebih kepada kecewa karena Dafa lebih memilih perempuan lain. “Papi tidak mau tahu! Jangan pernah berhubungan dengan anak Kana lagi! Tinggalkan dia! Lupakan lelaki tidak tahu diri itu! Bisa-bisanya dia mempermalukan kita di depan semua orang. Mau ditaruh di mana wajah Papi?!” pria paruh baya itu berkacak pinggang dengan d**a naik turun tak beraturan.  "Pi?” Rania merengek, kemudian berjalan pelan menghampiri papinya dan memeluk lengan pria paruh baya itu. “Jangan bilang seperti itu, Dafa pasti punya alasan.”  "Alasan apa?!” Pak Hutomo menghempaskan tangan Rania kasar, kemudian berbalik sambil berkacak pinggang lagi.  "Aku nggak tahu.” Cicit Rania frustasi sendiri. “Tapi Pi, aku yakin Dafa nggak bermaksud seperti itu. Papa tahu kan kalau Dafa itu orangnya tidak tegaan. Mungkin dia kasihan lalu—”  "Lalu apa Rania?” Pak Hutomo membentak. “Mentang-mentang dia kasihan terus bisa dijadikan alasan untuk menyakiti kamu?! Dia bisa bayar orang untuk mengurus perempuan gila itu.”  “Papi?”  "Papi tidak mau tahu. Akhiri hubungan kalian. Sudah cukup Papi dipermalukan hari ini. Tidak lagi.” Katanya bersikeras. Rania mendesah lelah, tak tahu lagi harus bagaimana. Riasannya saja sudah berantakan. Dan Dafa, pria itu bahkan tidak menghubunginya.  Ohh ayolah, meski Rania memberi maaf pada Dafa nanti, rasa kecewanya akan tetap terbawa. Dan kalau perlu, Rania akan mengingatnya sampai mati. Ketahuilah, daripada dikenang karena kebaikannya, terkadang, seseorang malah lebih terkenal akan kejelekannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN