11. Petunjuk

2302 Kata
Kata orang, dia yang pergi menghadap Tuhan lebih dahulu akan menjadi bintang di langit. Namun, Jani tidak percaya. Buktinya, dia malah melihat orang lain dengan wajah yang sangat mirip dengan Panji. Kalau begini, apakah pantas kalau dia menamakan reinkarnasi? Haha, tentu saja tidak. Tidak ada yang seperti itu. Kalau mau, Jani bisa saja bersikap keras kepala seperti biasa dan mengejar Dafa layaknya dia memang Panji, kekasihnya yang telah lama menghilang pergi. Namun, melihat senyum tulus yang lelaki itu berikan untuk perempuan di depannya tadi cukup membuktikan kalau dia bukan Panji. Panji yang dia kenal, tidak akan menyakiti hatinya, tidak akan menduakannya seperti ini. Maka, malam terakhir itu, Jani habiskan untuk berintrospeksi diri. Dia memikirkan apa-apa saja yang sudah dia lalui lima tahun terakhir ini tanpa adanya sosok Panji di sampingnya. Nyatanya, perempuan itu masih bernapas sampai sekarang. Dia bisa bekerja dan berkomunikasi dengan baik. Dan itu artinya, dia baik-baik saja tanpa Panji. Batinnya saja yang tidak terima kalau kekasihnya itu sudah tiada. Entah mendapat keberanian dari mana dia yang menyerah lebih dulu. Jani memutuskan untuk berhenti berharap. Dia tidak akan menangisi lelaki yang jelas-jelas bukan Panji. Kalau Panji yang sekarang masih berada di suatu tempat yang tidak semua orang ketahui, pasti sangat sedih melihat dirinya seperti ini. Karena itu, Jani akan berhenti. Bukan. Perempuan ini bukannya tidak mencintai Panji lagi, bukan. Hanya saja, demi membuktikan cintanya, memang jalan seperti ini yang Jani ambil. Dia akan berhenti bersikap seolah-olah Panji masih ada. Dia akan menjadi Jani yang semua orang mau. Dia tidak akan membiarkan orang-orang menangis sedih karenanya lagi. Bantu aku, Nji. Aku tahu kamu di sana baik-baik saja. Perkataan Jani hanya sabatas sampai hati. Dia tidak mengucapkannya lagi. Baginya, memang semuanya dimulai dari sini. Dia akan bangkit. Dia akan berjuang. Dia akan hidup seperti orang-orang berusaha hidup untuknya. Kalau orang lain saja ingin melihat dia bahagia, kenapa dirinya sendiri malah terus-terusan berduka dan terjebak dalam kubangan yang sama, yaitu kegelapan karena ditinggalkan sosok kekasih tercinta. Dulu, Jani pernah membaca sebuah kisah cinta yang berakhir mengenaskan. Dan sekarang, tanpa membaca, dia bisa merasakan sakit yang sesungguhnya. Hidupnya memang sudah berakhir sejak Panji pergi. Dan sekarang, saat ada sosok lain yang selalu membuat Jani mengingat Panji, malah membuat perempuan itu seolah benar-benar mati. Dia hanya bernapas dalam kesakitan. Setiap susunan tubuhnya hanya merasakan nyeri di setiap detik yang terlewatkan. Dengan tangan yang masih berfungsi dengan baik, Jani mengirimkan pesan kepada Andra dini hari begini. ‘Ndra, bantu aku ya. Aku mau hidup sekali lagi.’ Mulanya, Jani tidak berekspektasi kalau Andra masih terjaga malam-malam begini. Namun, tidak apa. Senyumnya malah terbit saat pesanannya langsung berubah centang biru. Kemudian, terlihat jelas tulisan ‘typing’. Tak perlu diragukan lagi, Andra memang sahabat yang baik. Pasti beruntung sekali perempuan yang dicintainya. Dan ya, setidaknya itu yang Jani pikirkan, tanpa tahu kebenaran yang nyata itu seperti apa. Katanya, perempuan adalah makhluk Tuhan yang paling peka. Tapi melihat hubungan berputar mereka, Andra tidak pernah mau mengakui kebenaran kalimat dengan tujuh kata itu. ‘Aku dari dulu nunggu kamu bilang itu, Jin. Kenapa baru sekarang coba? Lihat ke jendela, gih!’ Jani yang melihat pesan itu langsung menurut saja. Dia bangkit dan berjalan pelan menuju jendela, kemudian tertawa melihat Andra tahu-tahu melemparkan bungkus coklat kosong kepadanya. “Coklat benerannya besok. Aku traktir jalan-jalan.” Kata Andra setengah berteriak, saking semangatnya. Jani mengangguk mantap dan kembali tersenyum melihat Andra yang berlari pecicilan seolah baru mendapatkan hadiah yang paling ia inginkan sedari dulu. Maafin aku, Ndra. * Mana Andra tahu, kalau kedatangan mereka ke pesta itu membuat Jani kembali menemukan dunianya. Kalau Jani hidup, maka semua orang akan hidup juga. Dari sini Andra belajar, ternyata yang menjadi alasan keterpurukan, bisa menjadi alasan untuk sembuh dan berjuang. Jani adalah definisi dari jatuh bangkit lagi. Demi apapun, Andra senang sekali. Seolah-olah, memang untuk ini tujuannya hidup, melihat Jani bangkit dan tersenyum lagi. Mungkin, banyak yang menganggap berlebihan atau apa. Tapi toh, Andra tidak tidak peduli. Yang orang lain tahu, itu yang mereka tahu. Mereka mana tahu masalah atau persoalan yang sebenarnya. Karena itu, baik Andra maupun Nadia, mereka selalu ada untuk Jani di saat suka maupun duka. Dan ketika bersahabat ini membuktikan, setiap badai yang datang pasti berlalu. Tidak ada badai kehidupan yang abadi. Saking antusiasnya, Andra rela merogoh kocek sampai jutaan untuk mentraktir Jani dan Nadia di sebuah mall yang berada di kawasan SCBD. Tentu, mereka senang-senang untuk mengisi perut di lantai atas jajanan food court yang tinggi pilih tanpa harus repot-repot memikirkan tagihannya karena hari ini Andra yang membayar. “Tapi ya, Mak, Andra kenapa, ya? Kok mendadak nggak pelit gini? Cowok itu kan biasanya males kalau diajak keluar.” Jani tertawa lebar mendengar penuturan Nadia. Kemudian, dia dengan senang hati bercerita. “Aku bilang sama dia kalau aku bakalan hidup. Nggak akan menye-menye lagi. Ya tetep, Panji nggak akan tergantikan.” Katanya. Mendengar Jani berbicara begitu ringan, mau tak mau Nadia ikut tersenyum. Dia senang meskipun sedih karena Jani belum sepenuhnya terbebas. Tapi yang penting kan, usahanya. Dia tentu akan mengapresiasi keberanian Jani untuk keluar dari zona nyaman yang justru malah menyiksanya sampai ingin mati. “Tahu gitu, gue mau ikutan tadi.” Jani menelan makanannya susah payah, kemudian mengambil minum. “ikutan apaan?” “SYUKURAN! Temen aing tobat!” katanya sambil nyengir tanpa dosa. Jani yang mendengar tentu malu sendiri. Tapi daripada malunya, dia lebih merasa lega. Kenapa dia baru sadar sekarang? Ada banyak hal yang bisa membuatnya tersenyum seperti sediakala. Bahkan, perlakuan sederhana mentraktir food court alakadarnya seperti ini. “Kalau Panji emang nggak ada, dia juga bakalan sedih lihat aku kayak gini, Nad. Jadi, kenapa aku harus terus-terusan bersedih, kan?” Buru-buru Nadia memberikan kedua jempolnya. Kalau bisa, dia berikan keempat-empatnya malah. Tapi tentu tidak sopan kalau dia sampai mengangkat kakinya di meja. “Alhamdulillah. Temen saya dapat penerangan juga.” “Pencerahan!” Jani yang kesal mengoreksi. Kemudian, mereka tertawa bersama-sama. Entah menertawai apa tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti, ada hati yang menangis pilu sekarang. Andra, yang baru datang setelah tadi pamit ke kamar mandi, menatap kedua temannya bingung karena mendadak diam. Padahal, tadi dari kejauhan dia melihat mereka masih tertawa cekikikan seolah tak memiliki beban hidup. “Kok langsung diem pas aku dateng?” Andra menarik kursi, kemudian duduk kembali. “Kamu cowok mah, mana ngerti. Ini urusan ibu negara, tahu.” Andra memutar bola matanya malas, “bodo amat sih. Yang penting udah nepatin janji buat traktir.” Sambil menunggu Jani yang makan tak selesai-selesai karena tenggorokannya sedikit bermasalah beberapa hari ini, Andra berbincang ringan dengan Nadia. Pembahasan mereka seperti biasa, tak jauh-jauh dari urusan dan isu-isu kantor yang monoton. Kalau yang seru-seruan, itu pasti saat ada yang ketahuan selingkuh terus dilabrak di kantor. Enam bulan terakhir ini, sudah ada kasus seperti itu. Terhitung kemarin siang, sehabis makan siang. Sampai akhirnya Kanjeng Ratu Jani selesai makan juga. Mereka akhirnya pulang bersama-sama. Lebih tepatnya, hanya Andra dan Nadia yang pulang karena Jani bilang mau pergi ke suatu tempat dulu, tidak mau ditemani. Sebenarnya, Jani memiliki beberapa nobel purpose diantaranya, dia memang sengaja mendekatkan Andra dan Nadia. Siapa tahu habis pulang bersama, naik mobil berdua, besok-besok tahu sudah ganti status menjadi pacar. Dan tujuan yang satunya, Jani ingin melihat lukisannya yang memang dia hibahkan di counter bagian alat tulis itu. Dia duduk di kursi yang paling dekat dengan lukisan itu. Menurut sang penjaga, sudah beberapa kali ada orang yang ingin membelinya, tapi karena itu pemberian Jani, jadi bapak-bapak yang dipasrahi tidak mau meski ditawari dengan harga paling tinggi sekalipun. Jani tersenyum. Kalau lukisannya saja bisa menarik minat orang lain. Kenapa juga dia yang membuatnya malah kehilangan minat meski beberapa saat lalu sudah membeli peralatan untuk melukis. Hm, tentu saja masalahnya tak pernah berubah. Jani selalu melukis saat Panji bersamanya. Jadi, dia juga seolah kehilangan partner corat-coret kanvas. Baiklah, kalau terus-terusan seperti ini. Yang ada Jani jatuh terpuruk lagi. Karena itu, dia bangkit dan berjalan menuju lantai dasar. Entah karena dunia yang sempit atau Jani saja yang mainnya kurang jauh, dia tidak sengaja bertatapan dengan lelaki yang mana coba ia abaikan. Jani bahkan tak sadar saat yang merokok di gazebo dulu adalah Panji. Yang dia ingat, hanya Andra yang membantunya saat itu. Maka, saat dipertemukan lagi di tempat seluas ini, Jani malah salah fokus saat dari arah samping datang perempuan cantik langsung merengkuh lengan Dafa. Dan Dafa tentu diam saja, seolah turut menikmati. Sedangkan Jani, dia memasang wajah tanpa dosa dan langsung berlalu begitu saja. Memang apa gunanya dia di sana? Toh lelaki itu orang lain. Karena sampai detik ini Jani percaya. Panji tidak akan menyakitinya. Kalau ada yang menyakitinya, berarti dia bukan Panji. Titik. *** Datang ke rumah Panji meski lelaki itu disebut-sebut sudah tiada tak lantas membuat Jani berhenti berkunjung ke kediamannya. Buktinya, dia sengaja membawa cat airnya dan pergi ke rumah, lebih tepatnya kamar Panji. Di sana, dia disambut dengan baik. Tentu saja. Pun, tidak ada yang keberatan. Yang ada, kedua orang tua Panji senang. Setidaknya, masih ada yang begitu sayang dan mengenang anaknya. Mengingatkan kembali, mereka adalah orang tua beruntung yang bisa memiliki anak yang berbakti macam Panji. Mau bagaimana pun, setiap perjalanan di dunia ini memiliki risiko. Entah darah, entah laut, entah udara, semua memiliki bahaya masing-masing. Karena itu, kemanapun ingin pergi, ketika kaki melangkah keluar dari pintu rumah, harus membaca doa keselamatan terlebih dahulu. Selain mendapat pahala dengan mengamalkannya, tentu akan dijaga saat perjalanan. Dan apabila terjadi sesuatu dalam perjalanan, semoga tidak digolongkan sebagai golongan yang buruk. Saat ini, Jani sudah di kamar Panji. Harumnya tidak pernah berubah tiap kali perempuan itu menginjakkan kakinya di sana. Maka, dia langsung tersenyum cerah. Terkadang, Jani tidak habis pikir pada dirinya sendiri. Hari ini dia berniat untuk melupakan tapi detik itu juga dia membatalkan niatnya. Hhh, apapun yang tentang Panji, Jani memang belum bisa melepaskannya begitu saja. Tentu perempuan itu butuh waktu. “Nji, aku numpang ngelukis di kamar kamu, ya?” Jani tentu tidak mengharapkan balasan sama sekali. Kalau ada, yakin dia langsung pingsan saking terkejutnya. Mana dia siap melihat Panji yang sangat dia cintai tiba-tiba muncul di depannya. Saking tak mampu menampung rasa bahagianya, hati Jani bisa over dosis hingga membuat sistem dalam tubuhnya terganggu. “Kamu tahu?” Jani bergumam sambil menorehkan cat dengan warna soft di kanvas dengan kepala miring. “Ada orang yang mirip banget sama kamu, Nji. “Kamu tahu?” tanyanya lagi. “Rasanya sesak banget. Apalagi liat dia senyum buat perempuan lain. Aku masak kayak perempuan paling menyedihkan di dunia masak? Tuh kan mewek lagi!” Jani berhenti sebentar, kemudian mengusap pipinya kasar. Dia jadi ingat pesannya pada Andra. Masak baru sampai sini dia harus menyerah dan kembali ke zona nyaman lagi? Perempuan itu menggeleng, mengusap ingusnya kasar. “Aku bilang sama Andra buat mulai dari nol lagi. Tapi aku ngerasa egois banget dengan bohong sama dia. Buktinya, aku malah di sini.” Kata Andra, kamu pakai pelet supaya aku jatuh cinta sama kamu, makanya saking cintanya, aku sampai gila kayak gini." “Btw, Nji. Lukisan aku ada yang suka lhoh selain kamu.” Jani tertawa miris. “sampai mau dibeli dengan harga tinggi lagi. Aku penasaran sama orangnya. Nanti, kalau semisal aku ketemu orangnya dan ngerasa boleh, kamu relain ya kalau dibeli? Nanti semua uangnya dikasih ke bapak yang jagain, gimana?” Ya tentu saja tidak ada yang menjawab. Tidak apa-apa, Jani bahagia seperti ini. “Terus aku mau curhat. Harusnya, dari beberapa waktu lalu sih, tapi baru kesempatan sekarang.” Dia tersenyum. “Kamu tahu, tidak? Adik kamu udah besar tahu. Dia udah tunangan sama pacarnya. Kita tunangan lewat dunia mimpi, ya, Nji, hahaha.” Kalau seperti ini, siapa yang tidak mengira Jani gila? Bagas yang menguping di balik pintu saja meringis pilu. Terkadang, mengutuk Panji yang pergi lebih dulu meski seharusnya dia tidak mengungkit-ungkit lagi seseorang yang telah tiada. Tentu dalam ini, Bagas adalah salah satu orang, yang percaya kalau Panji benar-benar sudah pergi. Intinya, hanya Jani yang percaya kalau Panji nasib hidup. Mungkin, lelaki itu sedang tersesat dan sedang berusaha menemukan jalan pulang. Karena itu, Jani tidak pernah berhenti untuk mendoakannya meski sampai saat ini, kekasihnya itu perlahan-lahan mulai tenggelam. Jani kembali melanjutkan lukisannya, memadukan dua warna untuk menciptakan senja yang begitu sendu. “Aku selalu minta sama Tuhan supaya ngasih aku petunjuk, Nji. Aku minta Dia buat bawa kamu pulang apapun keadaan kamu, walaupun hanya satu helai rambut ataupun lapisan kulit.” Kali ini, tangan Jani gemetar. Dia sudah menyelesaikan lukisan senjanya, bersama tetesan air mata yang seolah tak ada ujungnya kalau mengenang tentang Panji. “Kasih aku petunjuk, biar aku ikhlas kalau kamu memang sudah pergi." Menangis memang tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, dengan menangis, Jani merasa lega setelahnya. Mungkin, banyak yang menganggap Jani cengeng. It's okay. Jani tidak pernah peduli dengan yang orang lain katakan. Baginya, keluarga adalah yang terpenting meski kenyataannya, dia adalah orang yang paling sering menyakiti mereka semua tanpa sadar. Jangankan berbuat sesuatu yang buruk, Jani melamun dalam diam saja semua orang sedih. Bagaimana kalau Jani sampai kenapa-napa? Sudah pasti keluarga dan orang-orang yang menyayanginya yang lebih hancur. Di kehidupan selanjutnya, banyak yang mengharapkan kalau nasib Jani lebih baik dari hari ini. Dia perempuan yang baik dan tidak pernah punya masalah dengan siapapun karena perangainya yang santun. Bu Intan terkadang mempertanyakan keberadaan-Nya. Kalau seandainya memang dia yang berdosa, maka hukum saja dirinya. Jangan kedua putrinya yang paling dia cintai melebihi dirinya sendiri. Seorang ibu tidak akan tega anaknya bersedih lebih lagi sakit. Kalau bisa, Beliau pasti sudah menggantikan posisi Jani sekarang. Agar, putri sulungnya itu bahagia. Agar, putri sulungnya itu tidak apa-apa. Kenapa harus hidup kalau diuji seperti ini? Jani juga suka berpikir seperti itu. Rasanya, jiwanya lelah sekali. Dia ingin berhenti dan memilih mundur saja. Dunianya, sudah berantakan sejak ditinggalkan Panji dengan begitu keji. Andai saja Panji meninggalkannya dengan perempuan lain, Jani yakin dia akan baik-baik saja meski sakit. Namun, daripada mengetahui menyataan pahit ini, Jani tidak kuasa untuk menerimanya seingin apapun dia mengikhlaskan segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN