Frans menahan geram saat ia tahu kebenaran akan hubungan Mia dan Akram. Sudah sejak tadi ia menghubungi nomor keduanya namun tak ada jawab yang pasti. Tak pelak hal itu membuatnya semakin naik pitam.
“Kenapa sih? Dari tadi ibu perhatikan merah sekali mukanya.”
“Nggak apa-apa, Bu. Ini ngubungin orang nggak diangkat dari tadi.”
“Ngubungin siapa? Pacar?”
Frans pun membelalak. Mana ada dalam kamusnya pacar-pacaran begitu. “Ngga, Bu.” Namun, hatinya berbisik. Ini melebihi pacar, Bu.
“Gimana persiapan kuliah Mia, Frans?” Sufi menjadi cukup penasaran. Ia tidak menyangka putrinya serius melakukan hal itu.
“Sudah beres, Bu. Dua minggu lagi berangkat.”
“Dua minggu? Kenapa Mia ngga bilang?”
Frans menghela napas. Ia memang masih menunggu kapan Mia akan berterusterang.
“Kita tunggu saja, Bu.”
Sufi semakin resah. Ia belum bisa memberitahukan pada suaminya jika Mia sendiri belum mau bicara.
“Coba kamu telepon, Mia, Frans.”
“Sudah, Bu. Dari semalam Frans hubungi tapi tidak diangkat.”
“Apa kamu datangi saja ke rumah mereka?”
Frans diam sebentar. Ia berpikir perlu tidak melakukan itu. Ia sendiri sebenarnya sudah menantikan kabar dari adiknya itu.
“Baik, Bu,” ujar Frans sambil bersiap. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Agit sudah berdiri di depan pintu.
“Bapak,” ucap Frans tertahan.
“Siapa yang mau pergi? Siapa yang mau kuliah?” tanya Agit karena ia sempat mendengar percakapan Sufi dan Frans.
“Bapak,” ucap Sufi sama paniknya dengan Frans.
“Siapa yang mau ke luar negri lagi, Bu? Siapa?”
Sufi kebingungan. Ia menatap Frans untuk membantu menjelaskan. Namun, ia sendiri tak punya banyak nyali.
“Itu, Pak, Mia mau pergi….”
“Mia? Mia yang akan pergi?” tanya Agit tak percaya.
Sufi mengangguk kecil. Jika sudah begini sulit mereka menutupi. “Frans tolong jemput Mia sama Akram sekarang. Biar mereka yang menjelaskan sendiri sama Bapak.”
Frans mengangguk. Sudah telanjur ketahuan tak ada cara lagi untuk menghindar. Frans pun berbegas meninggalkan ayah dan ibunya.
Sepanjang perjalanan pikiran Frans cukup terganggu. Ia tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi terlebih saat Mia mengirimkan pesan padanya ada rencana membatalkan kepergian itu. Namun, semuanya sudah siap. Frans ingin Mia tetap melanjutkan perjalanannya. Mobil Frans terhenti akibat dari lampu apil yang berwarna merah. Hal itu membuatnya terpaksa harus menunggu.
Drrrt… drrrt… drrrt.
Ponsel Frans terus bergetar.
“Siapa sih?” gerutu Frans.
Ia mengambil ponselnya sebentar dan melihat nama yang pernah ia kenal.
“Ya, ada apa?” tanya Frans lewat sambungan itu.
“Hilmi?”
“Ah, ya. Saya ingat.”
“Kiriman? Kiriman apa?”
Frans memberhentikan mobilnya kembali begitu mendengar ucapan dari Hilmi.
“Di mana?” tanyanya tak sabar.
“Oke. Saya ke sana.”
Frans pun memutuskan untuk memutar arah. Informasi dari Hilmi pasti penting sekali sampai pemuda itu terus menghunginya. Frans semakin gugup. Ia takut ada banyak hal yang lebih mengerikan dari apa yang ia ketahui sebelumnya.
“Selamat datang, Pak Frans,” sambut Hilmi dengan senyum mengembang.
“Ada apa? Langsung ke inti saja.”
“Stttt, jangan buru-buru. Silakan duduk dulu.” Hilmi menunjuk kursi kosong di depannya.
Frans meski jengah akhirnya mengikuti arahan Hilmi. Sudah dari semalam, pria it uterus menerornya.
“Bagaimana kabar adik anda Pak Frans?” tanya Hilmi penuh basa-basi.
“Mia?”
Hilmi mengangguk. Ia tidak mungkin menanyakan tentang Akram.
“Untuk apa kamu bertanya?” Frans merasa Mia dan Hilmi tidak saling mengenal.
Hilmi mendecih. Rupanya sikap tenang Mia tak jauh berbeda dari kakaknya. Pasti hubungan darah di antara keduanya menjadikan mereka memiliki banyak kesamaan. Begitu pikir Hilmi.
“Saya kira adik anda akan terguncang. Setidaknya mengadu kepada anda.”
“Apa maksudmu? Bicara yang jelas!” tegas Frans.
“Hahahaha! Anda ingin tau lebih banyak?”
“Jawab segera!” teriak Frans. Terlebih Hilmi sudah mengirimkan beberapa pengantar untuk pertemuan mereka sekarang.
Hilmi bertepuk tangan sebanyak tiga kali. Ia meminta seseorang yang sangat ia andalkan datang mendekat.
“Perlihatkan semuanya, Yos!”
Frans yang mengenali Rios pun tersentak. Mengapa sahabat adik iparnya itu justru berhubungan dekat dengan Hilmi? Ada apa sebenarnya?
Rios tak banyak bicara. Ia hanya melakukan tugasnya. Ia sudah dibayar mahal untuk menghancurkan hidup sahabatnya.
“Kurang ajar!” sentak Frans. Ia jelas kesal dengan apa yang ditunjukkan Frans.
“Saya bisa membuat ini menjadi lebih mengerikan,” ujar Hilmi memprovokasi Frans.
“Apa maumu sebenarnya?”
“Well, anda pasti tau. Anda sudah lama berkecimpung dalam bisnis.”
“Apa yang menjadi permasalahannya sebenarnya? Saya tidak paham.”
Hilmi pun berdiri. Ia mendekat pada Frans sambil menyeringai lebar. Kesumatnya pada Danial Akram, benar-benar mengakar.
“Buat adik iparmu menderita. Jangan jadikan dia sebagai orang kaya. Dari awal dia tidak punya apa-apa,” ucap Hilmi penuh penekanan.
Frans tersentak. Ada hubungan apa sampai Hilmi begitu membenci Akram.
“Saya bisa saja mengupload ini semua di social media. Atau jika tidak bisa saya kirim ke Pak Agit bukan?”
“Apa maksud anda?” sentak Frans tidak terima.
“Tadi saya sudah sebutkan,” jawab Hilmi sambil menegakkan badan.
Frans benar-benar bingung. Ia dibuat tak percaya dengan sikap Hilmi. Dari awal ia memang tidak suka dengan Akram, tapi mengapa harus dengan cara seperti ini pemuda itu dihancurkan. Sungguh, ini akan menyeret banyak nama terlebih keluarganya.
“Hanya itu?” tanya Frans sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak ingin goyah di depan Hilmi.
“Hanya itu. Sudah sangat cukup. Saya tahu bisnis D and M kalian juga tidak akan berjalan. Jadi, saya hanya mau dia menderita.”
“Mengapa kamu melakukan ini?”
Hilmi terkekeh. “Saya tidak suka orang yang menganggu hidup saya.”
“Mengganggu? Akram menganggunya?”
Hilmi mengangguk kecil. Ingatan itu hanya ia, Nasha dan Akram yang punya.
“Rios,” panggil Hilmi kembali.
“Ya?”
“Kau masih punya yang lain?” tanya Hilmi berusaha memancing amarah Frans lagi.
“Yang lain bagaimana?”
“Kau saksi hidup perjalanan kisah mereka bukan?”
Mata Rios membola. Hilmi benar-benar memanfaatkan kedekatannya dengan Akram.
“Ya,” jawab Rios tertahan.
“Kalau anda butuh banyak bukti, tanyakan saja pada pemuda ini. Sahabat baik adik ipar anda, yang menjual kemesraan itu pada saya.” Hilmi tersenyum lebar. Ia puas karena berhasil menjatuhkan Akram dari sisi mana saja.
Frans menatap penuh tanya pada Rios namun tak mendapatkan apa-apa. Ia harus menguasai situasi ini demi menyelamatkan nama baik keluarganya. Jika ayah dan ibunya sampai tahu semua akan menjadi sangat kacau.
“Beri saya waktu untuk memikirkannya.”
“Berapa lama?”
“Maksimal dua minggu. Tolong jangan lakukan apa-apa.”
“Dua minggu? Itu sangat lama.”
“Satu minggu,” sahut Frans.
Hilmi tersenyum samar. “Tiga hari.”
Frans membelalak. Ia tak percaya Hilmi berani mengancamnya. Frans pun mengepalkan tangan guna menahan segala geram yang mulai menguasainya.