Bab 73 : Kencan Pertama

1581 Kata
Sejak pagi Akram sudah menanti Mia. Gadis itu yang katanya akan bersiap sekitar lima belas menit, rupanya membutuhkan waktu lebih lama. Akram pun mulai geram mengingat ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan gadis itu. "Lama amat," protes Akram sambil melirik jam tangannya. "He, maaf Mas." Mia tertunduk malu. Akram pun mengabaikan rasa kesalnya. Ia perhatikan pakaian sang istri yang tentu seperti biasa tertutup dan syar'i. "Kenapa, Mas?" Akram menggeleng. Ia tidak mungkin mengakui secara langsung jika penampilan Mia telah memukaunya. "Kunci?" tanya Akram. "Kunci apa?" "Ya mobil. Nggak mungkin pakai motorku," keluh Akram. Cukup riskan jika menggunakan gamis model seperti itu naik motor. "Ah, ya bentar, Mas." Mia kembali naik ke lantai dua. Ia melupakan kunci mobilnya. Selama ini Akram tak pernah mau menyimpannya meski ia mengizinkan. Hari minggu pertama keduanya menghabiskan waktu bersama pun dimulai. Mia tak banyak bertanya. Ia menurut saja seperti biasa. Namun, ia cukup penasaran terlebih saat Akram memberhentikan mobilnya dan mengajaknya turun. “Nggak salah, Mas?” Akram menggeleng. Dari semua tempat, salah satu mall terbesar di kotanya itu yang paling tepat. “Masuk dulu.” Mia pun menurut karena Akram sudah lebih dulu melangkah. Ia berjalan pelan di sampingnya. “Udah pernah ke sini, kan?” tanya Akram setelah mereka sampai di dalam mall. “Udah. Beberapa kali waktu itu sama Ibu.” “Belanja?” “Iya, Mas.” “Berarti nggak masalah kan ya sama hingar bingar,” kelakar Akram. Sebelumnya ia ragu apakah Mia bisa nyaman di tempat ramai seperti itu. “Bisa, Mas,” jawab Mia sambil tersenyum manis. “Kalau gitu kita ke atas lagi.” Akram mengajak Mia menaiki eskalator untuk mencapai lantai tiga di gedung itu. Tempat yang ia putuskan beberapa saat lalu saat baru masuk ke mall.  Mia terperangah saat menyadari ke mana Akram membawanya. Sebuah tulisan Bioskop platinum XXI membuatnya bertanya-tanya. “Belanjanya entar aja. Ada film bagus,” terang Akram. Mia terdiam. Ini kali pertamanya menonton film langsung di bioskop. Ia sedikit gugup begitu kakinya menyentuh lantai karpet di sana. Akram yang menyadari kegelisahan Mia mencoba menenangkan dengan meraih jemari Mia dan menautkannya. “Mas....” Akram mengedipkan mata. “Halal, kok.” Mia tersipu. Jawaban Akram tidak mampu ia bantah. Ya, bahkan sangat halal bagi mereka untuk sekadar melakukan sentuhan. Keduanya berjalan santai menuju tempat pemesanan tiket.   Akram datang tanpa persiapan. Artinya ia belum mengecek film apa yang sedang tayang. Cukup lama Akram memilihnya hingga akhirnya dibantu oleh petugas. “Yang ini saja, Kak. Lima belas menit lagi dimulai. Biar tidak terlalu lama menunggunya.” “Tapi bagus nggak filmnya, Mbak?” tanya Akram memastikan. “Dicoba dulu saja, Kak. Banyak yang memesan tiketnya.” “Ya sudah kalau gitu, Mbak. Pesan dua.” “Mau sama popcorn dan minumnya, Kak?” “Emmm, nggak usah, Mbak.” Akram pernah menonton film sambil memesan popcorn. Baginya itu tidak menyenangkan. Terlebih ia tidak mau mengulang hal yang pernah ia lakukan dengan Nasha bersama Mia. Ia perlu mencari ciri khas sendiri saat berkencan dengan Mia. Akram tersenyum sendiri. Ini pertama kali bagi mereka. Tak berlebihan jika ia menyebutnya sebagai kencan. Setelah memesan tiket dan memasuki ruang pemutaran film, Akram dan Mia mulai menyamankan diri duduk di sofa empuk itu. “Bentar lagi kayaknya,” ujar Akram saat menyadari lampu bioskop mulai dimatikan. Mia menjadi semakin gugup. Bukan hanya karena ini pertama kalinya, melainkan ia juga tak nyaman dengan kegelapan. Rasanya ia seperti mengulang kejadian mengerikan. Namun, Mia berusaha menguasai dirinya dengan baik, ia tidak boleh mengecewakan Akram. Menit demi menit berganti hingga tak terasa sudah hampir setenagh jam berlalu. Film pada layar berputar sebagai mana mestinya. Adegan demi adegan disuguhkan. Bagi Akram sendiri yang lebih suka film action atau thriller, film bergenre romantis seperti ini cukup membosankan. Ia pun melirik ke arah Mia, memerhatikan bagaimana wajah gadis itu tampak pucat. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Akram memastikan. Mia tampak tidak baik-baik saja. “Nggak apa-apa, Mas,” jawab Mia. Akram pun kembali menghadap ke layar dan di luar dugaanya di sana tengah terpampang nyata adegan romantis yang membuatnya terlonjak. Bagaimana pemeran utama pria menarik tangan pemeran utama wanita. Mereka berpelukan untuk kemudian saling bertukar saliva dan melanjutkan aksi di sebuah kamar. Akram meneguk ludah. Momennya sangat tidak tepat, di saat sejak kemarin ia banyak memikirkan hal-hal semacam itu. Sungguh membuatnya tersiksa. Mia yang biasanya tidak suka melihat hal-hal semacam ini seperti larut dalam alur cerita yang disuguhkan. Meksi tampak gugup di mana ia meremas ujung jilbabnya, ia tidak memalingkan wajah. Sontak Akram terperangah. Ia perhatikan lagi wajah Mia dari samping. Hidung bangir dan dagu yang menawan itu tak pelak membuatnya semakin dilanda gelisah. Ia menjadi sangat kacau. “Ehhhh,” ujar Mia yang secara alami menengok ke sebelah Akram. “Hmmm.” Mia menggeleng kecil. Ia tertunduk malu karena tertangkap basah menikmati adegan romantis yang disuguhkan. Ia kembali meremas ujung jilbabnya dan tanpa diduga Akram merangkulnya. “Nggak apa-apa. Nggak dosa dosa amat,” bisik Akram tepat di telinga Mia. Sontak hal itu membuat tubuh Mia meremang. Mia mengukir senyum kecil. Perlakuan Akram pasca pengakuan itu menjadi semakin manis. Mia mengakui bahwa ia sangat bahagia. Namun, satu bulan lagi ia akan pergi. Ia tetap ingin mengetahui apa yang akan terjadi jika mereka berjauhan. Akankah semua rasa yang ia rawat dengan baik untuk Akram, masih akan sama. “Kenapa? Layarnya di depan bukan samping,” ucap Akram. Ia sadar Mia sedang memerhatikannya. “Apa filmnya masih lama, Mas?” Akram sedikit menunduk agar bisa melihat wajah Mia dengan jelas. “Kenapa memangnya?” “Aku mau keluar, Mas. Rasanya....” Mia menarik napas dalam-dalam. Dadanya mulai terasa sesak. “Kamu sakit?” tanya Akram sambil memegang kening Mia. Mia menggeleng. Ia tidak sakit, ia hanya tidak bisa berada di tempat yang terlalu gelap. Wajah Mia kian pucat. “Maaf, Mas, kayaknya aku harus keluar,” ucap Mia. “Ya udah ayo.” Gegas Akram berdiri. Ia menuntun tangan Mia dan berjalan sambil membungkuk. Tentu aksi mereka menganggu penonton yang lain. Sambil menunjukkan gestur meminta maaf, Akram dan Mia akhirnya keluar dari bioskop sebelum waktunya selesai. Mia menarik napas dalam-dalam. Ia seperti kehilangan banyak oksigen saja dan kembali menemukannya. Rasa pengap yang datang, seolah menyergapnya. “Duduk dulu, Mi,” ujar Akram sambil menatih istrinya. Mia mengikuti arahan Akram, keduanya istirahat sebentar di kursi tunggu yang ada di area luar bioskop. “Kamu kenapa, Mi? Sakit kah?” Akram cukup khawatir. Mia menggeleng. Ia hanya takut gelap yang berlebihan. “Gelap.” “Gelap?” Mia mengangguk sambil terus mengatur ritme nafas. “Iya. Aku nggak biasa gelap, Mas.” “Nggak biasa? Maksud kamu?” “Panjang ceritanya, Mas. Tapi ini udah nggak apa-apa,” ujar Mia. Ia tidak mau membuat Akram semakin khawatir. “Sorry, Mi. Aku nggak tau soal itu.” Akram pun menyesal. Pantas saja Mia tampak gugup saat mereka hendak masuk. Mia menggeleng. Itu bukan salah Akram. Ia sendiri yang tidak pernah menjelaskan. “Nggak apa-apa, Mas. Ini udah enakan.” “Aku cariin minum dulu, ya. Beneran aku nggak tau kalau kamu nggak bisa gelap.” “Iya, Mas. Aku tunggu di sini.” Akram pun berlari mencari air mineral untuk istrinya. Ia bodoh tidak tahu banyak hal tentang Mia. Beruntung gadis itu segera meminta keluar dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam hati Akram mengutuk dirinya sendiri, ia memang tidak tahu apa-apa. Seharusnya ia berusaha mengenalnya. Setelah mendapatkan air mineral, Akram kembali ke tempat Mia duduk tadi dan ia tersentak saat mendapati istrinya tengah berbicara dengan seseorang. “Mia,” panggil Akram. “Eh, Mas.” “Ini suami kamu?” tanya pria berkacamata yang tampak seumuran dengan mereka. “Iya, Zak. Namanya Mas Akram.” “Oh. Perkenalkan saya Zaki,” ujar pria berkacamata itu sambil mengulurkan tangan. Akram menerimanya meski sungkan. “Akram.” “Berarti kamu udah nggak lanjut mondok, tapi nikah? Kalau Kak Frans?” tanya Zaki masih semangat berbicara dengan Mia. “Kak Frans juga lagi di rumah, Zak. Kapan-kapan main,” ujar Mia. “Siap, deh. Kangen juga sama ibu sama bapak, Mi. Udah lama banget, ya.” Zaki masih nyaman berbicara dengan Mia. Ia bahkan mengabaikan Akram yang berdiri memerhatikan mereka. “Iya, Zak. Udah lama banget.” “Aku nggak ngira kamu nikah cepet, Mi,” ujar Zaki. Terdengar nada penyesalan di sana. Mia mengukir senyum. Ia tak bisa menimpali di saat ada Akram di dekatnya. “Kamu jadi mau minum nggak?” ujar Akram mulai tak nyaman menjadi penengah di antara mereka. “Oh iya, Mas. Mana?” Mia pun mengulurkan tangan. Akram menyerahkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya, ia bermaksud mengusir Zaki yang masih setia duduk di samping Mia. Benar-benar tidak tahu diri. “Eh, boleh minta nomor kamu nggak, Mi? Apa masih pake yang lama?” Zaki mengeluarkan ponselnya. “Ehem, ehem.” Akram berdeham. “Mau minum, Mas?” tawar Mia. Akram menggeleng. Ia hanya tidak senang pria bernama Zaki itu meminta nomor istrinya. “Eh, gimana, Zak?” “Nomor kamu masih sama?” “Iya masih sama.” “Oke. Ntar aku telpon ya kalau mau datang. Salam buat Kak Frans.” Zaki tersenyum riang sambil bersiap pergi dari hadapan mereka. Mia hanya mengangguk kecil. Ia ragu harus menjawab apa. Akram melirik ke arah istrinya. Ia ambil air mineral itu dan menghabiskannya. Telponan? Main ke rumah? Salam? Enak aja. “Mau ke mana, Mas?” tanya Mia saat Akram berdiri dan mengayunkan langkah. “Pulang,” jawab Akram datar. “Pulang?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN